Oleh: Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph. D. (Profil)
MA Hukum Islam (Visiting Student) di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo (2001-2002)/Visiting Research Fellow di Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS), University of Oxford, Inggris (2012)/Visiting Fellow di Islamic Legal Studies Program (ILSP), Harvard Law School, Harvard University, Amerika Serikat (2013)/Postdoctoral Fellow di University of Louvain, Belgium (2016-2020)/Wakil Ketua LTM-PBNU (2015-2020)/Direktur Indonesian Sharia Watch
Pada Kamis 21 April lalu, kita memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan kepada seorang bangsawan/priyayi Jawa ini yang dianggap telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan kaumnya. Kendati demikian, banyak gugatan dan protes terhadap pemberian tanggal khusus untuk Kartini.
Kritik atas Kartini
Pertama, pahlawan wanita bukan saja Kartini, tetapi banyak lagi perempuan Nusantara yang telah berjuang untuk kaumnya. Ada Rahmah el-Yunusiyyah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Nyai Ageng Serang, Malahayati, Maria Walanda Maramis, dan banyak lagi. Tetapi mengapa hanya kartini saja yang diberikan tempat khusus dalam sejarah nasional bangsa Indonesia.
Kedua, perjuangan Kartini tidaklah seberapa dibanding pahlawan-pahlawan perempuan yang tersebut tadi. Rahmah el-Yunusiyyah mendirikan pendidikan formal perempuan pertama di Indonesia, Cut Nyak Dhien memimpin perang gerilya melawan penjajah Belanda, Malahayati memimpin perang laut dengan memimpin ribuan lelaki dan perempuan Aceh melawan penjajah Belanda, Martha dan Maria demikian juga memimpin perang melawan Belanda. Lalu di mana Kartini? Duduk dan menulis surat? Kartini hanya menulis surat-surat ke para orang Belanda.
Ketiga, Kartini dijadikan sebagai tokoh perempuan Indonesia adalah ‘rekayasa’ untuk mengedepankan Jawa sebagai pusat kebudayaan Indonesia. Kartini adalah contoh par excellence bahwa sejarah Indonesia hanya terpusat pada Jawa atau Jawacentris. Indonesia bukan Jawa atau Indonesia bukan sekadar Jawa, Indonesia adalah himpunan dari ratusan ras dan etnis.
Keempat, Kartini mengkritik sebuah sistem budaya kelelakian, tetapi ia sendiri akhirnya ikut sistem itu, termasuk salah satunya menerima poligami Bupati Demak. Bandingkan dengan keteguhan para pejuang perempuan lain yang berjuang melawan sistem penindasan penjajahan hingga akhir hayatnya dan tidak tunduk pada sistem itu.
Kartini Memang Beda
Kendati demikian, ada hal penting yang, mungkin, membuat Kartini menjadi lain dari yang lain, yaitu perubahan kesadarannya dari yang kurang-beragama kepada yang beragama. Ada perubahan penting pada tulisan-tulisan Kartini di akhir-akhir suratnya menjelang kematian mudanya. Bahkan bukunya yang berjudul “Habis Gelap, Terbitlah Terang” diduga terpantik dari QS. Al-Baqarah/2:257: Allahu waliyyul lazina amanu yukhrijuhum minaz zulumati ilan nuri, yang berarti Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari kegelapan ke cahaya.
Saiful Umam dalam disertasi doktornya di Universitas Hawai’i “Localizing Islamic Orthodoxy in Northern Coastal Java in the Late of 19th and early 20th centuries: A Study of Pegon Islamic Texts” menulis bahwa perubahan keagamaan Kartini diduga berkat seringnya Kartini mendengar pengajian-pengajian Kyai Muhammad Salih Darat al-Samarani (1820-1903), ulama Jawa kharismatik yang banyak menulis kitab dalam bahasa Jawa beraksara Arab (pegon). Setelah mendengar pengajian-pengajian Kyai Salih Darat, Kartini menjadi lebih salehah, taat, agamis. Bahkan, diduga, Kyai Salih Darat memberikan salah satu karyanya, yaitu kitab tafsir Fayd al-Rahman (1894) untuk pernikahan Kartini pada 1903.
Ada pelajaran penting bagi kita di dalam cerita Kartini tadi, yaitu perubahan pemikiran dan kesadaran keagamaan. Nah, dalam konteks inilah, saya ingin mengajak sedikit mempertimbangkan gagasan dalam Islam yang dianggap banyak orang sebagai bentuk ketimpangan budaya kelelakian di dalam Alquran, yaitu pembagian waris antara lelaki dan perempuan. Allah swt. berfirman di dalam Alquran Surat al-Nisa, ayat 11: Yusikumullahu fi awlâdikum mislu hazzil unsayayn. Allah telah mewasiatkan kepada kalian (dalam pembagian warisan) bahwa bagian lelaki itu 2 kali bagian perempuan.
