Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Istri Memandikan Suami, Suami Mandikan Istri
Saat melayat sahabat yg meninggal, sambil menunggu Mayyit dimandikan, kami mendiskusikan beberapa hal; 1. Bolehkah Suaminya memandikan janazah Istrinya? 2. Kalau boleh, apakah jika menyentuhnya bisa membatalkan wudhu’nya Suami atau istri yg sudah dimandikan dan diwudhu’i itu? Dan beberapa pertayaan lain seputar “tajhizul mayyit”. Belum sempat menjawab beberapa pertayaan diskusi, ternyata mayyit sudah siap di berangkatkan ke maqam. Tersisalah pertayaan itu tampa jawab. Maka saya tulis aja, semoga bermamfaat.
Pertama; Dalam satu hadist yang dikutip an Nawawi dalam kitab al Majmu’, Aisyah istri Nabi yg lagi viral saat ini meriwayatkan; suatu hari Rasulullah kembali dari Baqi’ dan menemukan Istrinya Aisyah sakit kepala, Aisyah berseru “aduh kepalaku”, Rasulullah pun berkata, bahkan aku ya Aisyah “aduh kepalaku”, Rasul melanjutkan seandainya engkau meninggal sebelum aku, niscaya aku akan memandikanmu, menkafanimu, mensholatimu dan mengkafanimu.
Hadis ini jelas menyatakan; bahwa suami boleh merawat janazah istrinya termasuk memadikannya, bahkan suami lebih berhak untuk merawat janazah istrinya dari pada perempuan lainnya. Bagaimana sebaliknya? Dalam kitab induk “al Um” juga disebutkan bahwa istri juga boleh memandikan janazah suaminya? Sekalipun sudah cerai? Ia sekalipun sudah cerai. Sampai kapan? Ada tiga pendapat; selamanya sekalipun sudah habis Iddahnya, dua: sebelum menikah lagi, dan ketiga sebelum iddahnya berahir.
Kedua; Apakah batal wudu’ nya, baik yg dimandikan maupun yg memandikan?
Orang yg meninggal hakikatnya sudah tidak punya beban kewajiban hukum apapun, termasuk batalnya wudhu akibat bersentuhan lain jenis. Jadi ketika janazah sudah disucikan(bahasanya masyarakat), maka disentuh oleh siapapun tidak batal wudhu nya. Demikian pula wudhu’ nya yg memandikan. Sebab tidak ada dalil yg menyatakan demikian.
Sama halnya jika setelah dimandikan keluar najis, sekalipun dari kedua kemaluannya. Sebab si janazah sudah tidak punya beban kewajiban apapun.
Kecuali jika yg memandikan menyentuh kemaluannya, maka batal wudhu yg memandikanya, dan tidak boleh pegang pengang itunya. Dan sebaiknya yg memandikan tidak memegang badannya, sebaiknya mengenakan sarung tangan. Ya hanya sunnah saja. Jadi intinya tidak batal wudhu janazahnya, dan juga yg memandikannya, kecuali ia pegang kemaluannya.
Bagaimana jika ada janazah laki laki tidak punya kerabat laki laki, dan juga tiada kerabat perempuan, serta tidak ada satu laki lakipun disitu? Bolehkah dimandikan oleh perempuan yg bukan mahrom? Dan sebaliknya?
Ada dua pendapat, pertama tidak perlu dimandikan melainkan di tayammumi aja. Kedua bolehlah dimandikan oleh perempuan namun tetap dengan “protokol perauratan”, artinya janazahnya ditutup kain, memakai sarung tangan, dan mandikanlah.
Catatan:
1. wudhu nya janazah bukan setelah memandikan, melainkan sebelum memandikan. Di sini banyak masyarakat yg keliru.
2. Kalau ada yg tanya, kok aturannya ribet nya, sudah meninggal aja masih pakai “protokol per auratan dan permahroman”, jawabnya ya untuk jaga jaga aja, kali masih ada yg kotor pikirannya. Dalam usul fiqih antisipasi semacam ini disebut dengan saddu ad dariah.
Wallahu A’lam
Situbondo 120420
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219475178544323