Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Hari-Hari ini kita dikejutkan dengan banyaknya Kasus Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual yang sengaja “dipaksa” ditutup-tutupi, atau dipaksa damai, semata mata untuk menutup “aib” karena pelakunya adalah tokoh agama atau tokoh masyarakat. Sementara di sisi lain, kita melihat beberapa masyarakat yang menyeret, mengarak, mengungkap orang-orang yang “baru diduga” melakukakan perzinahan. Fakta seperti ini, hakikatnya adalah pembalikan ajaran agama. Karena seharusnya adalah sebaliknya. Akibatnya Kekerasan (seksual) terhadap perempuan terus berulang, karena pelakunya tidak tersentuh hukum.
Pada Masa Nabi Muhammad saw, banyak perempuan yang berani menyuarakan kasus kekerasan (seksual) yang dialaminya, sekalipun harus melawan tuduhan “aib” dari masyarakat. Sebutlah misalnya:
1. Huwailah binti Tsa’labah. Ia adalah perempuan yang menarik di usia muda. Menikah dengan laki-laki bernama Aus bin Shamit. perjalanan hidup sebagai suami-istri pun telah dijalani dalam waktu yang panjang, anak-anak telah dilahirkan dari rahimnya. Menjelang usia senja, ketika kecantikan Huwailah telah dimakan usia, rahimnya telah terkuras tak lagi ada anak yang bisa dilahirkan, dan tulang-tulangnya telah rapuh, eee tiba-tiba Huwailah diceraikan dengan cara Dhihar. Huwailah tidak terima, ahinya ia mengadukan kepada Nabi Muhammad saw. Tidak “puas” dengan jawaban Nabi, Huwailah mengadukannya pada Allah swt. Ahirnya, Turunlah ayat pertama dalam surat al-Mujadilah, yang memberikan solusi kasus Huwailah. Bahkan surat itu kemudian diberi nama al-Mujadilah (perempuan yang berani bersuara/berdebat) untuk mengabadikan perjuangannya menemukan keadilan.
2. Musaikah. Ia adalah budak dari munafik ternama, Abdullah Ubai Bin Salul. Ubai bin Salul memaksanya untuk melacur, dan meyewakannya pada laki-laki untuk mendapat keuntuangan ekonomi. Suatu hari Musaikah dipaksa untuk melacur, dari melacur itu ia membawa uang satu dirham atau sehelai surban. Ubai bin Salul marah dan memaksanya untuk melacur lagi, karena hasilnya kurang banyak. Mendapat perlakukan yang sangat tidak adil itu, ahirnya Musaikah mengadukannya kepada Nabi. Lalu turunlah ayat 33 Surat An-Nur “janganlah engkau paksa budak-budakmu melakukan pelacuran….”. Ayat ini turun karena keberanian Musikah untuk bersuara atas ketidakadilan dan kekerasan seksual atasnya.
3. Jamilah. Ia adalah gadis perempuan perempuan yang dinikahkan “secara paksa” oleh orang tua laki-lakinya. Setelah dipertemukan dengan Suaminya, Jamilah menolaknya. Jamilah menyatakan bahwa ia menolak bukan karena agama dan ahlaknya, melainkan karena ia takut tidak bisa berbuat patuh sama suaminya. Karena suami “sangat-sangat hitam, sangat pendek, dan buruk wajah” , Jamilah hawatir tidak sabar, dan kemudian durhaka pada suami. Ahirnya ia mengadukan pada Nabi. Ahirnya Nabi memerintahkan agar mas kawin dikembalikan, dan Jamilah pun dipisahkan dari suaminya. Inilah Khulu’ (cerai gugat pertama dalam islam) yang juga lahir dari keberanian perempuan untuk menolak.
