Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor King Fahd University-Arab Saudi
Sebagaimana “mendung tak berarti hujan”, Arab juga tak berarti habib, dan habib tak berarti keturunan Nabi Muhammad karena ada banyak Muslim yang bernama “Habib” meskipun tidak ada “hubungan genealogis” dengan Nabi Muhammad. Ada juga orang yang mengaku-aku atau mengklaim sebagai “habib” meskipun bukan habib (atau, sebut saja “habib KW”), ada pula “habib beneran” yang tidak mau disebut “habib” atau menyembunyikan identitas kehabibannya karena kerendahan hati beliau. Dalam Bahasa Arab, kata “habib” atau “habiib” berarti “yang tercinta” atau “yang dicintai” (beloved). Jamak kata ini adalah “habayib” yang sering diucapkan “habaaib”.
Di kalangan umat Islam, nama “Habib” ini bermacam-macam: ada yang digunakan sebagai “nama depan” atau “nama pertama” (first name), ada yang “nama keluarga” (family name atau surname), ada pula yang digunakan sebagai “gelar kehormatan” untuk para alim-ulama dari keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW.
Nama habib yang digunakan sebagai “nama depan”, misalnya, yang populer, Habib Beye (pemain sepak bola dari Sinegal; nama belakang “Beye” mengingatkan saya kepada seseorang di Indonesia he he), Habib Bourguiba (politisi Tunisia), Habib Koite (musisi dari Mali), Habib Nurmagomedov (atlit seni bela diri dari Rusia), dlsb. Di Iran, juga banyak nama-nama tokoh beken yang menggunakan nama depan habib seperti Habib Dehghani (pemain bola), Habib Kashani (pebisnis), Habib Mohebian (penyanyi), dlsb. Di Indonesia juga begitu ada banyak nama depan yang pakai nama habib (untuk laki-laki) atau habibah (untuk perempuan).
Adapun yang digunakan sebagai nama keluarga contohnya Phillip Habib (almarhum), seorang mantan diplomat Amerika legendaris. Di Amerika atau Barat pada umumnya, ada banyak Muslim yang menggunakan “nama Kristen” untuk “menyamarkan” identitas keislamannya karena berada di kawasan yang mayoritas non-Muslim. Kemudian Irfan Habib, seorang sejarawan India. Lalu, Ralph Habib (almarhum), seorang mantan sutradara top Perancis keturunan Libanon.
Nama habib yang dipakai sebagai sebuah “gelar kehormatan” untuk seorang alim-ulama keturunan Nabi Muhammad populer di Yaman dan sejumah negara di Asia Tenggara seperti Habib Alwi al-Haddad (mufti Johor), Habib Ali Kwitang, Habib Luthfi bin Yahya, dan masih banyak lagi. Dalam konteks ini maka perlu diingat, tidak semua keturunan Nabi Muhammad itu adalah “habib” jika mereka tidak memiliki kualifikasi keulamaan dan kualitas keilmuan tertentu. Lalu, bagaimana dengan “sosok legendaris” “Habib” Novel Bamukmin? Maap ye, ane kagak paham yang ini he he
Mengenai keturunan Nabi Muhammad, ada yang disebut “sayid” (jamak: “sadah”) bagi laki-laki dan “sayidah” bagi perempuan”. Di Saudi khususnya dan kawasan Arab Teluk lain, mereka disebut “syarif” (jamak: asyraf) untuk laki-laki dan “syarifah” untuk perempuan. Mereka kini bukan hanya pengikut Sunni tapi juga Syiah. Mereka adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan maupun Husein (yang populer dengan sebutan “Alawiyin”), keduanya putra Ali yang menikahi putri Nabi Muhammad (bernama Fatimah).
Khusus untuk kaum sayid dan sayidah di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, kebanyakan (atau mungkin semuanya, perlu studi lebih lanjut), mereka adalah keturunan dari keluarga Ba Alawi, salah satu cucu dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir (w. 956), keturunan ke-10 dari Nabi Muhammad, yang lahir di Basrah, Irak, kemudian bermigrasi dan wafat di Hadramaut, Yaman selatan, untuk menghindari kekerasan sektarian di Irak kala itu.
Jadi jelaslah bahwa, seperti dalam “kuliah virtual” sebelumnya, tidak semua Arab adalah habib, tidak semua keturunan keluarga Nabi Muhammad (sayyid/syarif) itu adalah habib, dan bahkan tidak semua yang bernama habib itu adalah habib.
Habib sebagai sebuah nama Bahasa Arab bisa dipakai oleh siapapun, baik etnis Arab maupun bukan, baik Arab Muslim maupun Arab non-Muslim. Di “Pesbuk” ini juga banyak yang bernama depan “Habib” tapi bukan “habib” dalam pengertian sebutan kehormatan untuk seorang alim-ulama keturunan Nabi Muhammad tadi. Anda juga boleh-boleh saja memberi nama anak-anak Anda dengan “Habib” yang berarti “yang terkasih”.
Fenomena “habib bukan habib” ini biasa saja. Ini sama dengan banyak orang menggunakan nama “sultan” tapi bukan sultan, raja tapi bukan raja, laksamana tapi bukan laksamana, raden tapi bukan raden, tengku tapi bukan tengku, demikian seterusnya.
Adapun “habib” (al-habib) sebagai sebuah “gelar kehormatan” di Indonesia khususnya diberikan secara informal oleh masyarakat Muslim kepada para alim-ulama dari kaum sadah/asyraf (para keturunan keluarga Nabi Muhammad) yang memiliki kualifikasi keilmuan, keulaman, dan keteladanan tertentu. Jadi, tidak semua sayyid/syarif itu habib tapi semua habib pasti sayyid/syarif.
Sebagai sebuah gelar informal, sama seperti fenomena tidak semua kiai itu adalah kiai dalam pengertian seorang Muslim alim Jawa. Di Jawa, sebutan “kiai” bisa berarti nama sebuah tombak sakti seperti tombak Kiai Plered di Kesultanan Yogyakarta, nama sebuah “hewan sakti” seperti Kiai Selamet, nama sebuah “kerbau bule” di Kasunanan Surakarta. Dulu, ada seorang pendeta Kristen Jawa legendaris bernama Kiai Sadrach (w. 1924). Masa kecilnya bernama Radin yang kemudian diganti Radin Abbas (lengkapnya Radin Abbas Sadrach Soepranata) waktu nyantri di Jombang, sebelum menjadi pengikut Kristiani. Ia dibimbing oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (w. 1885) yang juga seorang evangelis Kristen Jawa legendaris.
Kembali ke laptop. Seperti saya jelaskan sebelumnya, para sayyid di Indonesia adalah keturunan dari keluarga Ba ‘Alawi atau ‘Alawi saja, salah seorang cucu dari Ahmad bin Isa al-Muhajir (keturunan Nabi Muhammad ke-10 dari jalur Imam Ja’far bin Muhammad al-Sadiq, generasi ke-5 keturunan menantu Nabi, Ali bin Abu Thalib. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib). Beliau mendapat sebutan “al-Muhajir” yang berarti orang migran karena beliau memang asalnya dari Basrah, Irak, yang kemudian migrasi ke Hadramaut, Yaman, karena ada kekacauan sosial di Irak di zaman Dinasti Abbasiyah. Makam beliau masih dikeramatkan di Hadramaut.
Keturunan Ba ‘Alawi (kata “Ba” ini merupakan dialek Arab Hadramaut yang berarti “bani” atau anak-cucu / keturunan) ini tidak hanya tersebar di Asia Tenggara (khususnya Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei) tetapi juga India dan Afrika (khususnya Tanzania, Kenya, Somalia, dan Comoros). Para keturunan dari keluarga ‘Alawi ini bisa dilihat dari nama belakang mereka seperti Alatas, Aljunied, Alhadad, Alkaaf, Assagaf, Shihab, Alydrus, Alhabshi, Aljufri, dlsb. Kalau nama belakang mereka adalah “Bamukmin, Baswedan, Ba’asyir, Basalamah, Baraja, Bafadhal,dlsb, jelas bukan dari keluarga sayyid/sadah ini jadi tidak mungkin bergelar habib meskipun mereka pakai nama habib.
Tidak semua orang Arab-Hadramaut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah keturunan keluarga sadah Ba ‘Alawi. Ada banyak yang berasal dari kelompok-kelompok sosial-agama non-sadah di Hadramaut seperti kelompok masyayih atau Irshadi, kelompok suku atau disebut qabail, atau kelompok du’afa, yaitu kelompok / kasta sosial paling rendah seperti petani, pekerja kasar, bekas budak, dlsb. Jadi harus hati-hati ya jangan tertipu karena tidak semua yang bermuka “Arab-Yaman” dan Arab lainnya itu “habib he he.
Sebagaimana komunitas Tionghoa, orang-orang Arab juga sudah datang, meskipun dalam jumlah terbatas, ke kawasan yang kini bernama Indonesia jauh sebelum kedatangan para bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan mereka berasal dari Yaman selatan (Hadramaut), meskipun ada juga yang dari kawasan Arab lain, termasuk daerah “Arab hitam” (Afrika).
Karena teknologi pesawat terbang belum ditemukan, maka kelompok migran Arab ini menjadikan laut, khususnya Samudra Hindia, sebagai jalan utama transportasi. Setelah Portugis dan Belanda datang, intensitas migrasi menurun dan jumlah mereka pun berkurang. Kelak, setelah dibukanya Terusan Suez (Suez Canal) pada 1869 dan diperkenalkan teknologi kapal uap, komunitas Arab ini kembali berbondong-bondong ke Asia Tenggara.
