Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Di antara masalah yang begitu getol diteriakkan kaum salafi ekstrem itu adalah mensifati. Allah Ta’ala dengan arah dan tempat. Mereka beranggapan bahwa Allah menempati tempat yang tinggi (di atas). Kegetolan mereka ini jelas bertentangan dengan perintah yang mengharuskan kita mensucikan Allah dari segala sifat yang dimiliki makhluk-Nya. Sebagaimana banyak dalil menjelaskan hal tersebut:
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Allah Ta’ala wujud (ada), dan tiada tempat baginya. Dia sekarang ada pada apa yang sejak dulu ada.” (Al-Baghdadi, Al-Farqu Bainal Firaq, 1/321.)
Imam Abu Hanifah pemah ditanya,. “Apakah engkau tahu apabila engkau ditanya: ‘Dimanakah Allah?'” Ia menjawab, “Allah Ta’ala wujud (ada), tiada tempat baginya sebelum Dia menciptakan makhluk. Allah Ta’ala wujud, dan Dia tidak bertempat di manapun, tidak diciptakan, dan tidak pula menyerupai apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu. (Lihat Rasaa’il Imam Abu Hanifah, hlm. 25.)
Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala wujud, dan tiada tempat (ruang) bagi-Nya. Dia-lah yang menciptakan tempat ketika Dia ada pada sifat azaliyah-Nya, seperti halnya ketika Dia belum menciptakan tempat. Mustahil bagi-Nya untuk mengubah Zat-Nya sendiri, begitu pula mustahil untuk mengganti sifat-Nya.” (Az-Zabidi, Ithaafu Saadatil Muttaqiin, 2/24.)
Senada dengan itu, Imam ath-Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath-Thaahawiyah berkata, “Barangsiapa yang enggan menafikan sifat makhluk kepada Allah Ta’ala, atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Mahaagung dan Mahamulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamainya. Mahasuci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota, dan aneka benda. Allah Ta’ala tidak butuh enam arah seperti halnya makhluk.” (Abu Ja’far Ahmad bin Salamah ath-Thahawi, Aqidah ath-Thahaawiyyah, hlm. 26.)
Allah Ta’ala mustahil berada di sebuah arah dan tempat. Dan itu merupakan keyakinan kaum muslimin yang benar. Maksudnya, Allah Ta’ala itu qadim (yang paling awal dan wujudnya tanpa sebab) bahwa mereka menetapkan sifat qidam (yang dahulu, awal) kepada Allah secara dzatiyah.
Dalam artian zat Allah tidak diawali dengan wujud yang lain, atau tidak ada yang lebih awal dari wujud Allah, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya,
هُوَ الْاَوَّلُ
“Dialah yang Awal,” (QS. al-Hadiid/57: 3)
Rasulullah saw. juga bersabda,
أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ
“Engkaulah Zat yang Awal, maka tiada sesuatu pun sebelum Engkau.” (HR. Muslim)
Sifat qidam berarti menafikan adanya wujud lain yang mendahului wujud Allah, atau wujud lain yang bersamaan dengan wujud Allah. Oleh karena itu, sifat qidam menghilangkan substansi pendahuluan bagi makhluk sebelum Allah. Begitu pula dengan sifat-sifat Allah, semuanya qadiimah, tidak berubah dengan penciptaan makhluk yang sifatnya hadits (baru).
Menetapkan arah dan tempat kepada Allah mengandung pengertian bahwa sesungguhnya, Allah tidaklah bersifat fauqiyah (di atas) kecuali setelah Allah menciptakan alam semesta. Maka, sebelum penciptaan itu, Allah Ta’ala tidak berada di arah ‘atas’ karena belum adanya sesuatu yang berada di arah ‘bawah’. Dengan demikian, keberadaan di tempat ‘atas’ merupakan sifat baru yang dihasilkan dengan adanya sesuatu yang baru. Oleh karena itu sifat yang seperti ini tidak layak disematkan bagi Allah.
Kaum muslimin juga meyakini bahwa Allah Ta’ala berbeda dengan segala sesuatu yang bersifat baru, maksudnya dalam konteks hakikatnya. Maka dari itu, sifat jirmiyah (zat), radhiyah (sifat), kulliyah (keumuman), juz ‘iyyah (kekhususan), dan juga hal-hal yang melekat pada keempat sifat itu tidak dapat dialamatkan kepada Allah. Hal yang melekat pada jirmiyah membutuhkan arah dan tempat, sementara aradhiyah butuh kepada zat lain agar bisa terwujud. Adapun kulliyah merupakan hal yang besar dan bisa dibagi, sedangkan yang melekat pada juz ‘iyyah adalah kecil, dan lain sebagainya.
Berangkat dari itu, jika setan datang membisiki hati seseorang, “Andaikan Allah itu tidak jirim, aradh, kulli, atau juz’i, lantas apa hakikat Allah sebenarnya?” Maka jawablah godaan itu dengan, “Tidak ada yang tahu hakikat Allah kecuali hanya Allah semata.”
Perbedaan sifat Allah dengan makhluk-nya itu tertuang dalam firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Maha melihat.” (QS. asy-Syuraa/42: 11)
Dan juga di ambil dari sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ra., “Sesungguhnya kaum musyrikin pernah berkata, ‘Wahai Muhammad, jelaskan kepada kami hakikat Tuhanmu!’ Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang berbunyi,
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ
Katakankanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas/112: 1-4)
Untuk ayat ketiga Rasulullah saw. menjelaskan, “Karena sesungguhnya tidak ada satu pun yang dilahirkan kecuali ia akan mati. Dan tidak ada sesuatu yang mati itu kecuali ia akan diwarisi. Sedangkan Allah itu adalah Zat yang tidak mati, dan juga tidak diwarisi.”
Sedang untuk ayat keempat dijelaskan oleh beliau, “Tidak ada satu pun yang bisa menyamai dan menandingi Allah. Dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.” (HR. al-Hakim)
Dari dalil di atas, Allah Ta’ala mensifati diri-Nya dengan menghilangkan sifat sepadan dan sifat-sifat lain yang tidak pantas dimiliki oleh-Nya. Begitu pula yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Dari sini, kaum muslimin dapat memahami bahwa pada hakekatnya Allah Ta’ala berbeda dengan segala sifat yang dimiliki semua makhluk.
Dengan demikian, tidak boleh hukumnya mensifati Allah dengan sifat-sifat yang baru, termasuk juga bertanya dengan beberapa pertanyaan yang bisa mengarah ke sana. Tidaklah boleh bertanya tentang Allah dengan pertanyaan seperti, “Dimanakah Allah?” dengan tujuan untuk mengetahui arah dan tempat dimana Zat Allah Ta’ala berada. Akan tetapi, boleh menanyakan hal itu dengan bertujuan untuk mengetahui kekuasaan Allah Ta’ala atau malaikat yang bertugas untuk-Nya.
Pembolehan ini bukan sebatas pada pertanyaan di atas saja”, tapi juga pada bentuk pertanyaan apapun yang isinya mensifati Allah Ta’ala dengan sifat yang baru selama memiliki tujuan di atas. Berangkat dari itu, pertanyaan yang datang dari syara’ dengan memakai kata tanya “dimanakah?” atau informasi yang secara lahimya seperti menetapkan ‘arah’ kepada Allah, maka wajib hukumnya untuk ditakwilkan dengan tujuan di atas.
Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’. Penerjemah: Abdul Ghafur..Penyunting: Owen Putra (Jakarta: KHATULISTIWA Press, 2013), h. 21-26