Oleh: Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag. (Profil)
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Barat/Guru Besar Ilmu Hadis IAIN Pontianak
Tulisan ini sudah diposting satu tahun lalu, yakni tanggal 2 Dzulhijjah 1441 H/23 Juli 2020 M., tapi karena ada yang bertanya lagi sebagaimana pertanyaan tahun lalu mengenai hadis-hadis larangan potong kuku dan rambut Ketika masuk bulan Dzulhijjah, maka tidak ada salahnya tulisannya dishare Kembali.
Semoga bermanfaat.
Sejak masuk 1 Dzulhijjah 1441 H, beredar lagi di media sosial hadis Larangan mencukur rambut dan potong kuku. Misalnya,
“Batas akhir memotong kuku dan memangkas rambut bagi yang memiliki niat berqurban tahun ini: Selasa, 21 Juli 2020 bertepatan dengan 30 Dzulqa’dah 1441 H.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻠَﺖِ ﺍﻟْﻌَﺸْﺮُ ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳُﻀَﺤِّﻰَ ﻓَﻼَ ﻳَﻤَﺲَّ ﻣِﻦْ ﺷَﻌَﺮِﻩِ ﻭَﺑَﺸَﺮِﻩِ ﺷَﻴْﺌًﺎ
Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian telah berniat untuk berqurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan kulitnya sedikitpun. ”(HR. Muslim).
Di group lainnya berbunyi: “… Ketika selasa 21 Juli 2020 magrib telah tiba Anda tidak diperkenankan mencukur rambut dan memotong kuku”.
Saya tidak tahu mengapa hadis-hadis seperti ini semakin marak beredar di media sosial saat ini, apakah karena madzhab yang “cenderung” sangat tekstual semakin marak dan berkembang di negeri ini Indonesia, berbeda dengan madzhab Syafi’i.
Berdasarkan teks hadis ini disimpulkan sebagai “batas akhir memotong kuku dan memangkas rambut” artinya haram hukumnya memotong kuku dan memangkas rambut bagi para pekurban.
Nanti tanggal 31 Juli 2020 bertepatan 10 Dzulhijjah 1441 H adalah hari raya idul Adha, shalat idul adha bertepatan hari jumat. Berdasarkan teks hadis Riwayat Abu Daud, bagi mereka yang sudah shalat ‘idul Adha, boleh tidak shalat jumat.
Tapi, hadisnya tidak terlalu banyak beredar di media sosial himbauan bagi yang sudah shalat Idul Adha boleh tidak shalat jumat. Padahal yang menganut paham haramnya memotong kuku dan rambut, sama pahamnya yang membolehkan tidak shalat jumat bagi yang sudah shalat Idul Adha.
Berbeda dengan madzhab Syafi’i bahwa kebolehan tidak shalat jumat bagi mereka yang sudah shalat Idul Adha, maksudnya bagi mereka yang datang dari pedesaan atau pegununagna jauh dari kota Madinah, tidak berlaku umum seperti saat ini.
Apalagi madzhab imam Abu Hanifah, yang berpendapat, bahwa tidak mungkin shalat jumat yang hukumnya fardhu ‘ain digugurkan oleh shalat Idul Adha yang hukumnya sunnat.
Selain membaca teks hadis perlu membaca juga penjelasan para ulama, termasuk ulama fikih.
Saya kira inilah perlunya penjelasan para ulama. Tidak cukup hanya membaca teks hadis dan terjemahan bahasa Indonesianya, apalagi hanya melalui media sosial, seperti WA, facebook, atau media social online lainnya tanpa penjelasan apa pun lalu disimpulkan sendiri.
Contoh lainnya, hadis:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Mandi pada hari jumat WAJIB bagi setiap muslim yang sudah dewasa. (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri).
Kalau kita baca teks hadis ini, bahwa bagi setiap muslim yang sudah dewasa WAJIB mandi hari jumat.
Dalam hadis lainnya riwayat imam Bukhari dijelaskan, perintah mandi bagi yang hendak shalat jumat.
Apakah disimpulkan bahwa BERDOSA bagi mereka yang shalat jumat, tapi tidak mandi terlebih dahulu, karena berdasarkan teks hadis ini hukumnya WAJIB?
Hadis ini riwayat Bukhari dan Muslim pasti sahih.
Masalahnya bukan pada sahihnya hadis, tapi pada pemahaman makna hadisnya.
Para ulama menjelaskan, bahwa disebutkan kata “wajib”, tapi yang dimaksudkan adalah sunnat muakkad, mendekati atau hampir wajib.
Pahalanya sangat banyak, tidaklah berdosa bagi yang shalat jumat tidak mandi terlebih dahulu.
Demikian juga, hadis Nabi SAW. yang menyebutkan:
مَن بَدَّلَ دينَهُ فاقتلُوه
Siapa yang mengganti agamanya (siapa yang murtad), maka BUNUHLAH DIA. (HR. Bukhari).