4. Organisasi perempuan (tidak disebut nama-namanya) karena banyak perempuan tergabung. Kisah ini dimulai dari perintah nabi “Janganlah kalian pernah memukul hamba-hamba Allah, termasuk Istri-istri”. Setelah Sabda ini, sayyida Umar Bin Khattab menghadap nabi, karena banyak perempuan yang diadukan telah berani dan kasar pada suaminya. Ahirnya nabi bersabda sebaliknya “pukullah istri-istrinya”. Setelah sabda kedua ini, ada “banyak perempuan” yang mengelilingi rumah keluarga Nabi, dan menyerukan bahwa suami-suami mereka kembali memukul istrinya. Bahasa sekarang demonstarsi emak-emak. Ahirnya Nabi bersabda ” suami yang memukul istrinya bukanlah suami terbaik”.
5. Dikisahkan dalam hadist berikut:
أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ، نا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ أَبِي الضُّحَى، قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: إِنِّي زَنَيْتُ فَرَدَّدَهَا حَتَّى أَقَرَّتْ أَوْ شَهِدَتْ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَمَرَ بِرَجْمِهَا فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: «سَلْهَا مَا زِنَاهَا فَلَعَلَّ لَهَا عُذْرًا؟» فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ: إِنِّي خَرَجْتُ فِي إِبِلِ أَهْلِي، وَلَنَا خَلِيطٌ، فَخَرَجَ فِي إِبِلِهِ فَحَمَلْتُ مَعِي مَاءً، وَلَمْ يَكُنْ فِي إِبِلِي لَبَنٌ، وَحَمَلَ خَلِيطِي مَاءً، وَمَعَهُ فِي إِبِلِهِ لَبَنٌ، فَنَفِدَ مَائِي فَاسْتَسْقَيْتُهُ، فَأَبَى أَنْ يَسْقِيَنِي حَتَّى أُمْكِنَهُ مِنْ نَفْسِي، فَأَبَيْتُ، فَلَمَّا كَادَتْ نَفْسِي تَخْرُجُ أَمْكَنْتُهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: ” اللَّهُ أَكْبَرُ، أَرَى لَهَا عُذْرًا {فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ} [البقرة: 173] ” فَخَلَّى سَبِيلَهَا
artinya : Seorang perempuan menghadap Khalifah Umar dan mengaku dengan 4 peryataan bahwa ia telah melakukan perzinahan. Sang Khlaifah kemudian merintahkan agar perempuan itu dirajam. Saat itu kebetulan ada sayyidina Aly ra. Ali menasehati Umar ra agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan , siapa tahu perempuan itu memiliki alasan kuat kenapa melakukan perzinahan. Ahirnya Umar ra menyelidik. Lalu perempuan itu bercerita ” bahwa di suatu hari ia keluar rumah bersama unta milik keluarga, dan bersamanya kawan perjalanan, ia membawa air namun tidak ada susu diuntanya, sementara kawannya membawa air dan membawa susu. Ahirnya airnya habis. Ketika haus, ia meminta air kepada kawannya dan ditolaknya, kecuali menyerahkan tubuhnya. Ia menolak, namun ketika haus hampir mencabut nyawanya, ahirnya ia menyerahkan tubuhnya untuk mendapatkan air. Mendengar cerita perempuan ini, sayyidina Aly Bertiak “Allahu Akbar” (inilah terikan Allahu Akbar yang tepat). Aly ra mengatakan “perempuan ini memiliki alasan kuat kenapa ia melakukan itu…. Ahirnya sayyidina Umar membebaskan “jalan perempuan itu”.
Allahu Akbar, inilah antara lain, suara suara perempuan yang berani menyuarakan ketidakadilan dan kekerasan seksual atas tubuhnya. Jadi jika perempuan saat ini takut menyuarakannya, maka perlu didorong agar segera berani menyuarakannya, karena telah dicontohkan oleh perempuan-perempuan hebat di zaman nabi.
Kiyai Husein Muhammad, bisa menambahkan nama-nama lain. Beliau sangat kaya dengan referensi, karena tidak pernah berhenti membaca.
Dalam lembaran kitab-kitab tafsir, banyak dikutip perempuan berani yang menolak kekerasan dan kedhaliman terhadap perempuan. Dan seringkali keberatan perempuan itu menjadi penyebab turunnya (sabab an-nuzul) ayat-ayat al-Qur’an.