Ada sejumlah sarjana dan sejarawan yang membahas tentang komunitas Hadrami Arab (baca, “Arab Hadramaut/Yaman) di Asia Tenggara ini seperti van den Berg, van der Kroef, Engseng Ho, Freitag, de Jonge, Azra, Jacobson, dan masih banyak lagi. Menurut para sejarawan ini, ada banyak motivasi kedatangan mereka disini: dari motivasi keagamaan (dakwah misalnya) sampai motivasi ekonomi. Tetapi pada umumnya motivasi terkuat mereka adalah untuk berdagang dan mencari penghidupan.
Sebab-sebab migrasi atau berkelananya bangsa Arab Yaman ke Asia Tenggara juga bervariasi, termasuk karena kekeringan dan kelaparan serta kekacauan sosial-politik yang melanda Yaman. Mereka berdagang dan mencari penghidupan di Asia Tenggara yang sebagian dikirim ke anggota keluarga di Yaman dengan cara dititipkan ke teman.
Seperti saya katakan sebelumnya, tidak semua kaum migran Arab di Nusantara berasal dari keluarga agamis, apalagi dari “keluarga sadah” atau “keturunan” keluarga Nabi Muhammad. Bahkan yang berasal dari “keluarga sadah” ini tergolong sedikit. Kebanyakan justru dari masyarakat non-sadah maupun awam (seperti kelompok Irshadi, qaba’il, maupun du’afa).
Lucunya, dari dulu, masyarakat Nusantara, khususnya kaum Muslim, menganggap semua orang Arab ini adalah para ahli agama sehingga diserahi tugas untuk mengurus masjid, membaca Al-Qur’an, dan hal-ikhwal ritual keislaman. Padahal, tidak semua dari mereka ini berasal dari keluarga terdidik dan relijius. Banyak sekali dari mereka yang berasal dari keluarga awam dan tak terdidik yang minim wawasan keagamaan. Banyak juga dari mereka yang berlatar pedagang, pekerja kasar, maupun bekas budak.
Dulu, kebanyakan dari kaum migran Arab ini adalah laki-laki sehingga banyak dari mereka yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan lokal di Nusantara. Hasil dari “perkawinan silang” ini disebut “Arab peranakan” atau populer dengan sebutan “muwallad”. Ini seperti kelompok Mestizos di Amerika Latin atau Filpina, yakni warga keturunan hasil perkawinan silang Eropa/Amerika dengan perempuan setempat. Warga Arab yang tidak memiliki “darah campuran” (mixed blood) disebut “wulayati”.
Jadi jelaslah bahwa ada banyak ragam warga Arab di Nusantara, tidak melulu “kaum sadah” apalagi “habaib”. Kelak, sebagian dari mereka, baik yang “kaum sadah” maupun “kaum Irshadi” (masyayikh) ada yang menjadi tokoh penting di Asia Tenggara seperti Sayyid Ali bin Usman bin Shihab (Sutan Siak di Riau), Sayyid Abdurahman al-Qadri (“pendiri Pontianak), Mari bin Amude Alkatiri (mantan Perdana Menteri Timor Leste), dlsb.
Pada zaman Belanda, peranan para tokoh Arab ini bermacam-macam: ada yang anti-kolonial dan pejuang heroik melawan penjajah Belanda seperti Syaikh Salim bin Abdullah bin Sumair. Tapi ada juga yang pro dan berteman setia dengan Belanda dan bahkan menjadi penasehat khusus pemerintah Belanda untuk urusan komunitas Arab seperti Sayyid Usman bin Abdullah al-Alawi al-Hussaini. Beliau menjadi penasehat Belanda atas usulan dari Christian Snouck Hurgronje. Pada waktu tokoh Muslim dan umat Islam di Banten dan sekitarnya mengibarkan perlawanan terhadap Belanda pada 1888, Sayyid Usman justru mengeluarkan fatwa haram melawan Belanda dan “pemerintahan kafir” Hindia-Belanda.
Seperti saya sebutkan dalam kuliah virtual sebelumnya, menurut sejumlah sejarawan, kaum sadah di Asia Tenggara adalah keturunan dari Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir, “keturunan” ke-10 Nabi Muhammad. Tetapi menariknya, setahu saya, teks-teks lokal di Tanah Jawa (seperti Babad Cirebon, Sajarah Banten, dlsb) hanya menyebut nama Syaikh Jamaluddin Akbar al-Husaini yang populer dengan nama Syaikh Jamaludin Kubro, sebagai “nenek-moyang” Walisongo dan para penyebar Islam di Jawa dan beberapa pulau lain di Nusantara, termasuk Kelantan, Aceh, dan Sulawesi.
Tidak ada yang tahu pasti, siapa sebenarnya “sosok misterius” Syaikh Jamaludin Kubro yang konon hidup antara abad ke-14/15 ini. Sebagian sumber menyebut ia sebagai pendakwah dari Malabar, Kesultanan Delhi, yang nenek-myangnya dari Hadramaut (dengan begitu apakah ia adalah keturunan dari Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir tadi? Saya sendiri tidak tahu). Sumber yang lain menyebut beliau dari Kashan, Persia (Iran).
Sejumlah teks lokal juga menyebutkan kalau Syaikh Jamaludin Kubro datang ke Nusantara bersama dengan saudaranya (Syaikh Thanauddin atau Datuk Adi Putra) dan anak-anaknya, terutama Syaikh Maulana Ibrahim dan Syaikh Maulana Ishak. Meskipun asal-muasalnya masih menjadi kontroversi, Syaikh Jamaludin Kubro dipercayai sebagai seorang sayyid (Jamak: sadah) atau “keturunan” keluarga Nabi Muhammad.
Penting untuk diketahui bahwa kaum sadah (atau yang mengklaim dari “keluarga Nabi Muhammad”) tidak hanya ada di Asia Tenggara saja tetapi juga di belahan kawasan lain: Indo-Pakistan, Yaman, Saudi, Yordania, Maroko, Libia, Somalia, Aljazair, dlsb. Kapan-kapan saya jelaskan tentang “diaspora sadah” ini.
Meskipun ada sejumlah “nama panggilan kehormatan” terhadap keturunan keluarga Nabi Muhammad, tetapi yang paling umum dan banyak dikenal adalah “sayyid” untuk laki-laki dan “sayyidah” untuk perempuan (yang berarti Tuan/Nyonya) atau “syarif” (untuk laki-laki) dan “syarifah” untuk perempuan (yang berarti “yang mulia”).
Dalam tradisi Sunni Arab, “syarif/syarifah” adalah sebutan untuk keturunan Hasan bin Ali, sedangkan sebutan “sayyid/sayyidah” adalah untuk keturunan Husain bin Ali (adiknya Hasan). Baik Hasan maupun Husain adalah cucu Nabi Muhammad hasil dari perkawinan antara Fatimah (putri Nabi Muhammad) dan Ali yang juga sepupu Nabi Muhammad. Ali ini adalah putra Abi Talib, salah satu paman Nabi Muhammad yang merawat beliau sepeninggal sang kakek, Syaibah bin Hashim (populer dengan nama Abdul Muttalib yang sebelumnya merawat Nabi Muhammad karena ayah beliau, Abdullah, wafat saat Muhammad masih di kandungan). Selain merawat dan membesarkan Nabi Muhammad, Abu Talib juga gagah perkasa membela beliau dari serbuan para “begundal Hijaz”. Menariknya, meskipun Abu Talib telah merawat dan rela berkorban untuk kehidupan dan perjuangan sang keponakan, Nabi Muhammad, hingga akhir hayatnya Abu Talib tidak memeluk agama Islam.
Dengan latar belakang ini, maka dapat disimpulkan bahwa kaum sadah atau asyraf itu lebih tepat disebut sebagai keturunan Ali bin Abu Talib, bukan keturunan Nabi Muhammad, meskipun tentu saja masih keluarga / kerabat beliau karena Hasan dan Husain adalah cucu sang nabi. Dengan kata lain, kaum sadah itu adalah mewarisi “gen-nya Ali” bukan gen Nabi Muhammad.
Para sejarawan mencatat, Nabi Muhammad memiliki 3 anak lai-laki dan 4 anak perempuan yang semuanya lahir dari istri pertama Nabi Muhammad yang bernama Khadijah, kecuali satu anak laki (Ibrahim) yang lahir dari Maria al-Qibtiyya, seorang perempuan Kristen Koptik (dari Mesir) yang dipersembahkan oleh Pemimpin Mesir bernama Muqawqis (juga pengikut Kristen Koptik) sebagai istri Nabi Muhammad. Oleh sebagian sarjana, perkawinan antara Nabi Muhammad dengan Maria al-Qibtiyya ini menjadi dasar diperbolehkannya perkawinan antar-agama dalam Islam.
Para sejarawan juga mencatat, selain Fatimah, anak-anak Nabi Muhammad yang lain (Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Umi Kultsum, Ibrahim) wafat saat masih kecil atau belum sempat memiliki keturunan. Jadi hanya Fatimah yang melahirkan keturunan: Hasan dan Husain tadi.
Menjadi atau menyandang status sebagai “keluarga besar” Nabi Muhammad (ahl al-bait) tidak secara otomatis dimulyakan secara sosial-politik. Sejak dulu, paska wafatnya Nabi Muhammad SAW, perseteruan antar-suku dan klan demi politik-kekuasaan selalu terjadi. Bahkan sebelum Islam lahir, spirit tribalisme itu sangat kuat dan menjadi karakteristik masyarakat Arab, khususnya di kawasan Jazirah Arab. Sejak sebelum era Islam, suku-suku dan klan Arab selalu ingin menguasai Mekah dan Ka’bah sebagai simbol otoritas politik-ekonomi-agama masyarakat Jazirah Arab.
