Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Berkali kali al Qur’an dan menyatakan bahwa ia sebagai Hudan Li an-nas- petunjuk bagi Manusia, Hudan lil muttaqien-petunjuk bagi manusia menuju taqwa, Hudan li mukminin-petunjuk menjadi mukmin. Beberapa ayat ini jelas menegaskan bahwa al Qur’an dan al Kitab itu untuk Manusia, tegasnya untuk menunjukkan umat manusia agar menjadi muttaqin dan mukminin.
Muttaqin seringkali dimaknai orang yg bertaqwa yaitu orang yang menjalankan seluruh perintah Allah dan menjahui seluruh larangannya. Makna ini tidak salah, tapi mustahil, mana ada orang bisa menjahui seluruh larangan Allah dan melaksanakan seluruh perintahnya?. Bisa jadi pemaknaan seperti itu adalah makna basa basi.
Taqwa berasala dari kata وقي -يقي- وقيا -و وقاية yang berarti menjaga, melindungi, memperbaiki, menjauhi, mewaspadai, dan takut. Jadi taqwa bermakna melindungi diri atau sesuatu dari hal yg bisa menyakiti dan membahayakannya. Setiap orang yg melindungi dirinya dari apapun yg membahayakannya baik di dunia ini maupun di kehidupan abadi nanti, disebut sebagai muttaqin.
Melindungi dan menjaga diri dari yang membahayakan haruslah dengan “cara” yg tepat. Jika yg cara yg digunakan tidak tepat maka bukan “ketaqwaan-keterjagaan” yg diperoleh, melainkan sebaliknya. Jika ingin terlindungi dari kebodohan maka belajarlah. Jika ingin terlindungi dari kemiskinan maka bekerja dan berusahalah. Jika ingin penguasa yg adil, maka pilihlah pemimpin karena integritasnya, jika ingin punya anak biologis maka menikahlah. Jika ingin sembuh dan sehat, maka berobatlah dan menghindarlah dari penyakit dengan puasa misalnya, serta biasakan hidup bersih . Menggunakan cara cara yg tepat untuk tujuan yang tepat inilah yg disebut taqwa. Demikianlah petunjuk al Qur’an.
Contoh cara yg tidak tepat, misalnya hanya “cara berdoa” untuk melindungi dari kebodohan, kemiskinan, kedhaliman, penyakit, dan segala macam masalah. Pokoknya segala macam masalah obatnya adalah doa. Jadi doa belum tentu tepat sebagai cara menyelesaikan segala masalah. Karena Allah telah menunjukkan cara cara yang tepat untuk melindungi dan menjaga diri dari hal yg bisa membahayakan diri.
Kita sering menggunakan bahasa yg seakan akan religius, padahal bertentangan dengan panduan al Qur’an. Misalnya kita serahkan semua kepada Allah, padahal ia belum melakukan apapun. La bagaiamana kita menyerahkan lagi kepada Allah sesuatu yg oleh Allah sudah diserahkan pada kita. Itu namanya melepaskan tanggung jawab.
Sebab itulah Allah “marah” kepada orang kafir ketika membawa bawa “Kehendak Allah” pada tempat yg tidak tepat. Dalam surat Yasiin Allah
وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ قَالَ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَنُطۡعِمُ مَن لَّوۡ یَشَاۤءُ ٱللَّهُ أَطۡعَمَهُۥۤ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ
Memberi makan orang miskin adalah tugas yg diberikan Allah kepada umat manusia. Jangan kembalikan lagi kepada Allah dengan mengatakan ” apakah kami akan memberi makan orang yang jika Allah kehendaki pastilah ia dikasih makan? “. Allah menyebut sikap seperti ini itu sebagai kesesatan yang nyata, walaupun membawa bawa “nama-kehendak Allah”.
Al-Qur’an bukan hanya mengantarkan kepada setiap orang untuk mampu menjaga dan memperisai dirinya dengan cara yg tepat dan tujuan yg tepat (muttaqin), melainkan juga mengantarkannya menjadi mukminin.
Al Qur’an tidak hanya menunjukkan arah (irsyad), tetapi mengantarkan hingga sampai ke tempat tujuan (taqwa dan iman), dengan bukan hanya memperbaiki prilaku melainkan juga memperbaiki nalar pikirnya. Itulah rahasia Allah mengapa menggunakan kata “hudan-hidayah” (Hudan lil muttaqin, hudan lil mukminin), bahkan dalam surat sakti yang tampanya shalat tidak Sah, yaitu surat al Fatihah, ihdina ash-shirath al mustaqim, yg berarti “antarkanlah kami hingga sampai kejalan yg lurus itu”.
Dalam kitab al furuq al lughawiyyah karya Abu Hilal al Askari, dibedakan antara “al huda” dan “al irsyad” yang dalam bahasa indonesia sama sama diartikan “petunjuk”. Pertama: al rusydu adalah kebalikan al ghayyu. Ar rusdu adalah keajegan dalam prilaku (istiqamah fil amal) dan al ghayyu adalah sesat prilaku, sedang al huda adalah kebalikan ad dhalal. Al huda ajeg dalam pikiran-pengetahuan dan ad dhalal adalah sesat pikir dan pengetahuan. Kedua: al irsyad bermakna menunjukkan jalan sedang al huda atau al hidayah adalah menujukkan hingga sampai tujuan.
Jadi ketika membaca ayat ihdinash shirathal mustaqim, maka banyangkan makna dimana Allah mengantarkan kita hingga sampai pada jalan yang lurus (lurus tindakan dan lurus pikiran).
