Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Ya Rasulullah, Saya Saling Menindih
Judul ini adalah ungkapan seorang baduwi yg lugu (al A’rabiy) kepada Rasulullah. Ia mengadu kepada Rasulullah karena telah melakukan hubungan suami istri di siang bulan Ramadhan. Mendengar pengakuan lugu itu, Rasulullah bersabda “merdekakanlah seorang budak”. Si Badui menjawab; tidak punya ya Rasul. Apakah engkau mampu puasa dua bulan berturut turut? Tanya Rasul. Tidak ya Rasul, jawabnya. Apakah engkau memiliki makanan yg cukup untuk 60 orang miskin? Tanya Rasul kembali. Tidak ya Rasul. Mendengar jawaban itu Rasul ahirnya duduk sejenak, dan kemudian masuk dan membawakan sekerenjang kecil kurma. Sedekahkanlah kurma itu, sabda Rasul. Apakah kepada orang terfakir diantara kami ya Rasul? Tanya si badui. Ya Rasul sungguh di daerahku tidak ada yg lebih fakir dari padaku. Sambil tertawa, Rasul kemudian bersbada, ya sudah makan kurma itu bersama keluargamu. Hadist ini diriwayatkan 7 tokoh utama ahli hadist.
Hadis ini menggambarkan bahwa Hukum Islam itu sangatlah lentur dan memudahkan dengan memberikan pilihan yg mungkin dilakukan umatnya. Rasulullah telah mencontohkan dengan indah bahwa hukum islam haruslah memberikan solusi yg membahagiakan umatnya, membuat umatnya terseyum, bukan tambah cemberut setelah mendengar nasehatnya. Inilah pesan utama hadist ini.
Di sisi lain Ulama kemudian berbeda pendapat dalam beberapa hal; antara lain; 1. Apakah kewajiban membayar kaffarat itu hanya menjadi kewajiban suami ataukah juga istri? 2. Apakah kewajiban kaffarat itu karena “hubungan seksualnya” ataukah karena unsur ke “sengaja” an melakukannya.
Pertama, Sebagian ulama menyatakan bahwa kewajiban kaffarah itu hanya menjadi kewajiban suami, istri tidak. Karena istri telah terbatalkan puasanya dengan semata masuknya barang kedalam vaginanya. Sama dengan masuknya barang barang lain kebagian dalam tubuhnya. Sebagian ulama lain menyatakan sebaliknya, ya wajib bagi keduanya, karena sama sama melakukan dan menikmatinya. Lalu pilih yg mana? ya jangan pilih kedua keduanya, dengan tidak melakukan senggama. Hehe.
Kedua, kewajiban kaffarah itu karena jima’/wiqa’ nya? Atau karena ada “unsur kesengajaan” nya. Menurut Syafi’iyyah, kewajiban kaffarah itu karena jima’nya itu. Sehingga jika seorang membatalkan puasanya bukan dengan jima’, maka tidak wajib kaffarah. Pandangan syafi’iyyah ini bisa dijadikan alat untuk “merekayasa hukum” (khilah). Jika seorang suami istri tidak mampu menahan hasratnya disiang hari, karena kemanten baru misalnya, tapi tidak ingin membayar kaffarat (memerdekakan budak, puasa 2 bulan, memberi makan 60 rang miskin), maka batalkanlah puasa nya dengan yang lain dulu, minum mislanya, baru kemudian melakukan hubungan suami istri. Maka ia terbebas dari kaffarat.
Sedang menurut Ulama Hanafiyah, kewajiban bayar kaffarat itu bukan karena senggamanya (jima’-wiqa’), tetapi karena unsur kesengajaannya itu. Jadi menurut Hanafiyah kewajibah kaffarah wajib dilakukan oleh setiap orang yg “sengaja” membatalkan puasanya dengan cara apapun, baik sengaja minum, sengaja makan, maupun sengaja senggama. Jika kita ingin ikut pendapat yang berat, maka ikutilah pendapat ini.
Hukum Islam sangatlah luas dan penuh dengan keragaman pandangan-pandangan ulama. Semuanya di gali dari LAUTAN SYARIAH yang maha luas. Dan disitulah letak kerahmatan hukum Islam. Jadi jangan seragamkan semua orang harus dengan satu pandangan fiqih, karena itu justu menimbulkan kesulitan dan kepicikan pada ummat.
Wallahu a’lam
Situbondo 260420
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219629066271420