Sering kali perseteruan antar-suku/klan Arab itu berakhir tragis: perang dan pembunuhan. Tidak peduli apakah mereka berperang melawan keluarga nabi atau tidak, sesama suku atau tidak. Perang sipil antar-umat Islam sudah meletus sejak awal-awal perkembangan agama Islam paska wafatnya Nabi Muhammad. Banyak para sahabat nabi dan tokoh-tokoh Muslim awal yang terbunuh atau dibunuh dengan tragis oleh kaum Muslim itu sendiri karena persoalan rebutan kekuasaan.
Perang sipil antar-umat Islam pertama kali adalah Perang Jamal atau Perang Basrah antara Aisyah (istri Nabi Muhammad) melawan para pendukung Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad). Aisyah marah karena mendengar Khalifah Usman dibunuh. Kelak, Ali juga dibunuh. Anak-anak Ali: Hasan dan Husain yang melahirkan kaum “sadah” atau “syarif” juga mati dibunuh. Hasan mati diracun oleh istrinya yang bernama Ja’da binti al-Ash’at dari suku Kindah di Yaman.
Para sejarawan Syiah maupun Sunni seperti Baladhuri, al-Waqidl, Haitham, dlsb mencatat Ja’da bersedia membunuh suaminya sendiri karena disuruh Muawiyah, Gubernur Syam (wilayahnya mencakup Suriah, Palestina, dan Yordania), yang kelak mendirikan Dinasti Umayah. Konon Mu’awiyah mengiming-imingi Ja’da harta-benda, kekuasaan, serta menjanjikannya kawin dengan putranya, Yazid, sehingga ia bersedia meracun suaminya.
Mu’awiyah ini dari klan Bani Umayah (satu klan dengan Khalifah Usman yang terbunuh diatas. Klan ini adalah keturunan dari Umayah bin Abdus Syam) yang tidak terima tampuk “kekuasaan Islam” jatuh ke tangan Bani Hasyim (Ali cs termasuk Nabi Muhammad berasal dari klan Bani Hasyim yang merupakan keturunan dari Hasyim bin Abdul Manaf). Karena ambisi kekuasaan yang sudah diubun-ubun, Mu’awiyah yang merasa diri lebih senior dan perpengalaman dalam urusan pemerintahan, tidak mau tunduk kepada Hasan yang menggantikan Ali sebagai Gubernur Kufah (Irak) yang ditahbiskan oleh pengikutnya sebagai “Khalifah Islam” ke-5 sepeninggal Ali. Oleh Muawiyah, Hasan dipandang sebagai “anak ingusan” yang tidak memiliki pengalaman dalam urusan politik-pemerintahan.
Perseteruan terus berlanjut. Kelak, putra Mu’awiyah, Yazid, mengibarkan perlawanan melawan Husain (putra kedua Ali yang dinobatkan sebagai pemimpin sepeninggal Hasan) dan pendukungnya dalam Perang Karbala yang berakhir tragis dan kekalahan di pihak Husain. Husain sendiri mati dipenggal. Kurang lebih 90 tahun, Dinasti Umayah berdiri dengan pusatnya di Damaskus, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Abbul Abbas as-Shafah yang merupakan keturunan dari salah satu paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muttalib, yang kemudian menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.
Yang menarik adalah baik klan Bani Hasyim, klan Bani Umayah maupun klan Bani Abdul Muttalib yang saling berseteru itu sama-sama dari Suku Quraisy, yaitu keturunan dari Fihr al-Quraisy yang juga keturunan Nabi Ismail (putra Ibrahim) dari jalur Adnan.
Nah, bagaimana dengan para keturunan / anak-cucu Hasan dan Husain sepeninggal orang tua mereka? Kemana mereka mengungsi? Sebagian dari mereka kelak ada yang mendirikan dinasti-dinasti kecil seprti Alid di Iran, Idrisi di Maroko, Sulaimani di Maghreb, dslb. Ada pula yang menjadi para imam Syiah atau “Partai pendukung Ali” di Yaman, Iran, Irak, dlsb.
Seperti saya jelaskan sebelumnya, setelah terjadi huru-hara dan perebutan kekuasaan politik-pemerintahan antara klan-klan pecahan Suku Quraisy, yaitu Bani Hasyim (Ali, Hasan, Husain, cs) dan klan Bani Umayah (Usman, Muawiyah,Yazid, cs) pasca wafatnya Nabi Muhammad, kekalahan ada di pihak Bani Hasyim. Muawiyah berhasil membangun Dinasti Umayah (beribukota di Damaskus, Suriah) yang berkibar selama kurang lebih 90 tahun, sebelum kelak dihancurkan oleh klan Suku Quraisy lain: Bani Abbas, yang kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Irak.
Meskipun kubu Bani Hasyim kalah perang, bukan berarti sejarah mereka berakhir. Keturunan Hasan maupun Husain kelak ada yang mendirikan dinasti baru dan meneruskan karir di dunia politik-pemerintahan, tapi ada pula yang memilih jalur dakwah dan agama, meninggalkan arena politik praktis.
Husain hanya melahirkan satu keturunan: Ali Zainal Abidin yang kemudian nikah dengan Fatimah (putri Hasan sendiri) yang kelak melahirkan Muhammad al-Baqir. Dari jalur inilah kemudian lahir Ahmad bin Isa al-Muhajir, leluhur para sayyid dan habib di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Keturunan Husain ini kelak ada yang mendirikan Dinasti (Daulah) Fatimiyah yang menganut aliran Syiah Ismailiyah di Afrika Utara yang berpusat di Mesir, yang berkuasa sejak abad ke-10 sampai akhir abad ke-12. Dinasti ini kelak dihancurkan oleh Jenderal Salahuddin Yusuf bin Ayyub yang kemudian mendirikan Dinasti Ayubiyah yang berpaham Sunni. Menarik untuk dicatat, Universitas Al-Azhar di Mesir itu didirkan oleh rezim Syiah Dinasti Fatimiyah ini.
Sementara itu, Hasan menurunkan enam anak: Muhammad, Zaid, Qasim, Hasan, Abu Bakar, dan Fatimah. Beberapa keturunan Hasan juga mendirikan sejumlah dinasti kecil. Kelak, keturunan mereka ada yang mendirikan Dinasti Alid di Iran utara (Tabaristan, Daylam dan Gilan) yang didirikan oleh Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa sejak abad ke-9 sampai 14. Dinasti Alid ini menganut paham Syiah Zaidiyah. Ada pula yang mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko yang didirikan oleh Idris bin Abdullah bin Hasan. Keturunan lain, ada yang mendirikan Dinasti Sulaimaniyah di Tihama (dulu masuk wilayah Yaman), dlsb.
Ada pula yang menjadi penguasa Hijaz atau Syarif Makah. Syarif Husain adalah penguasa Hijaz (wilayah Arabia bagian barat yang mencakup Makah dan Madinah) terakhir yang hancur pada 1920-an. Sejak hancurnya Syarif Husain ini, sebutan “syarif” yang dulu untuk menyebut “keturunan Hasan bin Ali” kemudian lenyap, kemudian diganti dengan “sayyid” yang dulu dipakai untuk menyebut “keturunan Husain bin Ali saja. Itulah sebabnya kenapa ulama kharismatik Makah keturunan Hasan yang bernama Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Hassani populer dengan sebutan “Sayyid” bukan Syarif. Para ulama dan kiai dari Nusantara banyak yang berguru dengan ayah (Sayyid Alawi) atau kakek (Sayyid Abbas) beliau. Bukan hanya itu, Sayyid Abbas, Sayyid Alawi, dan Sayyid Muhammad sendiri banyak berguru dengan para ulama Indonesia di Makah saat itu yang lumayan banyak dan tersohor (lain kali mungin saya jelaskan).
Kedua putra Syairf Husain ini, bernama Abdullah dan Faisal, kelak menjadi penguasa / raja Yordania (Bahasa Arab: Urdun) dan Irak atas bantuan Inggris yang dulu menjadi rival Turki Usmani (Ottoman) di Arab dan Timur Tengah. Abdullah menjadi Raja Yordania (al-Mamlakah al-Urduniyah al-Hasyimiyah) yang dulu bernama Emirat Trans-Yordania (Imarat Syarq al-Urdun). Penamaan Yordania sebagai “Kerajaan Hasyimiyah” ini untuk menegaskan kalau mereka adalah keturunan dari klan Bani Hasyim yang musuhan dengan Bani Umayah di atas. Sementara itu Faisal didaulat menjadi Raja Irak pada tahun 1920-an, yang kelak diberontak oleh kelompok Syiah, Yazidi dan Assyria. Inggris dan Perancis dulu sibuk berkoalisi dengan para tokoh Muslim Arab di Timur Tengah untuk menggembosi pengaruh Turki Usmani
Bisa dipastikan pasca tumbangnya Raja Husain (atau Syarif Husain), yang dijuluki Syarif Besar Makah atau kadang-kadang disebut Raja Hijaz pada awal 1920-an, otoritas politik klan Bani Hasyim mulai melemah di kawasan Arab (hanya bertahan di sejumlah kawasan), dengan demikian pengaruh politik “keluarga sadah” (atau “keluarga asyraf”) keturunan Ali bin Abi Thalib juga mengendur.