Yang menarik dicermati adalah mengapa perempuan-perempuan di zaman Nabi berani mengadukan dan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Apakah karena mereka telah cukup lama mengalaminya, sehingga sudah saatnya untuk bersuara? ataukah karena perempuan-perempuan itu melihat dan menyakini bahwa pengaduannya pasti mendapatkan “hak kebenaran dan keadilan” dari Rasulullah Muhammad saw? jawabannya bisa kedua-keduanya.
Memang, pada masa Nabi, selain proses hukum begitu sederhana, singkat, tidak membutuhkan biaya besar, Nabi Muhammad sebagai Rasululah yang membawa misi rahmatan lil alamin juga menjadi jaminan bahwa korban pelapor akan menemukan kebenaran dan keadilan yang dicarinya. Mungkin tidak seperti sekarang, proses hukum rumit, menghabiskan waktu lama, kadang biaya mahal, dan belum pasti menemukan kebenaran dan keadilan, kalau tidak sebaliknya justru mendapat streotipe dan blaming the victim-kriminalisasi.
Selain perempuan yang tersebut dalam posting sebelumnya, banyak perempuan di zaman Nabi yang berani melaporkan ketidakadilan atasnya, antara lain:
6. Habibah Bintu Zaid. Ia mengadukan kekerasan yang dilakukan suaminya kepada Raulullah. Ya Rasulullah, suamiku menempelengku, ucapnya. Rasulullah bersabda “balaslah ia-qishas ia”. Mendengar sabda Nabi agar ia membalas, Habibah dan ayahnya bergegas pulang untuk membalas perlakuan suaminya. Belum jauh beranjak, Rasulullah kembali memanggil Habibah dan ayahnya, kembali-kembali dulu, ada apa ya Rasulullah? Rasulullah bersabada ” baru saja Jibril datang membawa Wahyu – ar-Rijalu Qawwamuna ala an-Nisa “. Keinginanku dan keinginan Allah berbeda, aku menyuruhmu membalas, tapi Allah menginginkan yang lain yang lebih bijaksana, dan keinginan Allah pasti lebih baik, sabda Nabi. Seandainya terjadi pembalasan, sementara budaya patriarkhi masih kuat, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi dalam rumah tangga Habibah dan suaminya.
Saya menyakininya bahwa Nabi tidak mungkin membiarkan prilaku suami yang suka memukul, melainkan pasti mencegahnya dengan kebijaksanaannya.
Menurut ahli tafsir, akibat keberanian Habibah mengadukan kekerasan yang dialaminya, turun 2 ayat sekaligus, yaitu surat Thaha ; 114 dan an-Nisa ;34. Bahkan ayat an-Nisa’ ayat 34 ini turun bebrapa kali yang menunjukkan bahwa pasca pelaporan Habibah, disusul oleh pelaporan perempuan lain, Jamilah bintu Ubay dan Umairah bintu Muhammad.
7. Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah perempuan pertama yang turut serta hijrah ke Madinah. Beliau menyampaikan kegelisahannya kepada Nabi, mengapa yang berperang (dan mendapatkan syahadah dan ghanimah) hanya laki-laki? Kenapa kami kaum perempuan hanya mendapatkan bagian warist setengah bagian laki-laki dan bahkan sebelumnya tidak mendapatkan apapun? Di saat yang sama, laki-laki merasa unggul dengan berharap bahwa di ahirat pun nanti mereka berharap mendapatkan lebih banyak dari perempuan. Mendengarkan pengaduan Ummu Salamah, maka turunlah ayat an-Nisa 32, yang menegaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan apa yang telah diusahakannya, sama halnya perempuan akan mendapatkan apa yang telah mereka usahakan. Jangan beriri hati, bermohonlah karunia hanya dari Allah jangan dari yang lain, termasuk dari suami.
