Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Puasa disyari’atkan tahun kedua Hijrah, hampir bersamaan dengan kewajiban Jihad, lima tahun setelah kewajiban shalat. Shalat adalah satu satunya kewajiban yg disyari’atkan di periode Makkiyah, yaitu pada tahun ke sepuluh setelah kenabian. Rasulullah menjalankan puasa ramadhan sebanyak 9 kali, sebelum beliau kembali keharibaan sang kekasih, Allah swt.
Pada mulanya kewajiban puasa ramadhan bersifat mukhayyar, artinya pilihan, bagi yang mampu berpuasa boleh berpuasa dan boleh tidak puasa tetapi diganti dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sekalipun al Qur’an menegaskan puasa lebih baik daripada membayar fidyah. (Al Baqaroh, 183-184)
Puasa ramadhan menjadi kewajiban mu’ayyan (bukan pilihan lagi), ketika ayat 185 al Baqarah diturunkan. Semenjak ini semua orang yang mampu berpuasa wajib menjalankannya, tidak boleh lagi membayar fidyah. Terkecuali bagi yg sakit dan musafir.
Inilah yg disebut dalam tarikh tasyri’ dengan at tadarruj fi at tasyri’ (pembentukan hukum secara evolotif, bukan revolusi). Metode evolutif merupakan salah satu manhaj dakwah al Qur’an. Selain puasa, pengharaman khamer dalam al Qur’an dilakukan secara evolutif, yaitu melalui empat tahapan sampai masyarakat benar benar siap, setelah itu barulah khamer diharamkan. Jadi kewajiban puasa berawal dari ringan menuju berat, dari mukhayyar menjadi mu’ayyan.
Namun ada yg menarik, banyak juga hukum islam yg awalnya berat kemudian menjadi ringan setelah “tawar menawar” antara Rasulullah dan kebutuhan ummat. Seperti diketahui, Rasulullah adalah sosok yg sangat demokratis, jika kebijakannya memberatkan ummatnya, beliau siap merubah kebijakannya. Jadi kalau Rasulullah ndak pakai gensi gensian, pokoknya kebijakannya memberatkan ummatnya, beliau siap merubahnya.
Dulu, diawal kewajiban puasa, hubungan suami istri (jima’) hanya dibolehkan malam hari sebelum tidur. Setelah tidur tidak boleh lagi melakukannya. Jadi dulu, ndak boleh “sahur jima'”, kalau sebelumnya sudah tidur.
Situasi ini, sangat memberatkan para sahabat, sebab banyak yg bekerja sepanjang hari, setelah berbuka sudah tidak kuat lagi menahan tidur, atau anaknya ndak tidur tidur. Dan baru bangun lagi tengah malam untuk bersaur. Seringkali keinginan jima’ tibab tiba datang diwaktu malem ini. Sementara itu, ia dilarang. Maka larangan jima’ saat sahur, sangat memberatkan umat. Mengadulah mereka kepada Rasulullah.
Berdasar pengaduan itu turunlah ayat….”dan diwaktu malam dihalalkan bagimu berjima’ dengan istrimu, karena istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakeain istri”. Sejak turun ayat ini, suami istri boleh melakukan hubungan sepanjang malam. Pokoknya sebelum kumandang “ash shalatu khairum minan naum”, boleh melakukan “sahur jima’.
Inilah salah satu karakteristik hukum Islam, pelegeslasiannya bersifat evolutif, dan jika kebijakannya memberatkan umatnya, maka islam siap mengubahnya, tentu tetap dalam batas kebijaksanaan Allah swt.
Wallahu A’lam
Situbondo. 250420
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219613454281130