Sekali lagi saya tegaskan, saya lebih sreg menyebut “sadah” (sing. “sayyid”) atau “asyraf” (sing. “syarif”) sebagai “keturunan Ali” (menantu Nabi Muhammad) ketimbang sebagai “keturunan Nabi Muhammad” karena memang mereka adalah anak-cucu Ali yang menikah dengan putri Nabi Muhammad: Fatimah. Jika Nabi Muhammad pernah menyebut Hasan dan Husain (putra Ali-Fatimah) sebagai “keturunan (nasab)” beliau, saya lebih membacanya sebagai “nasab sosial”, bukan dalam pengertian “nasab genetik/biologis”. Seperti dalam antropologi, ada dua istilah untuk menyebut “ayah”, yaitu “genitor” (“ayah biologis”) dan “pater” (ayah sosial). Bagaimanapun juga, mereka adalah “gen-nya Ali bin Abi Talib bukan “gen”-nya Fatimah binti Nabi Muhammad. Meskipun begitu, mereka adalah “keluarga besar” (ahlul bait / dzurriyah) Nabi Muhamamd SAW.
Penting juga untuk diketahui (khususnya bagi yang belum mengetahui), bahwa keturunan / anak-cucu Ali ini kelak ada yang menjadi pengikut Syiah dari berbagai aliran (Zaidiyah, Ismailiyah, Itsna Ay’ariyah, dlsb), ada pula yang menjadi pengikut Sunni dari berbagai mazhab. Jadi kalau ada para “habib” dan “sayyid” yang memusuhi pengikut Syiah sama saja dengan memusuhi “keluarga besar”-nya sendiri. Syiah itu artinya “partai / kubu / pendukung” Ali pada waktu terjadi kekacauan politik dan perseteruan antara klan Bani Hasyim (Ali cs) dan klan Bani Umayyah (Usman, Mu’awiyah cs) seperti pernah saya singgung sebelumnya.
Kalau dalam konteks Indonesia dewasa ini, kelompok Syiah ini ya mirip-mirip seperti Ahokers, Jokowers, “Bibibers” (pendukung Pak Rizieq), Gus Durian, Qurtubiyan (yang ini pendukungku he he), “Iranian” (maksudku, pendukung Ira Koesno he he). Dengan kata lain, Syiah itu awalnya adalah sebuah “kelompok politik” bukan “kelompok agama”. Belakangan saja, Syiah kemudian menjadi “aliran teologis”. Bukan hanya Syiah saja sebetulnya, berbagai aliran dalam Islam (Murji’ah, Khawarij, dlsb) bermula dari faksi-faksi politik (kapan-kapan saya jelaskan di “edisi khusus”).
Kembali ke laptop. Menarik untuk disimak, meskipun Syarif Husain adalah “bawahan” Turki Usmani (Ottoman) yang membawahi Hijaz, ia pernah melakukan pemberontakan melawan Turki Usmani di Transjordan (yang wilayahnya mencakup Yordania, Suriah, dan Palestina) pada waktu Perang Dunia I meletus, yang kemudian disusul dengan Revolusi Arab pada tahun 1916. Pemberontakan itu dibantu oleh suku-suku Badui lokal, Kirkasian, Kristen, Inggris, dan Perancis. Kawasan Arab dulu menjadi ajang perebutan antara Inggris, Perancis, dan Turki. Masing-masing berpatron dengan para tokoh dan pemimpin Arab, Kurdi, dan lainnya di Timur Tengah.
Seperti yang terjadi di Asia Tenggera, Perancis dan Inggris juga membagi-bagi wilayah Arab dan dipecah menjadi teritori-teritori kecil independen seperti tampak dewasa ini. Wilayah Tranjordan juga kelak dipecah. Putra kedua Syarif Husain, Abdullah, kemudian menjadi Raja Emirat Transjordan. Putra Syarif Husain kedua, Faisal, kemudian ditunjuk menjadi Raja Irak.
Kelak, di Irak terjadi berbagai kudeta, pemberontakan dan perebutan kekuasaan terhadap rezim klan Bani Hasyim, dan menariknya salah satu kelompok yang memberontak itu juga dari “keluarga sadah” dari klan al-Kailani, yang merupakan salah satu klan berpengaruh di Irak. Dipimpin oleh Rasyid Ali al-Kailani, mereka melakukan kudeta pada 1940an. Kudeta ini disokong oleh Nazi Jerman yang bermusuhan dengan Inggris yang waktu itu menjadi pendukung klan Bani Hasyim di Irak
Dalam konteks modern, keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari jalur Fatimah binti Nabi Muhammad maupun dari jalur Fatimah binti Huzam al-Kullabiyyah (populer dengan sebutan Umm al-Banin dari Suku Bani Kilab) tersebar di berbagai negara. Sejumah sarjana berpendapat, jika keturunan Ali dan Fatimah binti Nabi Muhammad disebut “sadah” (sayyidat untuk permpuan) atau “asyraf” (syarifat untuk perempuan), maka keturunan Ali dan Fatimah binti Huzam disebut “alawi”. Istilah alawi” juga dipakai untuk menyebut “pengikut Ali bin Abi Talib.” Perlu penelitian dan kajian lebih lanjut dan serius tentang istilah dan kaum”alawi” ini mengingat ada sejumlah perselisihan pendapat.
Hati-hati, tidak semua nama kelompok Muslim dewasa ini yang menggunakan nama “alawi itu adalah “alawi” (keturunan Ali-Fatimah binti Huzam). Ada beberapa kelompok Islam dan “rezim Muslim” (baik yang berafiliasi politik, tasawuf atau sufisme, atau sekte keislaman tertentu) yang menggunakan nama “alawi” (atau “alevi” / “alavi”, tergantung dialek bahasa mana yang dipakai).
Misalnya sekte Syiah Alawi di Suriah (dan Libanon) yang juga disebut Nusairiyah (karena sekte ini didirikan oleh Ibnu Nusair pada abad ke-9 M) atau Arab Alawi. Kemudian Alawi Bohra (nama sekte Islam di India dan Pakistan), Alevi di Turki (kelompok Sufi), Sadah Ba ‘Alawi di Yaman (kelompok sayyid keturunan Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir), Sulalatu Alawiyin atau Dinati Alawi di Maroko, dlsb.
Penting untuk diketahui, tidak semua keturunan Ali ini kelak menjadi pengikut sekte agama Islam Syiah, meskipun istilah “Syiah” itu sendiri awalnya merupakan sebutan untuk kelompok atau partai pendukung Ali bin Abi Thalib (karena itu dulu kelompok ini juga disebut “Syiatu Ali” atau pendukung / pengikut Ali). Banyak dari keturunan Ali ini yang menjadi pengikut Sunni dan aliran Islam lain. Syiah dalam pengertian “sekte agama” atau “aliran teologi” baru muncul belakangan setelah terjadi proses “radikalisasi teologi-keagamaan” dalam internal para pendukung Ali ini. Dengan kata lain, tidak semua keturunan Ali itu menjadi pengikut sekte Islam Syiah, meskipun awalnya mereka itu adalah Syiah (baca, “kubu Ali). Kok “mbulet” sekali ya? He he
Seperti saya jelaskan sebelumnya, Syiah awalnya merupakan sebuah “kelompok politik” (berpusat di Kufah, Irak) yang membela “kubu Ali” yang berseberangan dengan “kubu Muawiyah” (dulu berpusat di Damaskus, Suriah). Menarik untuk diketahui, di Suriah saat ini, sejak revolusi Hafiz al-Assad tahun 1970, negara ini dipimpin oleh kaum Alawi (bukan “sadah”) dari keluarga “al-Assad” (sejak tahun 2000 dipimpin oleh Bashar al-Assad, putra Hafiz al-Assad).
Meskipun sejumlah kelompok Syiah (baca: “pendukung / pengikut Ali) sukses di dunia politik-pemerintahan, tetapi tidak semua keturunan Ali sukses di jalur ini, kecuali di sejumah negara seperti Yordania dan Maroko. Banyak pula dari keturunan Ali yang memilih menjadi kaum intelektual dan agamawan atau menekuni Sufisme. Yaman, Iran, Irak, Libanon, adalah contoh dari negara-negara yang cukup banyak populasi Syiah.
Khusus di kawasan Arab Teluk (Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman), kaum “sadah” sama sekali tidak dominan secara politik-ekonomi dan sangat minor perannya di dunia politik-ekonomi. Para penguasa politik-pemerintahan di kawasan Arab Teluk adalah suku-suku Arab diluar klan Bani Hasyim. Di Saudi sendiri, “rezim sadah” tumbang pasca rontoknya Syarif Husain pada awal 1920-an. Seluruh keluarga Syarif Husain kemudian mengungsi ke Yordania (dulu Transjordan).
Di Saudi, sejumlah tokoh dari golongan “sadah” memilih menekuni dunia pendidikan dan keagamaan. Ada beberapa yang cukup populer seperti Sayyid Alawi dan putranya Sayyid Muhammad (mereka sudah wafat, kini diteruskan oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al-Hassani) di Makah (mereka semua pengikut aliran Sunni mazhab Maliki) dan Sayyid Hasyim bin Muhammad bin Nasr al-Salman (beliau tokoh intelektual dan ulama Syiah yang sangat dihormati di daerah Saudi timur). Karena ada ikatan historis-kultural Sunni-Syiah ini, maka hubungan di akar rumput kelompok Sunni-Syiah di Saudi ini sangat baik. Hanya sekelumit kelompok ekstrim saja yang hobi memusuhi Syiah di kawasan Arab ini
Di kalangan umat Islam, sebutan atau panggilan untuk anak-cucu atau keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Binti Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Di sebagian kawasan Arab Teluk (Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait), mereka dipanggil “syarif” atau “sayyid” untuk laki-laki, “syarifah” atau “sayyidah” untuk perempuan. Tetapi sebutan ini hanya dikenal di kalangan atau kelompok Islam tertentu saja karena pengaruh “kaum sadah” (jamak dari kata “sayyid”) atau “aysraf” (jamak dari kata “syarif”) sangat minim di kawasan ini.