Waris dalam Islam
Nâsiruddîn Abû Sa’îd ‘Abdullâh Abû ‘Umar Muhammad al-Syîrâzî al-Baydlâwî, dikenal dengan Imam al-Baydlawi di dalam tafsirnya Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut, Dâr al-Fikr, 4 jilid, juz I, hlm. 505) mengatakan bahwa maksud ayat tersebut sebagai penjelasan kelebihan lelaki. Inilah sebabnya turun ayat tersebut. Al-Baydawi mengatakan cukuplah bagian waris lelaki digandakan daripada bagian perempuan. Pandangan Baydawi mencerminkan pandangan umum para mufassir dan dipegang oleh semua fukaha dan dijalankan kemudian oleh umat Islam.
Yang menarik adalah uraian dari salah satu kitab tafsir, yaitu karya Imam Jalâluddîn al-Suyûtî, berjudul al-Durr al-Mansûr Fî al-Tafsîr Bi al-Ma’sûr (Beirut :Dâr Ihyâ’ al-Turâs al-Islâmiyy, 8 jilid, juz 2, hlm. 444 dstnya). Imam al-Suyuthi menulis beberapa riwayat terkait dengan QS. Nisa/4:11 itu.
Pertama, hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nisai, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Bayhaqi dari Jabir Ibn Abdullah mengatakan: “Suatu hari, Rasulullah dan Abu Bakar mengunjungiku di Bani Salmah dengan datang berjalan kaki. Lalu Rasulullah menemukanku bahwa saya sudah dalam keadaan pingsa, tidak ingat apa-apa. Kemudian Rasulullah meminta air dan berwuduk dengannya. Setelah itu, Rasullah mengusapkan/membasuhkan air itu ke saya. Akhirnya, saya sadar dan berkata ‘ma ta’murunî an asna’a fi mali ya rasûlullâhi?’ Apa yang saya harus lakukan dengan hartaku wahai Rasulullah”. Lalu turunlah ayat tersebut QS.4:11 tentang pembagian waris.
Senada dengan hadis di atas, hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Jabir bahwa “Rasulullah menjengukku saat aku sakit, lalu aku berkata ‘kayfa uqsimu mâli bayna waladi?’ Bagaimana aku membagikan hartaku di antara anak-anakku?”. Lalu, turunlah ayat QS.4:11 tersebut tentang pembagian waris.
Kedua, hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Sa’ad, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dari Jabir Ibn Abdillah meriwayatkan bahwa “Suatu hari janda Sa’ad Ibn Rabi datang ke Rasulullah saw. dan berkata ‘wahai Rasulullah kedua anak perempuan ini adalah anak-anak Saad Ibn Rabi. Ayah mereka terbunuh saat perang Uhud bersamamu. Paman mereka mengambil semua hartanya dan tidak meninggalkan bagi mereka harta warisan sama sekali dan tidak menikahkan mereka’. Rasulullah menjawab ‘yaqdillahu fi zalika, Allah sudah memutuskan masalah tersebut, lalu turunlah QS.4:11 itu’ ”. Kemudian Rasulullah datang ke paman kedua anak perempuan tersebut dan berkata: berikan kepada (1.) Kedua anak perempuan ini, yaitu 2/3, lalu (2.) Ibunya, yaitu 1/8, dan (3.) Sisanya (asabah) adalah untukmu.
Ketiga, hadis yang diriwayatkan dari Bukhari dan al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas bahwa QS.4:11 menasakh (menghapus) ayat ‘wa kânatil wasiyyatu lilwâlidayn wal aqrabin’ bahwa bagian lelaki 2 banding 1 bagi perempuan.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim dari Ibnu Abbas bahwa saat QS.4:11-14 tentang pembagian waris (ayat faraid), semua orang tidak suka. Bahkan mereka berkata: “Kita memberikan ¼ untuk isteri, jika tidak ada anak lelaki atau 1/8 jika ada anak lelaki, kita berikan anak perempuan ½, lalu kita berikan anak-anak kecil, dan tidak ada satupun di antara mereka yang ikut berperang dan tidak mendapat ganimah/harta rampasan.”
Tafsir Sejarah Ayat Waris
Pada masa pra-Islam, jahiliyyah, isteri, anak perempuan dan anak-anak kecil memang tidak mendapatkan bagian waris, kecuali bagi mereka yang ikut berperang. Mereka pun akan membagikan warisan berdasarkan umur mereka. Mereka memberikan bagian besar bagi mereka yang berumur paling tua juga.
Keempat, diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari al-Saddi bahwa: “Pada masa Jahiliyyah, para isteri, orang-orang lemah, anak-anak kecil tidak mendapatkan warisan. Seorang lelaki tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya kecuali bagi yang kuat berperang.”
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman, saudara Hasan Sya’ir, wafat dan meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kuhhah dan 5 anak perempuan. Abdurrahman meninggalkan warisan. Para saudara bapaknya (paman) dan kaumnya mengambil hartanya. Kemudian Ummu Kuhhah melaporkan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu, Allah swt. menurunkan QS.4:11 tersebut. Maka untuk kasus Ummu Kuhhah pemecahannya adalah: untuk Ummu Kuhhah mendapat bagian 1/8, untuk 5 anak perempuan, masing-masing mendapat 2/3, dan sisanya untuk para pamannya.