Dalam tafsir al jalalain (bukan tafsir jalan lain) dikatakan bahwa kata hudan lil muttaqin dan hudan lil mukminin adalah lafad majaz (metaforis), maksudnya mengantar manusia yang belum taqwa dan imamn menuju taqwa dan mukmin. Karena orang yg telah muttaqin dan mukminin tidak lagi perlu hidayah, sebab ia telah sampai puncak tujuannya.
Siapa mukminin? Kata mukmin berasal dari kata أأمن ikut wazan أفعل yang antara lain bermakna “mengamankan, mempercayai”. Isim fail nya “mukmin” yang berarti orang yg mengamankan-mempercayai”. Mukmin adalah orang yang beriman yg dengan iman nya itu ia menciptakan rasa aman pada lingkungannya. Tidaklah lah sempurna iman seorang sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri, begitulah salah satu sabda Rasulullah.
Kata mukmin senada dengan kata muhsin (orang yang berbuat baik) mushlih (orang yang memperbaiki-mendamaikan), muslim (orang yg menyelamatkan) yg semuanya menggunakan wazan أفعل yg bermakna bahwa prilakunya harus juga dinikmati dan menular kepada orang lain.
Muslim lebih penting dari salim, muslih lebih penting dari shalih, muhsin lebih penting dari hasan, mukmin lebih penting dari amin. Salim orang yg hanya dirinya yang selamat, sementara muslim adalah orang yg bisa menyelamatkan orang lain. Begitu seterusnya. Semoga kita menjadi “mukminin, muslimin, mushlihin, muhsinin” kepada orang lain, lingkungan, dan dunia. Amim
Agama adalah wahyu Allah, ia datang dari dzat yang Qudus. Olehnya agama selalu bersifat ilahiyyah-samawiyyah. Namun semua agama tidak lahir di alam yg kosong, ia selalu lahir dalam ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat dimana agama hadir. Al Imam as Syafi’i dalam kitab ar Risalahnya, sebelum memulai kajian metode bagaimana memahami islam (usul fiqih), beliu mengawalinya dengan memetakan konteks sosial, politik dan budaya masyarakat Arab saat al Qur’an diturunkan. Konteks sosial, politik dan budaya penting dalam usaha penafsiran al Qur’an. Kehilangan konteks itu, akan meyebabkan kesalaham kesalahan serius dalam menafsirkan teks, begitu menurut al imam as Syatiby. Dialektika antara teks suci al Qur’an dan konteks sosial, polotik dan budaya inilah yg menjadi ciri utama Islam, yaitu disamping memiliki dimensi ilahahiyyah (ketuhanan) disaat yg sama ia memiliki demensi insaniyyah (kemanusiaan). Aspek kemanusiaan inilah yang seringkali hilang dalam dakwah dakwah kekinian, khususnya dari pengusung teologi teosentris.
Maka, saatnya mengembalikan kembali dimensi kemanusiaan dalam penafsiran dan dakwah. Karena agama sekalipun ia ilahiyyah namun ia diperuntukkan manusia. Bahkan, seringkali terlihat jelas, “keinginan Allah” direlakan untuk “kepentingan manusia”.
Konsep Rukhshoh dalam usul fiqih, memperlihatkan dengan jelas bahwa banyak hukum islam yg kemudian di negosiasikan karena kepentingan manusia. Shalat memiliki waktu yg telah ditentukan, dan jumlah rakaat yg telah ditentukan pulan. Namun jika pelaksanaannya memberatkan manusia, maka waktu waktu itu digabung (jama’) dan jumlah rakatanya bisa dikurangi (qhasor). Puasa romdhan adalah kewajiban bagi semua umat beriman, namun jika ia sakit atau dalam perjalanan, maka bisa diganti di waktu yg lain. Shalat Jum’at adalah kewajiban setiap muslim, namun jika dalam pelaksanaanya menyulitkan maka boleh ditinggalkan atau dilakukan dengan cara yg tidak menyulitkan. Dan masih banyak lagi contoh disemua bidang fiqih.
Konsep Rukhshoh mislanya, dan contoh contoh diatas menunjukkan bahwa agama diperuntukkan manusia, bukan sebaliknya, manusia untuk agama.
Ada kesalahan pemahaman terhadap konsep Rukhshoh ini, sehingga kadang ada kesan agama dipermainkan. Misalnya pandangan bahwa Jum’at tidak wajib ketika ada udzur, dalam kondisi dharurat atau hajat hal hal yg diharamkan menjadi halal, dll. Pandangan ini salah. Sesuatu yg diwajibkan, selamanya akan wajib selama sebab kewajiban melekat, hanya saja jika ada udzur maka kewajiban itu boleh ditinggalkan atau diganti dengan cara lain. Apakah “khomer” misalnya menjadi halal ketika kondisi dharurat? Tidak, khomer tetap haram, hanya ia boleh dikonsomsi untuk sekedar mempertahankan hidup. Dan begitu contoh yang lain.
Al hasil membaca ayat ayat suci al Qur’an, hadist Nabi dan produk Fiqih kita akan menyakini bahwa agama sangatlah memperhatikan sisi kemanusiaan manusia. Olehnya marilah kita hadirkan kembali sisi kemanusiaan manusia dalam penafsiran dan dakwah. Jangan melulu bicara yang ghaib ghaib terus yg kadang tidak bersentuhan dengan kenyataan riil manausia.
Kata Imam al ghazali “dunia adalah tempat bercocok tanam/ladang ahirat”. Nah marilah kita bicara tentang dunia, tengtang manusia, pastilah ahirat terpetik. Jangan bicara ahirat terus menerus, tapi lupa menanami ladang dunia.
Wallahu a’lam
Sumber:
https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219642966378914
https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219655907742440
https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219657621065272