Tidak seperti di Yaman selatan atau di Indonesia, dimana kaum sadah sangat dihormati oleh masyarakat Muslim setempat sehingga mendorong munculnya sejumlah “habib palsu” supaya naik kelas dikit (seperti fenomena “habib bibza hat” itu he he), di Arab Teluk tidak demikian karena memang bukan kelompok Arab sadah yang memimpin, mengendalikan, dan menguasai masalah politik-pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya, maupun wacana keagamaan dan dunia pendidikan.
Beberapa kali saya menyinggung soal ini ke murid-muridku, tetapi respons mereka biasa-biasa saja hambar tak bergaram dan tak bersambal. Bahkan banyak juga yang tidak paham dengan sebutan “sayyid” aau “syarif”. Murid-muridku yang dari “kaum sadah” juga ada (baik dari Saudi sendiri maupun dari Yaman, baik Syiah maupun Sunni) tetapi sikap mereka juga biasa-biasa saja. Tidak “gemagus” (kata orang Jawa) atau merasa diri “superior” karena dari golongan sadah. Dengan kata lain, identitas sadah atau non-sadah itu tidak penting, bukan sesuatu yang “woow” gitu.
Selain sebutan sayyid atau syarif, ada pula yang menyebut “chorfa” yang merupakan Bahasa Arab dialek Darija Maghreb (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libia). Ada juga sebagian yang menyebut “alawi” atau “alawiyah” (untuk perempuan). Di India dan Asia Selatan, populer juga sebutan “Mir” atau “Mirza” (yang ini sebutan untuk anak hasil dari perkawinan perempuan sayyidah dengan laki-laki non-sayyid).
Nah, untuk masalah perkawinan antara kaum sadah dan non-sadah ini menarik untuk diteliti. Dulu, di Indonesia pernah terjadi konflik dan percekcokan di kalangan Arab sendiri antara boleh dan tidaknya perempuan dari keluarga sadah menikah dengan laki-laki non-sadah. Konflik itu terjadi gara-gara Ahmad Surkati, seorang sarjana / ulama Arab-Sudan yang juga menjadi pengajar di sekolah Jamiat al-Khair, menyatakan dibolehkannya perkawinan antara laki-laki non-sayyid dengan perempuan sayyidah. Karena masalah ini, akibatnya, Ahmad Surkati dipecat dari Jamiat al-Khair sehingga kelak ia mendirikan al-Irsyad pada tahun 1915.
Seperti dulu pernah saya singgung, kaum Arab di Indonesia bukan hanya dari kaum sadah saja tetapi juga kaum non-sadah (Irshadi, qaba’il, dhu’afa) yang jumlahnya jauh lebih besar. Ada sejumlah tokoh non-sayyid yang cukup terkenal dulu termasuk Ahmad Surkati ini. Tokoh lain seperti Muhammad bin Abdul Hamid (Sudan), Muhammad al-Tayyib (Maroko), Muhammad bin Usman (Tunisia), dlsb.
Sebagian kaum sadah memang mempraktekkan kebijakan “pernikahan endogami”, yaitu pernikahan antar-kelompok mereka saja (golongan sadah), untuk memelihara “kemurnian darah / genetik sadah” (baca, “keturunan Nabi Muhammad”). “Kebijakan” ini menarik untuk dikaji karena “secara genetik”, mereka ini adalah “keturunan Ali”, bukan “keturunan Nabi Muhammad”. Tetapi ada juga yang mempraktekkan “pernikahan eksogami” atau “perkawinan dengan kelompok lain / non-sadah. Beberapa muridku yang dari kaum sadah juga tidak mempermasalahkan menikah dengan siapapun. Asisten risetku, seorang Arab non-sadah, juga ada yang baru saja menikah dengan perempuan sayyidah
Setelah kekuasaan Syarif Husain yang keturunan Ali bin Abi Talib rontok di Makah pada tahun 1924, ia beserta keluarganya migrasi ke Transjordan (kini: Yordania) menyusul putranya. Sekitar tiga tahun sebelumnya, 1921, putra Syarif Husain kedua (Abdullah) sudah menjadi seorang amir (raja) di Emirat Trans-Yordania (Emirate of Transjordan), yang didirikan atas bantuan Inggris, dan memang waktu itu menjadi proktektorat (daerah perlindungan) Inggris.
Wilayah Transjordan itu dulu meliputi Yordania, Suriah dan Palestina. Sudah sejak 1916, Syarif Husain memimpin “Revolusi Arab” untuk melawan kekuasaan Turki Usmani (Ottoman). Revolusi ini disokong oleh Inggris, Perancis, suku-suku Arab Badui lokal, serta komunitas Kristen dan Kirkasia. Dulu, beberapa negara Eropa berkongsi untuk menggembosi kekuasaan Turki di Arab dan Timur Tengah. Mereka berpartner dengan kelompok lokal mana saja yang bersedia dijadikan sebagai “mitra koalisi”. Tentang sejarah Transjordan, akan saya jelaskan di kemudian hari (insya Allah).
Jika Abdullah I menjadi Raja Yordania, maka adik Abdullah (putra Syarif Husain ketiga) yang bernama Faisal didaulat oleh Inggris untuk menjadi Raja Irak. Sebelum menjadi republik pada tahun 1958, Irak dulu berbentuk kerajaan (al-Mamlakah al-Iraqiyyah) yang didirikan oleh Inggris pada tahun 1921 atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa pasca-kekalahan Turki Usmani di “Perang Mesopotamia” yang merupakan bagian atau rangkaian dari Perang Dunia I. Faisal inilah yang ditunjuk oleh Inggris sebagai raja pertama Kerajaan Irak.
Kenapa Faisal dari klan Bani Hasyim yang notabene bukan “putra daerah” Irak yang justru ditunjuk oleh Inggris sebagai raja? Kok bukan para pemimpin lokal Irak? Karena masyarakat lokal Irak dulu memberontak Inggris. Ketika Inggris diberi “mandat” oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk “memerintah dan mengurusi” Irak, para pemimpin dan masyarakat lokal Irak tidak terima.
Mereka kemudian melakukan pemberontakan kepada Inggris. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan Arab. Berbagai elemen suku-suku Arab Irak dari berbagai aliran keislaman, termasuk Sunni dan Syiah dulu bersatu padu melawan otoritas Inggris. Pemimpin “pemberontakan Arab Irak” itu adalah Syeikh Muhammad Mahdi Al-Khalissi (w. 1925), seorang tokoh spiritual dan ulama Syiah terkemuka yang sangat dihormati baik Syiah maupun Sunni. Para ulama dan tokoh Sunni dulu bergabung satu komando dengan Syeikh Mahdi ini untuk melawan Inggris.
Menarik untuk dicatat, Syaikh Mahdi al-Khalissi ini adalah teman baik Syarif Husain. Ini menujukan permusuhan Sunni-Syah itu adalah mitos yang dibesar-besarkan. Hanya orang-orang yang “ereksi politik” saja yang selalu menjadi “biang kerok” perseteruan antara kedua kelompok Islam ini. Masyarakat di akar rumput, baik-baik saja di Irak. Pemberontakan ini juga disokong oleh sisa-sisa rezim Turki Usmani yang tergusur.
Bukan hanya Arab saja, masyarakat Kurdi di Irak utara juga ikut memberontak terhadap Inggris, yang juga ingin mendirikan negara otonom: “pemerintahan Kurdi”. Salah satu pemimpin pemberontakan adalah Syeikh Mahmud Barzanji yang juga seorang tokoh Sufi Qadiriyah dari Suku Barzanji yang sangat berpengaruh di daerah Sulaimaniyah, Irak. Ia dulu sempat mendeklarasikan “Kerajaan Kurdistan” tapi tak berlangsung lama.
Penunjukkan Faisal sebagai Raja Irak ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi di negara yang dulu bernama Mesopotamia ini. Bukan hanya oleh suku Arab atau Kurdi saja tetapi juga oleh elemen-elemen masyarakat Irak lain seperti Yazidi dan Assyria. Setelah berkali-berkali terjadi “revolusi internal”, kelak Kerajaan Irak pun tumbang
Panggilan “habib” sebagai sebuah gelar kehormatan untuk anak-cucu keturan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad itu hanya populer di Asia Tenggara (khususnya Indonesia dan Malaysia) saja, dan juga Yaman Selatan, khususnya Tarim, Hadramaut. Selebihnya tidak populer. Termasuk di Saudi dan Arab Teluk, sama sekali tidak populer dan jarang yang tahu sebutan “habib” ini.
Sebagian warga Saudi dan Arab Teluk mengerti sebutan “sayyid” atau “syarif” (untuk keturunan Ali-Fatimah binti Muhammad atau populer dengan sebutan Fatimah al-Zahra), bukan “habib”. Ingat ada dua Fatimah yang dinikahi oleh Ali, yaitu Fatimah binti Nabi Muhammad ini (dari Khatijah) dan Fatimah binti Huzam al-Kulabiyah yang populer dengan sebutan Ummul Banin (karena punya beberapa anak) yang dinikahi Ali setelah Fatimah al-Zahra wafat.
Gelar informal “habib” itu ditujukan untuk para sarjana Islam atau ulama yang mumpuni di bidang keilmuan keislaman dari kelompok “sayyid” atau “kaum sadah” ini. Kalau di Indonesia saat ini, yang layak digolongankan atau disebut “habib” itu seperti Habib Muhammad Quraisy Shihab atau Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Perlu diingat bahwa tidak semua sayyid itu habib tapi kalau sebutan/panggilang kehormatan “habib” (di Asia Tenggara / Yaman) sudah pasti sayyid, meskipun ada banyak yang memakai nama “habib” tapi bukan habib.
