Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Istri : Memilih Jalannya Sendiri
Sungguh perih hati ketika menulis ini. Bagaimana tidak, dalam bulan suci romadhan dimana setiap orang berupaya merajut kebahagiaan, menggapai kasih sayang dan berlomba dalam menebar kebaikan, namun tidak bagi beberapa perempuan yg terus berjuang menerangi kegelapan hidupnya. Dalam satu bulan ini saja, setidaknya ada 3 perempuan yang mengadukan kekerasan dari suaminya. Sekalipun juga pasti ada laki laki yg mengalami kekerasan dari istrinya.
Perempuan pertama mengadu ia dicerai secara sepihak, padahal ia dalam keadaan hamil, dibulan romdahan, menjelang iedul fitri lagi. Bisa dibayangkan bagaimana perihnya. Perempuan kedua mengalami kekerasan dan perkawinannya digantung begitu saja. Perempuan ketiga dinikahi, dipoligami secara sirri, dan kemudian ditinggal begitu saja, tampa dicerai, dilanjutkan suaminya menikahi lagi istri ketiganya.
Mungkin kita tidak bisa membanyangkan bagaimana kalau 3 perempuan itu adalah ibu, anak, saudara atau tetangga dekat kita. Pastilah sangat menyesakkan hati. Bahkan perempuan ketiga berupaya mengahiri hidupnya, karena tidak mampu lepas dari lingkaran kekerasan yg dialaminya.
Bolehkah saya menceraikan suami saya? Tanyanya?
Jangan remehkan pertayaan ini, sebab di atas penderitaanya yg terus menerus, perempuan ini tetap mencari sandaran “agama” untuk lepas dari suaminya. Berbalik dari suaminya yg melakukan kekerasan dan meninggalkannya begitu mudah mungkin tidak peduli terhadap agama.
Atas dasar itu, saya berusaha mencarikan “solusi agama” seperti ia minta. Ini bukan fatwa atua fiqih pesanan, melainkan fiqih memang harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan penanya (mustafti), bukan atas kebutuhan dan kepintaran “sang mufti” (pemberi fatwa). Ini teladan Rasulullah. Rasulullah kerap menjawab dengan jawaban yg berbeda beda atas satu pertayaan yg sama, karena latar penanyanya yg berbeda beda.
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj dikatakan:
” فَإِنْ لَمْ تَجِدْ قَاضِيًا وَلَا مُحَكِّمًا بِمَحَلِّهَا أَوْ عَجَزَتْ عَنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ كَأَنْ قَالَ لَهَا لَا أَفْسَخُ حَتَّى تُعْطِيَنِي مَالًا كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ اسْتَقَلَّتْ بِالْفَسْخِ لِلضَّرُورَةِ وَيَنْفُذُ ظَاهِرًا وَكَذَا بَاطِنًا لِبِنَاءِ الْفَسْخِ عَلَى أَصْلٍ صَحِيحٍ فَاسْتَلْزَمَ النُّفُوذَ بَاطِنًا، وَقَدْ جَزَمَ بِذَلِكَ جَمْعٌ”
Arti bebasnya; istri boleh mengajukan ke pengadilan untuk melakukan fasakh nikah (pembatalan nikah), jika suami terbukti tidak mampu memberikan nafkah. Namun jika, di daerah itu tidak ada hakim atau muhakkam, atau ada namun istri tidak mampu mengadukan fasakh padanya (misalnya karena hakim meminta uang, atau tidak memiliki bukti nikah), maka istri itu boleh menfasahk dengan dirinya sendiri. Dalam kitab lain ditamabahkan, sebaiknya fasahk istri atas suaminya dihadiri dua saksi.
Jadi di dalam kitab fiqih ada ruang bagi istri untuk menfasakh nikah secara mandiri (istaqllat bi al faskhi). Memang teks fiqih baru terbatas pada alasan ketidakmampuan nafkah suami. Tetapi substansi alasan itu bisa diperluas pada kasus kasus yg membahayakan kedidupan istri.
Saya berkata padanya, jika pandangan fiqih ini membahagiakanmu dan merasa lebih dekat dengan agama, maka ambil dan tempuhlah.
Tentu saja, kita berharap meraih kehidupan keluarga yang bahagia, yg penuh mawaddah wa rahmah, berdiri di atas prinsip kesalingan, keseimbangan, kesetaraan hak, dan yang semaknanya. Semoga Allah melindungi keluarga kita. Amin. Namun jika ada keluarga yg tidak begitu, setidaknya kita berempati, setidaknya mencarikan solusi agama yg dibutuhkannya.
Wallahu A’lam
Situbondo 120520
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219800703682248