Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Apakah saling berjabat tangan antarjamaah setelah shalat merupakan penyempurna shalat, atau makruh dilakukan, atau bahkan bid’ah?
Saling berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat berjamaah itu hukumnya antara boleh dan mustahabb. Jadi, jangan sampai ada yang meyakini bahwa hal itu merupakan penyempurna shalat berjamaah atau sunah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Ulama-ulama yang mengatakan bersalam-salaman setelah shalat itu hukumnya mustahabb berdalil pada apa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Juhaifah ra.
”Rasulullah saw. keluar di Bathha’. Beliau berwudu, kemudian melakukan shalat Zhuhur dua rakaat dan shalat Ashar dua rakaat, sementara di depannya ada seekor kambing. Orang-orang kemudian berdiri dan mengambil tangan beliau (menyalami), lalu mengusap wajah mereka. Aku pun mengambil tangan beliau dan kuletakkan di wajahku. Tangan beliau itu lebih dingin daripada es dan lebih harum daripada parfum kesturi (misk) [HR. Bukhari, Kitab al-Manāqib, Bab ‘Sifat Nabi saw., No. 3553]
Al-Muhibb Al-Thabari (w. 694 H) mengatakan, “Kejadian itu boleh dijadikan dasar (boleh ditiru dan diteladani), sesuai dengan kebiasaan orang bersalam-salaman setelah shalat jamaah, terutama shalat Ashar dan Maghrib. Jika hal itu dimaksudkan untuk kebaikan, seperti memperoleh berkah (tabarruk) dan agar tetap saling mencintai, dan sebagainya.”
Pendapat Imam Nawawi (w. 676 H) lain lagi. Menurutnya, seperti ditulis dalam al-Majmū’, bersalaman dengan tangan orang yang sudah bersama kita sebelum shalat itu boleh, sedangkan dengan orang yang tidak bersama kita sebelum shalat itu mustahabb. Sebab, berdasarkan ijma’ ulama, berjabat tangan itu sendiri hukumnya asalnya adalah sunnah ketika bertemu. [Al-Majmū’, vol.II, hal, 452]
Sementara itu, dalam kitab Al-Adzkār, Imam Nawawi menulis: “Ketahuilah bahwa berjabat tangan adalah mustahabb setiap kali bertemu. Apa yang dilakukan sebagian orang dimana mereka saling bersalaman setelah shalat Shubuh dan Ashar, itu tidak ada dasarnya, tetapi tidak apa-apa untuk dilakukan. Sebab, hukum asal bersalaman itu sendiri adalah sunah. Perkara mereka membiasakan bersalaman dalam keadaan-keadaan tertentu dan tidak membisakan dalam keadaan lain, itu tidak lantas menjadikan bersalaman keluar dari hukum aslinya yang memang disyariahkan.” [Imam Nawawi, Al-Adzkār, I/226; Al-Mubarakfuri, Tuḥfat al-Ahwadzi, VII/426; Al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’būd, XIV/81]
Ada juga ulama, yakni Imam ‘Izzuddin ibn ‘Abdussalam, yang menganggap bersalaman setelah shalat Shubuh dan Ashar sebagai bid’ah yang boleh. Al-‘Azhim Abadi dalam ‘Awn al-Ma’būd (XIV/81) menyebutkan bahwa: Imam Abu Muhammad ibn ‘Abdussalam menyebutkan bahwa bid’ah itu ada lima, yakni wajib, haram, makruh, mustahab, dan mubah. Di antara bid’ah yang mubah adalah bersalam-salaman setelah shalat shubuh dan ashar.
Sedangkan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bersalam-salaman setelah shalat itu makruh [Al-Zarqawi dalam Syarh-nya (IV/333) menukil ungkapan Abu ‘Umar yang menyatakan, “Ibn Wahab dan yang lainnya merwiyatkan dari Malik bahwa bersalam-salaman dan berpelukan setelah shalat adalah makruh. Pendapat itu juga dianut oleh Sahnun dan yang lainnya.” Sementara itu, diriwayatkan juga dari Malik pendapat yang berbeda, seperti yang diisyaratkan di dalam Al-Muwaththa’. Sebagian ulama dahulu maupun belakangan membolehkannya. Banyak faedah yang diperoleh dari bersalaman.]
Itu karena mereka memandang bahwa kebiasaan itu berpotensi menjadikan orang-orang yang tidak mengerti meyakininya sebagai penyempurna shalat atau sebagai sunah yang dicontohkan oleh Nabi saw.
Namun, meskipun berpendapat makruh, mereka juga mencatat bahwa apabila seorang Muslim mengulurkan tangannya kepada kita untuk bersalaman, kita tidak boleh berpaling dengan menarik tangan kita. Sebab, hal ini justru dapat menyinggung perasaannya. Nah, menghindari menyinggung perasaan harus didahulukan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh (bersalaman), sesuai dengan kaidah fiqih: dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari kerusakan harus didahulukan daripada melakukan kemaslahatan).
Atas dasar itu, dapat ditekankan di sini bahwa bersalam-salaman adalah disyariahkan. Melakukan jabat tangan setelah shalat berjamaah tidak menjadikannya keluar dari ketentuan syariah itu. Hukumnya antara mubah dan mustahabb berdasarkan pandangan sebagian ulama atau lebih baik dilakukan, berdasarkan pendapat Imam Nawawi.
Ini tentu saja, dengan memperhatikan bahwa hal itu bukan merupakan penyempurna shalat, bukan pula merupakan sunah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Hal inilah yang kemudian menjadi catatan ulama-ulama menilainya makruh. Jadi, letak kemakruhan bersalam-salaman setelah shalat menurut mereka ada pada meyakininya sebagai sesuatu yang sunah, bukan pada hukum asal bersalaman itu sendiri.
Oleh karena itu, bagi yang mengikuti pendapat ulama yang memakruhkan bersalam-salaman setelah shalat, dia harus memperhatikan alasan ini di samping harus menjaga etika perbedaan dalm hal ini, dan menghindari timbulnya perpecahan di antara umat jika tidak mau bersalaman setelah shalat.
Seseorang juga perlu menyadari bahwa menanamkan persatuan adalah sikap yang lebih dicintai oleh Allah daripada menghindari perbuatan makruh yang informasinya diperoleh dari sebagain ulama, sementara ulama-ulama yang lain membolehkan atau bahkan menilainya mustahabb.
Sumber: Syaikh Ali Jum’ah Menjawab 99 Soal Keislaman: Menyorot Problematika Fiqih Ibadah, Fiqih Muamalah, Hingga Fiqih Kedokteran dan Sains. Penyadur: Muhammad Arifin, Penyunting: Faiq Ihsan Anshari, Tangerang: Lentera Hati: Cetakan I, 2014. Hal. 47-50.