Di Saudi dan Arab Teluk pada umumnya, keturunan atau anak-cucu Ali-Fatimah al-Zahra ini (baik dari jalur Hasan maupun Hussein) ada yang berpaham Sunni (dari berbagai mazhab), tapi ada pula yang beraliran Syiah (dari berbagai mazhab). Nama-nama klan kaum sadah yang populer di Saudi (baik Sunni maupun Syiah) antara lain al-Qurasyi, al-Mahmud, al-Hasani, al-Attas, al-Jufri, al-Musawi, al-Salman, al-Hussaini, al-Hasyim, al-Musallam, dlsb.
Hubungan antar-klan / sub-suku keturunan Ali ini masih terjalin dengan baik, meskipun berbeda aliran keislaman. Perbedaan Sunni-Syiah tidak lantas membuat mereka bermusuhan. Bagi mereka, jaringan dan ikatan-ikatan kesukuan (“tribal partnership”-sebagai sesama keturunan Ali) jauh lebih kuat dan penting ketimbang “skisme teologi-politik” Sunni-Syiah yang banyak dipolitisir oleh banyak orang. Salah satu asisten risetku, Mahdi al-Mabruk, bahkan mengisahkan kalau di antara mereka juga terjadi kawin-mawin, tidak mempedulikan Sunni atau Syiah.
Dalam konteks kontemporer Saudi dan Arab Teluk, posisi kaum sadah ini sangat lemah dari aspek sosial-politik-budaya dan bahkan wacana keagamaan karena memang bukan suku/klan mereka yang saat ini menguasai jagat perekonomian, perpolitikan, kebudayaan, pendidikan, dan wacana keagamaan di kawasan Arab Teluk ini.
Kaum sadah sendiri juga biasa-biasa saja disini seperti kelompok non-sadah lain. Tidak merasa paling super, apalagi minta dihormati. Yang menentukan “istimewa” dan tidaknya mereka bukan “jalur genealoginya” tetapi tingkat pendidikan dan relasi mereka dengan suku/klan dominan (misalnya dari suku Bani Tamim yang sangat berpengaruh).
Murid-muridku juga cukup banyak yang dari keluarga sadah ini tetapi saya sama sekali tidak mengistimewakan mereka, mereka juga tidak minta untuk diistimewakan. Semua muridku saya perlakukan sama: Sunni-Syiah, sadah-non-sadah, Saudi-non-Saudi. Kalau hasilnya bagus ya lulus, kalau hasilnya jelek ya tidak lulus.
Setelah Turki Usmani (Ottoman) keok dalam “Perang Mesopotamia” yang merupakan bagian dari rangkaian Perang Dunia I di kawasan Arab dan Timur Tengah, sejak 1920 Irak kemudian berada di bawah kontrol Inggris atas mandat dari Liga Bangsa-Bangsa. Meskipun sudah mendapatkan mandat dan berhasil mengalahkan tentara Turki Usmani, bukan berarti Inggris bisa berleha-leha alias melenggang kangung dengan mudah menguasai Irak.
Berbagai pemberontakan melawan Inggris dari masyarakat lokal Irak terus mengalir dengan deras. Berbagai elemen masyarakat Kurdi, Assyria, Yazidi, Kristen, Syiah, Sunni, dlsb melancarkan perlawanan terhadap Inggris. Perlawanan dilakukan dengan berbagai macam cara: dari boikot menolak pemilihan “kepala daerah” yang disponsori Inggris sampai angkat senjata. Dulu, Sunni dan Syiah (baik yang bertenis Arab atau Persi) bersatu padu melawan Inggris.
Beberapa tokoh pejuang legendaris yang melawan Inggris ini antara lain adalah Syaikh Muhammad Mahdi al-Khalissi (w. 1925), seorang pemimpin spiritual Syiah ternama yang juga profesor ahli kajian Islam dan rektor Sekolah Teologi di Khadimiyah, Bagdad. Beliau dulu mengeluarkan fatwa yang berisi larangan berpartisipasi dalam pemilihan “pemimpin Irak” yang dibackup oleh Pemerintah Inggris. Fatwa itu dipatuhi oleh hampir semua elemen masyarakat Irak, termasuk warga Sunni dan non-Muslim, sehingga mengakibatkan kegagalan pemilihan.
Syaikh Mahdi juga memimpin pemberontakan melawan Inggris yang kemudian dikenal dengan “Revolusi Irak” pada tahun 1920. Pemberontakan ini disokong oleh para elit Sunni, Kristen, Yazidi, Assyria, dan bekas aparat Turki Usmani yang tergusur dari kekuasaan. Setelah berkali-kali melakukan perlawanan, Inggris akhirnya memutuskan untuk mendeportasi Syaikh Mahdi ke India. Tetapi lucunya masyarakat Muslim India, termasuk Syiah, menolak Syaikh Mahdi. Hal ini karena India dulu berada dibawah kontrol Inggris. Syaikh Mahdi akhirnya dideportasi ke Yaman, kemudian Makah (atas undangan Syarif Hussein), dan terakhir Iran atas undangan Muhammad Mosaddegh, politisi senior Iran waktu itu, sampai wafat disana.
Pemimpin pemberontak lain yang melawan Inggris adalah Syaikh Mahmoud Barzanji, seorang tokoh Kurdi. Syaikh Barzanji berkali-kali mengadakan perlawanan dan bahkan sempat mendirikan Kerajaan Kurdistan yang berumur sekitar 2 tahun sebelum dirangsek oleh tentara Inggris. Syaikh Mahmoud Bazanji (atau Barzinji) adalah seorang syaikh dari tarekat Qadiriyah dari klan Barzanji di kawasan Sulaimaniyah. Klan Barzanji ini sangat terkenal di Irak. Banyak dari mereka yang menjadi ulama hebat yang pengaruhnya hingga sampai ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak berabad-abad yang lalu, banyak para ulama dari klan Barzanji ini yang menjadi guru dan ulama senior di Makah dan Madinah yang murid-muridnya banyak yang dari Jawa, Kalimantan, Sumatra, Lombok, dan Sulawesi.
Terlepas dari berbagai rangkaian pemberontakan melawan Inggris, yang jelas, pemerintah Inggris dulu pada tahun 1921, menunjuk Faisal I (putra kedua Syarif Hussein Makah) dari klan Bani Hasyim untuk menjadi raja di Kerajaan Irak (al-Mamlakah al-Iraqiyah). Kerajaan Irak ini secara resmi memperoleh kemerdekaan pada tahun 1932 berdasarkan Perjanjian Anglo-Irak tahun 1930. Saat itu, Nuri al-Said yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri-nya. Nuri al-Said ini adalah politisi senior Irak yang kelak memainkan peran penting dalam merumuskan dasar-dasar Negara Irak modern, pasca rontoknya Kerajaan Irak.
Sejak 1921, berbagai pemberontakan dan kudeta mewarnai Kerajaan Irak. Setahun setelah Kerajaan Irak memperoleh kemerdekaan dan otonomi dari Inggris, Raja Faisal I wafat, yang kemudian digantikan oleh putranya, Ghazi. Raja Ghazi hanya memimpin beberapa tahun saja. Pada 1939 ia meninggal dan digantikan oleh putranya yang masih kecil, Faisal II. Karena masih anak-anak, kendali kerajaan dipegang oleh sepupunya, Abdullah, yang berasal dari Hijaz. Kelak, pada 1941, pemerintahan Abdullah dikudeta oleh Perdana Menteri Rasyid Ali al-Kailani, karena tidak terima Irak dipimpin oleh “non-putra daerah”. Sama seperti Abdullah, Rasyid Ali ini juga seorang sayyid (keluarga sadah) dari klan al-Kailani yang sangat terkenal di Irak. Bagaimana kelanjutan Kerajaan Irak dan nasib klan Bani Hasyim di Irak?
Menarik untuk dicatat, jika merujuk sejarah politik Irak, kesamaan suku dan klan tidak secara otomatis menjamin kesamaan atau kesatuan pandangan. Pula, perbedaan aliran keislaman dan keagamaan tidak secara otomatis menjamin perpecahan dan perbedaan pandangan. Ambisi politik dan kepentingan pribadi (atau kelompok) kadang mampu mengalahkan ikatan persaudaraan, tribalisme, pertemanan, dlsb.
Kerena itu sebetulnya mitos saja jika ada yang mengatakan bahwa sesama Sunni/Syiah itu bersatu, sesama Muslim bersatu, sesama sadah bersatu, sesama Arab bersatu, sesama Persi bersatu, sesama Kurdi bersatu, dan seterusnya. Dalam prakteknya atau realitasnya tidak selalu demikian: sangat kompleks dan njlimet dari yang dibayangkan, dikhayalkan, atau diidealkan.
Dalam sejarah Iraq, sesama keturunan Ali bin Abi Talib dan Fatimah al-Zahra (yaitu kaum sadah) juga terlibat oposisi. Misalnya perseteruan antara Raja Faisal I (Raja Irak pertama yang ditunjuk Inggris pada tahun 1921 setelah Inggris diberi mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk memerintah/mengntrol Irak sejak 1918 paska tumbangnya otoritas Turki Usmani) dan Perdana Menteri-nya yang pertama, yaitu Sayyid Abdulrahman al-Jailani atau al-Kailani (dalam Bahasa Persi).
Perseteruan itu dipicu oleh ketidaksetujuan Sayyid Abdulrahman atas penunjukkan Faisal I sebagai raja Kerajaan Irak. Setahun sebelum pengangkaan atau penunjukan sang raja, oleh Pemerintah Inggris, Sayyid Abdulrahman ditunjuk sebagai Kepala Dewan Menteri-Menteri Irak.
