Oleh: Prof. Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag. (Profil)
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Barat/Guru Besar Ilmu Hadis IAIN Pontianak
Sebagaimana biasa kajian imam al-Gazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, selain menjelaskan hukum fiqh secara lahiriahnya juga menjelaskan secara batiniah.
Ketika mendengarkan seruan atau panggilan adzan, secara fiqh sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian lalu adalah ikut membaca apa yang diucapkan oleh muadzdzin, kecuali Hayya ala ash-shalah dan hayya ‘ala al-Falah sebagaiman disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkan sebagaimana apa yang diucapkan oleh muadzdzin”.
Kali ini, Beliau menjelaskan:
1. Bahwa ketika mendengarkan seruan adzan dari muadzdzin, maka segeralah menghadirkan dalam hati dan membayangkan nanti panggilan dan seruan di hari kimat kelak. Bagi orang-orang yang taat memenuhi panggilan adzan secara lahir dan batin, maka di akhirat kelak akan menerima panggilan dengan penuh kelemah-lembutan. Artinya, rahmat dan kasih sayang tercurah kepadanya. Akan berbeda halnya, bagi mereka yang cuek bahkan mengabaikan panggilan seruan adzan, maka di akhirat kelak juga akan diabaikan. Jangan dibiasakan, ketika muadzdzin lagi bersemangat dengan suara keras dan merdu mengumandankan adzan, justru kita malah makin sibuk dengan urusan keduniaan. Kalau urusan dunia mau dimanjakan dan diikuti terus, tak akan pernah habis-habisnya. Shalat sunnat biasa ditunda sampai adzan selesai, baru kita mulai melaksanakan shalat sunnat sebab menghormati adzan.
2. Ketika Thaharah dengan cara membersihkan diri, pakaian, dan tempat dari kotoran najis, maka juga sangat penting adalah membersihkan hati ketika sedang ingin menghadap ke hadirat Allah dalam shalat, dengan cara memperbanyak istigfar, tobat, dan menyesali dari segala kelalaian kita. Bertekad untuk akan memperbaikinya. Titik pandang Allah ketika kita berdialog dengan-Nya dalam shalat adalah pada poros hati. Maka hati harus di-thaharah-kan.
3. Menutup aurat. Maksudnya menutupi cacat dan kekurangan dalam tubuh kita dari pandangan makhluk Allah lainnya. Bagaimana dengan cacat-cacat atau penyakit yang ada dalam hati, serta rahasia-rahasia kita, semuanya tidak ada yang terlindungi dari pandangan Allah. Semuanya terbuka dan diketahui dengan pasti dalam pandangan Allah. Menutupi aurat sebenarnya adalah menutupi cela-cela cacat hati dengan rasa malu, menyesali dan tobat kepada Allah setiap kali hendak menghadapkan diri kepada-Nya dalam shalat.
4. Menghadapkan wajah ke kiblat. Maksudnya memalingkan atau menghindarkan wajah lahiriah dari semua arah, kecuali hanya yang tertuju meng-arah ke Baitullah. Memusatkan wajah lahiriah pada muka hanya ke Baitullah bersamaan dengan wajah hati berpusat ingatan hanya pada Allah. Wajah Hati ini tidak mungkin dapat tertuju semata-mata kepada Allah, selama hati masih berisi dan penuh dengan urusan dunia, sebaiknya dikosongkan lebih dahulu, baru wajah hati benar-benar bisa menghadap tertuju kepada Allah. Itulah, sebabnya, para ulama dalam berbagai ikhtiar dilakukan antara lain, biasa dilakukan membaca: “Ilahiy Anta Maqshudiy wa Ridhaka Mathlubiy ’tiniy mahabbataka wa ma’rifataka (Tuhanku, Engkaulah yang Kutuju sebenar-benarnya, Ridha-Mulah yang kutuntut, tanamkanlah cinta dan ma’rifat pada-Mu dalam hatiku).
اللَّهُمَّ أَعِنّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Ya Allah, bantulah kami agar
dapat selalu ingat kepada-Mu,
dapat selalu mensyukuri nikmat-Mu,
dapat selalu memperbaiki ibadah kepada-Mu.
Semoga persembahan ibadah shalat secara lahiriah dan batiniah semakin berkualitas sehingga mampu meningkatkan kualitas jati diri sebagai seorang Hamba Allah. Aamiin.
Pontianak, 31 Agustus 2022
Sumber: https://www.facebook.com/wajidi.sayadi/posts/pfbid04t6PPmWmNCfGrr1pPKrBBqprDd3VkrXNvd8kxWf685oC9toKVUt7z3t9ubXcpEt5l