8. Fatatun (Gadis yang tidak disebut namanya- kayak orang sedekah di masjid yang tidak mau disebut nama tapi diceritakan pada kawan-kawan disampingnya-hamba Allah itu saya loo). Gadis ini terhitung sangat berani. Ia mengadukan kepada Rasulullah perjodohan secara paksa yang dilakukan orang tuaanya . Mendengar pengaduannya, Rasulullah menyerahkan sepenuhnya keputusan pada sang Gadis ini, apakah ia akan melanjutkan atau membatalkan perkawinan yang telah dilakukannya. Di ahir pengaduannya ia menyampaikan pilihannya kepada Nabi ” ya Rusulullah, sesungguhnya saya menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh ayah saya”. Terus? hanya saja ;
وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
……saya ingin agar para perempuan mengetahui bahwa para ayah tidak punya hak apapun unuk memperlakukan sewenang-wenang pada putrinya.
Menurut cara pandang saya sekarang, apa yang dikatakan oleh perempuan ini, apa lagi dihadapan Nabi, terhitung tindakan yang berani. Namun Rasulullah dengan segala kebijaksanaan tingkat tingginya selalu memberika solusi yang benar dan adil.
9. Perempuan yang tersebut dalam Hadist Riwayat Abu Dawud;
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا الْفِّرْيَابِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ، فَتَجَلَّلَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا، فَصَاحَتْ، وَانْطَلَقَ، فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، فَانْطَلَقُوا، فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا، فَأَتَوْهَا بِهِ، فَقَالَتْ: نَعَمْ هُوَ هَذَا، فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، فَقَالَ لَهَا «اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «يَعْنِي الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ»، وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا: «ارْجُمُوهُ»، فَقَالَ: «لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ»
artinya : Suatu Malam, ada seorang perempuan shalihah keluar rumah untuk shalat. Lalu dihadang dan ditindih laki-laki dan diperkosanya. Lepas dari sekapannya, ia berteriak, dan pelakupun lari. Datang seorang laki-laki yang ingin menolongnya. Karena malam gelap, perempuan korban itu menduga bahwa laki-laki ini adalah pelakunya. Di saat bersamaan datang sekelompok kaum Anshar dan kemudian menagkap laki-laki yang ingin menolong ini. dihadapkanlah kepada Rasulullah. Ketika laki-laki penolong hendak dirajam, datanglaah pelaku sesungguhnya, dan mengaku bahwa ia pelakunya. Rasulpun bersabda kepada perempuan korban itu, pulanglah Allah telah mengampunimu. Dan kepada laki-laki penolong, rasul bersabda dengan lembut, pergilah. Kemudian Rasul pun meghukum pelaku sesungghunya.
Certia dalam hadist ini menegaskan bahwa siapapun berpotensi mengalami kekerasan seksual, sekalipun perempuan shalihah ahli ibadah sekalipun. Kedua Rasulullah pasti tidak memberikan hukuman pada korban perkosaan, bahkan dalam hadist lain, perempuan korban perkosaan dipulihkan nama baiknya, dan diberikan restitusi (ganti rugi). Pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang setimpal kejahatannya.
Masih banyak hadist senada ini, yang menggambarkan bahwa Kekerasan seksual banyak terjadi. Islam hadir untuk menghapuskannya.
سنن ابن ماجه (2/ 866)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ الرَّقِّيُّ، وَأَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا: حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: أَنْبَأَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: «اسْتُكْرِهَتِ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَرَأَ عَنْهَا الْحَدَّ وَأَقَامَهُ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا، وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَهْرًا»
…di masa Nabi ada perempuan diperkosa, dan Nabi tidak memberikan hukum “had”. Sebaliknya Nabi menghukum pelakunya….
Itulah sembilan perempuan yang telah berani bersuara, dan suaranya menjadi sebab lahirnya teks suci dan mengubah peradaban. Mengapa sembilan, ya biar diberkati bintang sembilan, NU.
Selamat hari perempuan se Dunia. Perempuan hebat, berani bersuara. Wallahu ‘alam
Jkt 140321
Sumber:
https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10222169613783520
https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10222178866614835