Dari riwayat-riwayat yang disampaikan, kita bisa menarik pelajaran bahwa,
Pertama, saat seorang lelaki meninggal, maka harta menjadi milik saudara-saudara lelaki dan sukunya. Ini adalah sistem budaya kelelakian di mana harta menjadi milik kaum lelaki dan sukunya. Rasulullah mengubah sistem ini. Pada sistem budaya kelelakian, perempuan, anak-anak, orang lemah, tidak mendapat warisan. Rasulullah mengubah sistem ini dengan memberikan hak setiap orang. Ini adalah perubahan revolusioner pada masanya. Ini pencapaian luar biasa, sebagaimana pengakuan terhadap hak budak yang sebelumnya tidak ada.
Kedua, ayat-ayat faraid, pembagian waris, adalah jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan kepemilikan harta dan pembagian harta setelah kematian seseorang. Jawaban Rasulullah untuk menjawab kasus-kasus yang masuk ke Rasulullah dan Rasulullah memecahkannya di bawah terang wahyu Allah swt. Hal ini berpesan bahwa semua orang mendapatkan jatah, tidak boleh ada perbedaan jenis kelamin, usia dan kesukuan dalam pembagian harta warisan.
Ketiga, mengenai jumlah bagian setiap ahli waris, hal itu memang sudah tepat pada masanya. Pemberian bagian waris kepada perempuan saja itu sudah luar biasa pada waktu itu. Rasulullah tidak bisa pergi lebih jauh lagi untuk memberikan persamaan antara lelaki dan perempuan. Ini artinya, mengenai jumlah adalah masalah pilihan. Artinya, begini: pembagian warisan diserahkan kepada setiap orang dengan pembagian adil di mana semua orang dapat menerimanya. Tetapi, jika ada perselisihan, maka penghitungan Alquran menjadi patokan. Hal ini ingin menegaskan bahwa pembagian 2:1 untuk lelaki dan perempuan bisa berubah dan bukan suatu yang mutlak.
Perselisihan Sahabat tentang Waris
Perselisihan di antara para sahabat tentang pembagian waris membuktikan bahwa waris masuk dalam wilayah penafsiran juga dan pembagian tergantung pada keadaaan. Satu contoh yang ingin disampaikan di sini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi, yaitu kasus antara Ibnu Abbas dan Zaid Ibn Tsabit mengenai pembagian waris tentang suami dan orang tua di mana isteri meninggal dan tidak punya anak.
Ikrimah bertanya kepada Zaid Ibn Tsabit. Lalu, Zaid berkata: “bagian suami adalah ½, bagian ibu adalah 1/3 dan bagian bapak adalah asabah, yaitu semua sisanya menjadi milik bapak.” Ikrimah lalu datang ke Ibnu Abbas dan mendengarkan penjelasan Zaid. Lalu Ibnu Abbas mengatakan kepada Ikrimah “Kau tanya kepada Zaid: “Apakah kau temukan (pembagian waris seperti itu) di dalam Alquran seperti kasus ini? Zaid berkata “la,” tidak. Lalu Zaid berkata: “Tetapi, saya tidak suka melebihkan bagian ibu daripada ayah.” Lalu Ibnu Abbas membagi jatah Ibu lebih banyak daripada ayah.
Kasus kedua, seperti yang diriwayatkan oleh al-Hakim, yaitu kasus yang masuk ke Zayd Ibnu Tsabit ada seorang Ayah atau Ibu meninggal dengan meninggalkan: (1.) satu anak perempuan, maka bagiannya ½; (2.) dua anak perempuan, maka bagian masing-masing 2/3; (3.) satu anak perempuan dan satu anak lelaki, maka anak perempuan tidak dapat dan anak lelaki dapat semuanya. Pembagian Zaid ini bertentangan dengan Alquran untuk kasus yang ketiga: seharusnya anak selaki mendapatkan ½ dan anak perempuan mendapatkan 2/3.
Islam Nusantara
Kedua contoh ini untuk menunjukkan bahwa pembagian di dalam Alquran adalah aturan yang lentur dan bersifat penafsiran berdasarkan keadaan budaya dan keluarga masing-masing. Pembagian waris seperti ini sudah dipraktikkan di Indonesia. Inilah semangat dari Islam Indonesia, yaitu mengawinkan antara ajaran-ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Hadis yang disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia. Dengan kata lain, inilah Islam Nusantara, yaitu pengejawantahan dari semangat yang mencoba mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Dengan semangat hari pejuang perempuan Indonesia, maka semangat Kartini yang menggambarkan kesadaran dan pemahaman keagaman yang terus berubah ke arah yang lebih baik bisa dijadikan saat yang tetap untuk menafsir ulang hak waris perempuan dan lelaki dalam ajaran agama Islam. Wallahu a’lam.
Sumber: https://indonesianshariawatch.or.id/kartini-dan-perempuan-islam/