Para sarjana dan sejarawan mengsinyalir bahwa Sayyid Abdulrahman kecewa kepada Inggris yang tidak menunjuknya sebagai Raja Irak. Untuk “mengobati” kekecewaanya, Raja Faisal I dan Pemerintah Inggris menunjuknya sebagai Perdana Menteri, tetapi Sayyid Abdulrahman memilih untuk mengundurkan diri setelah kurang lebih setahun menjabat. Posisinya kemudian digantikan oleh Abdul Mukhsin al-Sa’dun. Al-Sa’dun adalah suku/klan berpengaruh di Irak sejak zaman Turki Usmani. Ia menjabat sebagai PM Kerajaan Irak hingga tahun 1929.
Penting untuk diketahui, baik Raja Faisal I maupun Sayyid (Syed) Abdulrahman adalah sama-sama keluarga sadah, dan sama-sama keturunan Hasan bin Ali bin Abi Talib. Faisal adalah putra Syarif Hussein bin Ali bin Muhammad bin Abdul Mu’in al-Hasymi (“raja-diraja” Kesyarifan Mekah). Sedangkan Sayyid Abdulrahman adalah keturunan ke-15 dari Sayyid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (atau al-Kailani), tokoh Sufi legendaris yang banyak pengikutnya di kalangan kaum Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Perseteruan bukan hanya terjadi antara Sayyid Abdulrahman melawan Raja Faisal I saja. Kelak, sejarah perseteruan ini terulang kembali. Pada tahun 1941, Perdana Menteri Sayyid Rasyid Ali al-Jailani juga melakukan kudeta atas kepemimpinan Abdullah, sepupu Raja Ghazi bin Faisal I, yang bertinda sebagai “pelaksana raja” arena Ghazi waktu itu masih kecil.
Sesama etnik Kurdi juga bukan berarti menjamin kesamaan pandangan dan tujuan. Dengan kata lain, tidak semua tokoh Kurdi itu adalah “nasionalis Kurdi” seperti Syaikh Mahmud al-Barzanji (atau al-Birzinji) yang mengcita-citakan pendirian Kerajaan Kurdistan yang otonom atau independen. Bakr Sidqi adalah contoh tokoh Kurdi yang lebih memilih sebagai “nasionalis Irak” ketimbang “nasionalis Kurdi”. Jenderal Kurdi ini kelak terlibat kudeta gagal terhadap Kerajaan Irak yang akhirnya dieksekusi tahun 1937.
Dulu, banyak tokoh Sunni, Syiah, Kristen Nesoria, Yazidi, Assyria dlsb juga bersatu-padu untuk melawan Inggris pasca tumbangnya Turki Usmani. Dalam konteks Irak, benin-benih perseteruan Sunni-Syiah sebetulnya baru terutama sejak zaman Saddam Hussein berkuasa. Pada zaman ketika Irak menjadi kerajaan dan bahkan sebelumnya, Sunni-Syiah di Irak lebih banyak berteman ketimbang bermusuhan
Pemimpin Negara “Keturunan” Keluarga Nabi Muhammad
Meskipun banyak keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Nabi Muhammad, tapi tidak banyak yang sukses menjadi pemimpin politik-pemerintahan. Raja Faisal II di Kerajaan Irak (al-Mamlakah al-‘Iraqiyah) tumbang dikudeta dan Irak bertransformasi menjadi Republik sejak 1958/9. Dinasti Idrisiyah di Maroko juga tumbang. Dengan begitu praktis hanya tinggal penguasa Yordania yang masih mengalir darah Ali-Fatimah al-Zahra ini.
Sekarang Kerajaan Yordania dipimpin oleh Raja Abdullah II bin Al-Hussain bin Talal bin Abdullah bin Al-Hussain (penguasa Makah sebelum ditaklukkan oleh keluarga Al Saud). Dengan begitu, Raja Abdullah II ini adalah keturunan Hasan, putra Ali-Fatimah az-Zahra, dari Klan Bani Hasyim (Suku Quraisy), sesuku dan seklan dengan Nabi Muhammad. Kalau Raja Salman Saudi dari Bani Audi, sedangan Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabi), berasal dari Bani Tamim.
Foto di bawah ini (courtasy: www.newmyroyals.com) adalah foto Raja Abdullah II dan keluarga (istri, Ratu Rania, dan anak-anaknya) saat menerima kunjungan Paus Francis (Fransiskus) di Keraton Husseiniyah, Amman, Yordania. Coba Anda perhatikan dengan seksama, baik Ratu Rania maupun putri-putrinya, mereka tidak mengenakan jilbab (Anda bisa cari di Google images banyak sekali foto-foto mereka yang tak berjilbab). Raja Abdullah II sendiri dan putranya juga mengenakan jas / blazer modern, bukan gamis.
Ratu Rania adalah aktivis dan advokat terkenal di berbagai isu kemanusiaan global-internasional seperti kesehatan, kemiskinan, pendidikan, penguatan komunitas, dlsb. Bagi mereka, para anak-cucu Nabi Muhammad ini, menjadi Muslim dan Muslimah sejati tidak harus berjubah dan berjilbab ketat karena sehelai kain memang bukan menjadi ukuran kualitas keislaman dan keimanan seseorang.
Raja Abdullah II Yordania
Tidak banyak “keturunan” Nabi Muhammad SAW yang bertahan menjadi pemimpin politik-pemerintahan di era kontemporer ini.
Satu-satunya (mohon koreksi kalau saya keliru) yang bertahan hingga kini adalah Raja Abdullah II Yordania. Beliau adalah putra Raja Hussein bin Talal bin Abdullah bin Hussein bin Ali al-Hasyimi (dikenal dengan sebutan Syarif Hussein, penguasa Hijaz sebelum ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz, pendiri Kerajaan Saudi modern). Putra Syarif Hussein (leluhur Raja Abdullah II), Abdullah, adalah pendiri Dinasti Hasyim Yordania.
Raja Abdullah II, klan Bani Hasyim, adalah generasi yang ke-41 dari Nabi Muhammad. Beliau dikenal luas bukan hanya karena kerja kerasnya menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian di Timur Tengah tetapi juga aktivitas filantropinya dan penampilannya yang sangat “low profile” dan “kebarat-baratan” bukan “kearab-araban”. Sangat kontras dengan jamaah “Arab KW” yang “unyu-unyu” di Indonesia.
Selain itu, beliau juga dikenal luas sangat dekat dan ramah dengan non-Muslim. Kedekatan Raja Abdullah II dengan kalangan non-Muslim ini mungkin lantaran ibunda beliau memiliki darah non-Muslim. Seperti kita tahu, salah satu istri dari ayah Raja Abdullah II (Raja Hussein, yang wafat tahun 1999) adalah Antoinette Avril Gardiner (yang belakangan konversi ke Islam menjadi Muna al-Hussein).
Hasil perkawinan Raja Hussein dengan Antoinette inilah kemudian lahir Raja Abdullah II. Antoinette bertemu Raja Hussein saat ia menjadi asisten sekretaris pada waktu pembuatan film Lawrence of Arabia yang melegenda itu. Selain melahirkan Raja Abdullah II, perkawinan mereka juga melahirkan Prince Faisal (menjadi petinggi Angkatan Darat Yordania) serta si kembar Princess Aisya dan Princess Zein. Karena itu jangan heran kalau King Abdullah II dan saudara-saudaranya (juga keluarga beliau) agak kebule-bulean.
Di bawah ini adalah foto Raja Abdullah II bersama sang istri yang cantik jelita (Queen Rania Al-Abdullah) dan anak-anak mereka (courtesy: Step Feed). Lelaki yang besar adalah Putra Mahkota Hussein bin Abdullah, yang didikan Georgetown University, Washington, D.C., yang kelak menjadi penerus Dinasti Hasyim Yordania
Republik Arab Suriah
Syria atau Suriah (Bahasa Arab: Suriya) yang nama lengkapnya adalah Republik Arab Suriah (al-Jumhuriyah al-Arabiyyah al-Suriyah) adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat berpenduduk sekitar 18 juta. Negara ini berbatasan dengan Libanon, Turki, Irak, Yordania, dan Israel.
Dalam literatur Bahasa Inggris, nama Suriah ini sama dengan Levant yang dalam Bahasa Arab disebut a-Syam. Itulah sebabnya ISIS disebut juga ISIL (Islamic State of Iraq and Levant). Nama al-Syam itu sangat populer dalam tradisi Islam, dan memang Suriah merupakan salah satu kawasan klasik dan bersejarah tempat berbagai kerajaan dan empirium kuno membangun peradaban termasuk Kerajaan Ebla yang legendaris itu.
Damaskus dan Aleppo adalah dua di antara kota-kota kuno yang masih bertahan hingga sekarang. Di zaman Kekhalifahan Islam, Damaskus pernah menjadi ibukota Kerajaan Umayyah, kerajaan pertama dalam sejarah kepolitikan Islam. Kesultanan Mamluk di Mesir juga pernah menjadikan Damaskus sebagai kota provinsi yang penting.
Dalam sejarah Suriah modern telah bergonta-ganti nama. Dulu di zaman Turki Usmani, kawasan ini bernama Arab Levant. Kemudian setelah Turki Usmani rontok, kawasan ini bergonta-ganti nama: pada 1920 pernah bernama Kerajaan Arab Suriah, kemudian Negara Suriah (pada waktu di bawah mandat dan kontrol Perancis). Pernah juga bernama Republik Suriah yang dideklarasikan oleh negara-negara kecil bentukan Perancis: Negara Suriah, Negara Alawi, dan Negara Jabal Druze. Perancis memang sangat berperan dalam membentuk peta sosial-kultural-politik Suriah kontemporer seperti tampak dewasa ini.