Kalau dibaca teks hadis ini, Nabi SAW. memerintahkan agar membunuh setiap orang murtad.
Apakah menggunakan kaedah bahwa setiap perintah menunjukan wajib, maka wajib hukumnya membunuh orang-orang murtad dari agamanya?
Kalau tidak membunuh mereka, kita berdosa.
Apakah seperti paham ini yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. sebagaimana bunyi hadisnya yang diriwayatkan imam Bukhari?
Berapa banyak orang murtad dalam setiap hari?
Apa tidak kacau dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini, kalau kita membunuh mereka dengan alasan perintah hadis Nabi, padahal belum tentu itu yang dimaksud oleh Nabi SAW.
Inilah Namanya Radikalisme Agama, membunuh sesama manusia dengan mengatasnamakan agama, padahal justru salah paham terhadap agama bahkan bisa jadi mencederai Islam dengan sikapnya.
Inilah pentingnya belajar dan membaca penjelasan dari para ulama mengenai maksud hadis, bukan sekedar membaca teks hadis.
Di antara penjelasannya, bahwa yang dimaksud murtad dalam hadis ini, adalah mereka yang murtad kembali pada agama lama, lalu kembali kepada kaumnya, komunitasnya menggalang kekuatan untuk memberontak kepada Rasulullah SAW. yang pada saat itu juga Beliau sebagai kepala negara, maka dalam konteks seperti inilah keluar perintahkan untuk membunuh, yakni para pemberontak karena akan mengacaukan dan merusak kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Sekarang, kita kembali pada hadis tentang batas akhir bolehnya alias haramnya memotong rambut dan kuku pada 1-10 Dzulhijjah 1441 H bagi para pekurban menurut teks hadis di atas.
Lalu bagaimana dengan hadis yang disunnatkan atau diperintahkan potong kuku dan rambut setiap hari jumat. nah jumat nanti bertepatan tanggal 3 Dzulhijjah?
Begitu juga yang hendak ihram pada bulan Dzulhijjah justru disunnatkan mereka potong kuku dan potong bulu atau rambut?
Atau apakah yang dilarang dipotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban atau rambut dan kuku hewan kurban?
Dalam kitab Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim karya Prof. Dr. Musa Syahin menyebutkan hadis mengenai masalah ini, yaitu:
إذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
(1) Apabila telah masuk 10 hari (awal Dzulhijjah) dan di antara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambut (bulu) dan kulitnya.
إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
(2) Apabila telah masuk 10 hari (awal Dzulhijjah) dan ia memiliki hewan kurban yang hendak dikurbankan, maka janganlah ia mengambil rambut (bulu) dan memotong kuku.
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِه
(3) Apabila kalian telah m,enyaksikan hilal bulan Dzulhijjah dan di antara kalian hendak berkurban, makai a menahan rambut (bulu) dan kukunya.
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ.
(4) Siapa yang memiliki hewan sembelihan kurban yang hendak disembelihnya, apabila hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikitpun dari rambut (bulu) dan kukunya hingga ia berkurban.
Semua hadis ini diriwayatkan imam Muslim semuanya bersumber dari Ummu Salamah istri Nabi SAW.
Selain itu, imam Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban juga meriwayatkan dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda, namun maksudnya sama. Semuanya bersumber dari Ummu Salamah.
Mengenai kualitas hadis dari sisi teks dan sanadnya tidak ada perbedaan pendapat para ulama.
Hanya saja, masalah pemahaman maknanya, terjadi perbedaan di kalangan para ulama.
Apakah yang dilarang dipotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban atau rambut dan kuku hewan yang akan dikurbankan?
Pendapat pertama, mengatakan bahwa yang dilarang dipotong adalah rambut dan kuku orang yang akan berkurban.
Lalu apa implikasi larangan ini, apakah bersifat, haram, makruh, atau biasa-biasa saja atau mubah alias boleh?
Setelah membaca dan memperhatikan keterangan Imam an-Nawawi dan Syekh Musa Syahin yang memberikan Syarh atau menguraikan makna hadis-hadis Sahih Muslim, serta Syekh Wahbah az-Zuhailiy dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu yang menguraikan masalah ini diketahui terdapat beberapa pendapat ulama, antara lain:
1. Larangan ini bersifat haram. Pendapat ini dianut oleh sebagian pengikut madzhab Ahmad bin Hambal.
2. Larangan ini hanya bersifat makruh, karena ada hadis lainnya bersumber dari Aisyah, katanya Nabi SAW. pernah mengikat hewan-hewan kurban lalu mengirimkannya, Beliau tidak ada mengharamkan sesuatu apa pun yang Allah telah halalkan baginya hingga menyembelihnya. (HR. Sepakat Bukhari dan Muslim).
Pendapat ini dianut oleh ulama madzhab Syafi’i, madzhab Malik, dan kebanyakan juga dari madzhab Ahmad bin Hambal.
3. Ada sebagian berpendapat bahwa kurban dan haji keduanya tidak terpisahkan, maka larangan dalam berkurban itu kaitannya dengan orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman Allah:
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya. (QS. al-Baqarah: 196).
Berdasar ini, maka memotong rambut dan kuku tidak makruh, apalagi haram. Sifatnya mubah, boleh-boleh saja. Pendapat inilah yang dianut madzhab Abu Hanifah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dilarang dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku hewan yang hendak dikurbankan.
Dalam kajian fiqh ulama klasik, pendapat seperti ini disebut garib (aneh atau ganjil) menyalahi pendapat mayoritas ulama. Al-Qari mengutip pendapat Abdul Malik yang disebutnya sebagai pendapat garib, bahwa yang dilarang adalah memotong kuku dan bulu hewan kurban.
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) Alumni S1 dan S2 Universitas Imam Muhammad bin Saud di Riyadh Saudi Arabia Jurusan Syariah dan Tafsir Hadis, Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Darussunnah Ciputat juga imam Masjid Istiqlal Jakarta dalam bukunya ath-Thuruq ash-Shahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyyah menjelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena masalah dhamir (kata ganti) ha (nya) pada kata شعره, بشره, ظفره (rambut-nya, kulit-nya, dan kuku-nya).
Pendapat pertama di atas, kata ganti “nya” kembalinya kepada orang yang akan berkurban, maka yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban.
Sedangkan pendapat kedua, kata ganti “nya” kembali kepada hewan kurban, maka yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban.
Beliau menganut pendapat yang kedua, dengan alasan bahwa memahami hadis larangan di atas harus dihubungkan dengan hadis lainnya, yaitu hadis bersumber dari Aisyah, Rasulullah SAW. bersabda:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
‘Tidak ada amal manusia pada hari kurban yang lebih dicintai Allah dari menyembelih hewan kurban. Pada hari kiamat nanti, hewan tersebut akan datang dengan tanduknya, bulunya, dan kukunya. Aliran darahnya sungguh akan sampai kepada Allah di sebuah tempat sebelum menetes ke tanah. Maka, perbaguslah diri kalian dengan hewan kurban.” (HR. Tirmidzi).
Dalam hadis lainnya mengenai kurban ini, Rasulullah SAW. bersabda:
لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ وَيُرْوَى بِقُرُونِهَا
Setiap helai rambut (bulu hewan) adalah kebaikan bagi pemiliknya yang berkurban. Dalam riwayat lainnya, disebutkan, pada setiap tanduknya. (HR. Tirmidzi).
Kata Beliau:
فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى
‘Illat (faktor penyebab) dilarang memotong rambut dan kuku hewan kurban adalah agar semuanya akan menjadi saksi nanti di hari kiamat bagi pemiliknya yang berkurban.
Kesaksian hewan kurban ini hanya relevan apabila mengacu pada pemahaman bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban, bukan rambut dan kuku orang yang akan berkurban.
Dengan demikian, jelas bahwa ulama yang memahami bahwa larangan dalam hadis tersebut berimplikasi sampai haram ada sebagian dari pengikut madzhab Ahmad bin Hambal.
Sedangkan ulama yang memahami bahwa larangan itu hanya bersifat makruh, adalah mayoritas ulama madzhab Syafi’iy, madzhab Malik, dan kebanyakan juga dari madzhab Ahmad bin Hambal.
Sementara lainnya tidak sedikit juga yang memahami bahwa tidak makruh dan tidak haram, tapi mubah alias boleh, apalagi yang memahaminya bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan kurban.
Perbedaan dan keragaman pemahaman para ulama tersebut dalam memahami hadis-hadis seperti ini merupakan khazanah kekayaan bagi peradaban umat Islam yang punya kecenderungan dan pilihan yang beragam dengan situasi dan konteks yang beraneka ragam.
Bagi mereka yang tidak ada keperluan untuk memotong kuku, rambut, atau bulu-bulu lainnya yang ada pada dirinya sebaiknya untuk tidak memotongnya. .
Bagi mereka yang merasa perlu memotong, misalnya kukunya panjang dan bisa menjadi penghalang air wudhu atau mandi junub atau mandi hadats besar sehingga air tak menyentuh bagian tubuh di bawah kukunya, maka perlu potong kuku.
Begitu juga rambut atau bulu-bulu lainnya yang ada di tubuhnya, seperti kumis, bulu ketiak dan bulu-bulu lainnya sudah panjang merasa perlu memotongnya, termasuk ketika hari jumat, yang salah satu sunatnya adalah potong kumis atau bulu lainnya.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiyat. Penuh dengan keberkahan dan ridha Allah dalam semua urusan dan aktifitas.
Semoga Bermanfaat
Pontianak, 24 Juli 2020 M/3 Dzulhijjah 1441 H
Sumber:
https://web.facebook.com/wajidi.sayadi/posts/10216591053808835
https://web.facebook.com/wajidi.sayadi/posts/10216591009847736