Suriah merupakan salah satu kawasan yang sangat plural dan kompleks di Timur Tengah, baik dari aspek bahasa, agama, maupun kelompok etnik. Ada banyak suku bangsa yang tinggal di kawasan ini: Arab, Yunani, Armenia, Assyria, Kurdi, Turki, Mandea, Kirkasia, dlsb. Dari aspek kelompok agama juga sangat majemuk: Sunni, Kristen, Druze, Alawi, Ismaili, Mandean, Yahudi, Yazidi, dlsb. Dengan 10%, Kristen menempati agama minoritas-mayoritas di Suriah setelah Islam, lalu disusul Druze (Druizme). Ada banyak denominasi Kristen di Suriah, yang sebagian berkembang di Indonesia.
Banyak yang mengira Suriah adalah “negara Syiah”. Itu adalah keliru besar. Mayoritas penduduk Suriah adalah Arab Sunni. Hanya saja, kekuasaan dikontrol oleh “Rezim Alawi” (keluarga al-Assad). Jadi, dalam konteks Suriah, “minoritas mengontrol mayoritas” seperti di Irak zaman Saddam Hussein dulu, dimana minoritas Arab Sunni mengontrol Syiah dan Kurdi.
Apakah Alawi itu Syiah? Tidak jelas. Dalam sejarahnya arus utama Syiah juga tidak mengakui Alawi sebagai bagian dari Syiah karena dipandang “sesat” dan menyimpang dari kanon resmi kesyiahan. Jangankan pada Alwawi, kepada para pengikut Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah saja, Syiah Imamiyah atau Itsna Asyariyah sebagai Syiah mayoritas tidak mengakui otentisitas mereka. Orang-orang Alawi (berbeda dengan Alevi di Turki atau Ba Alawi di Yaman) sendiri lebih suka menyebutnya “Alawi” ketimbang Syiah.
Bagaimana kisah selanjutnya kenapa Alawi bisa menguasai pemerintahaan Suriah? Dan seperti apakah sebetulnya “jenis kelamin” dari sekte Alawi itu?
Sekte Alawi di Suriah
Banyak masyarakat, Muslim maupun non-Muslim, tidak paham tentang sekte Alawi dalam Islam. Sekte Alawi adalah kelompok minoritas agama di Suriah (sekitar 10%). Sebagian kecil pengikut sekte ini tinggal di Libanon dan Turki. Tetapi harap dicatat, sekte Alawi ini beda dengan kelompok Alevi di Turki.
Dari aspek agama, mayoritas penduduk Suriah (sekitar 18 juta) adalah Sunni, kemudian setelah itu ada Kristen, Alawi, Druze, Ismaili, Itsna Asy’ariyah, Yahudi, Yazidi, dlsb. Kelompok Alawi di Suriah kebanyakan mendiami Provinsi Latakia dan sebagian menyebar di Provinsi Homs, yang lain mendiami kota Damaskus dan Aleppo.
Meskipun minoritas, kelompok Alawi mengontrol jalannya politik-kekuasaan dan pemerintahan di Suriah yang sejak 2011 terlibat Perang Sipil ini. Hal itu terjadi karena pendiri Republik Arab Suriah modern, Hafez al-Assad, adalah dari sekte Alawi ini. Presiden Bashar al-Assad yang kini memerintah Suriah sejak tahun 2000 adalah putra Hafez al-Assad ini.
Sejak memimpin Suriah di awal 1970an, rezim al-Assad mengontrol politik dan pemerintahan dengan menunjuk para top birokrat, petinggi militer, dan komandan intelejen dari kalangan Alawi. Alasannya tentu saja untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan, maka akan lebih baik menunjuk orang-orang yang bisa dipercaya tidak menjadi “Bruthus” di kemudian hari.
Meski demikian, bukan berarti kelompok Alawi tidak berpatron dengan Sunni dan kepentingan Sunni secara mutlak diabaikan begitu saja. Juga, bukan berarti masyarakat kecil pengikut Alawi hidup makmur sejahtera karena memiliki “rezim Alawi”. Sama sekali bukan. Masalahnya tidak sesimpel yang kita bayangkan. Dunia itu tidak “hitam-putih” choy. Ingat itu.
Meskipun begitu, ketika Perang Sipil berkecamuk sejak 2011 yang membuat Suriah kini porak poranda, mayoritas pengikut Alawi membela sang rezim dengan bergabung di kelompok milisi Shabiha, National Defense Forces, dan grup paramilitary lain. Sementara sebagian pengikut Sunni bergabung ke kelompok oposisi seperti Jabhat Fatah al-Syam, Ahrar al-Syam, dlsb.
Kenapa pengikut Alawi membela Rezim Assad? Sebagian karena loyalitas kepada keluarga Assad, sebagian lain karena takut dan khawatir kalau rezim Sunni berkuasa, mereka akan menjadi target diskriminasi dan penindasan seperti yang mereka lakukan dalam sejarah kepolitikan Islam. Memang, selama berabad-abad, kelompok Alawi menjadi korban persekusi, prosekusi, diskriminasi, dan “si-si” lainnya karena mereka dituduh heretik dan dikafir-sesatkan baik oleh Sunni maupun oleh Syiah.
Lalu, seperti apakah sistem-kepercayaan Alawi itu? Apa perbedaan fundamental antara Alawi dengan arus utama Sunni maupun Syiah? Kenapa Sunni dan Syiah menyesatkan mereka? Kapan kelompok Alawi ini muncul? Bagaimana sejarahnya?
Alawi Itu Bukan Syiah, Bukan Sunni
Banyak kaum Muslim di Indonesia dan manca negara yang menganggap sekte Alawi di Suriah khususnya itu Syiah. Anggapan itu tidak benar. Atau, hanya “separuh benar” saja. Tidak benar benar benar.
Dari aspek teologi-keagamaan maupun sosial-kultural, Alawi berbeda dengan Syiah (juga Sunni). Dari aspek teologi, Alawi lebih dekat dengan Kristen karena sekte ini mengadopsi konsep “Trinitas” (Muhammad, Ali dan Salman al-Farisi). Dari aspek sosial-budaya, pengikut Alawi “lebih liberal” misalnya perempuan Alawi tidak berjilbab dan alkohol boleh dikonsumsi.
Persepsi bahwa Alawi itu bagian dari Syiah sebetulnya dibangun lantaran publik melihat hubungan dekat antara rezim Assad dan rezim Syiah Iran. Padahal, arus utama Syiah (yaitu Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Imam Dua Belas) dalam sejarahnya tidak pernah mengakui sekte Alawi sebagai bagian dari Syiah.
Baru pada 1974, seorang klerik kharismatik Syiah Libanon, Musa Sadr, untuk pertama kalinya mau mengakui Alawi adalah bagian dari Syiah. Meski Imam Musa Sadr mengakuinya, publik Syiah (termasuk kalangan elit agama dan kaum terdidik) tidak mudah untuk menerima ke-Syiah-an Alawi.
Jangankan kepada pengikut sekte Alawi yang konsep teologi-budayanya sangat ekstrim, kepada pengikut sekte Zaidiyah (Zaidi) atau Ismailyah (Ismaili) yang tidak ekstrim-ekstrim amat saja, Syiah mainstream enggan mengakuinya secara tulus-ikhlas. Jika pengikut Syiah saja enggan mengakui Alawi sebagai “bagian integral” mereka, apalagi pengikut Sunni yang dalam konsep teologi tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Alawi.
Perlu juga dicatat, pengikut sekte Alawi adalah etnik Arab sementara Syiah Iran adalah etnik Persi. Dalam sejarah, sejak zaman bahula hingga dewasa ini, sulit untuk mengakurkan Arab-Persi ini meskipun mereka satu agama (Islam) dan satu kawasan (Timur Tengah). Anda mungkin lama mengenal “Teluk Persi” tapi itu tidak ada dalam “peta Arab” karena mereka menyebutnya “Teluk Arab” tidak mau disebut Teluk Persi. Selain itu, sekte Alawi sangat nasionalis terhadap Suriah yang dulu di zaman kolonial Perancis pernah mempunyai negara independen: Negara Alawi.
Memang dari segi kebahasaan, Alawi berarti “pengikut Ali bin Abi Thalib”, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad yang, melalui pernikahannya dengan putri beliau, Fatimah az-Zahra, melahirkan Hasan-Hussein dan keturunannya termasuk kaum asyraf dan sadah. Dari sini bisa diklaim sebagai “Syiah” karena kata “Syiah” itu juga berarti “kelompok /partai pembela / pengikut Ali”.
Tetapi dari konsep teologi, sekte Alawi berbeda dengan arus utama Syiah karena pengikut Alawi tidak mengakui Imam ke-12. Menurut mereka, setelah Imam ke-11 wafat, yaitu Imam Hassan bin Ali al-Askari, imam ke-12-nya adalah Muhammad bin Nusair, bukan Muhammad bin Hassan yang dikenal dengan sebutan “Imam Mahdi”. Muhammad bin Nusair (hidup pada abad ke-9 M) inilah pendiri sekte Alawi sehingga sekte ini juga dikenal dengan sebutan “Nusairisme”. Muhammad bin Nusair inilah yang pada awalnya mengembangkan konsep teologi Alawi yang mengadopsi Trinitas Kristen sehingga ada dugaan kuat bahwa Alawi ini sebetulnya adalah “the lost Christianity” di Timur Tengah.
Sumber: Facebook Sumanto al-Qurtuby Seri Kuliah Virtual “Arab Tak Berarti Habib”
Thanks for another informative website. Where else could I get that type of information written in such an ideal way? I have a project that I am just now working on, and I’ve been on the look out for such information.