Oleh: Noor Huda Ismail, Ph.D.
(Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura)
Menjelang bulan Ramadhan ini, Detasemen Khusus 88 menangkap puluhan tersangka teroris di sejumlah wilayah Indonesia, seperti Lampung, Batam, Tangerang, dan Jawa Tengah.
Menariknya, tak semua yang tertangkap itu lelaki. Ada satu perempuan, yaitu Meilani Indria Dewi alias Lani, ahli dalam bidang desain interior. Sarjana perbankan ini pernah dideportasi dari Turki karena ingin bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)/Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada Oktober 2017.
Akibat tindakannya ini, Lani harus mendekam di penjara. Pada kasus sebelumnya, Lani mendapatkan vonis lebih rendah dari tuntutan jaksa, diberi kemudahan menikah di dalam penjara, dan mendapatkan remisi sembilan bulan.
Namun, perempuan yang ditangkap pada 8 Maret 2022 di Lampung ini masih merawat api perlawanan kepada negara secara daring (online), tanpa harus bertransformasi menjadi ”teroris maskulin” yang tampil luring (offline).
Salah satunya, Lani adalah desainer di balik konten-konten propaganda NIIS yang kemudian disebarkan melalui Annajiyah Media Centre, termasuk bersama tersangka-tersangka lain yang juga ditangkap.
Penanganan eks napi
Apakah Lani ini fenomena tersendiri atau ia hanyalah puncak gunus es? Perlukah negara memakai pendekatan baru dalam penanganan narapidana terorisme perempuan?
Sebelum ketambahan pekerjaan penanganan eks narapidana terorisme perempuan seperti Lani yang eksis di dunia daring, aparat sudah kerepotan menangani eks narapidana terorisme laki-laki di dunia luring. Kerepotan ini bukan karena negara tidak ada anggaran, melainkan karena masalah klasik yang sering terjadi di hampir tiap lembaga negara di dunia, yaitu lemahnya koordinasi antaroperator di lapangan. Dengan kata lain, para operator ini memang sama-sama kerja, tetapi mereka belum bekerja sama.
Dalam konteks penanganan eks narapidana terorisme di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bukanlah pemain tunggal. Ada Detasemen Khusus (Densus) 88, Badan Intelijen Negara (BIN), dan belakangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai ikut terlibat.
Lalu muncul pemain relatif baru di isu ini, seperti Kementerian Sosial. Majelis Ulama Indonesia juga ambil bagian melalui Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET).
Antarpemimpin lembaga negara di atas selalu tampak rukun dan kompak pada rapat koordinasi di tingkat nasional. Sayangnya, pada tingkat operasional teknis di lapangan, kekompakan itu sering menguap.
Misalnya, jika eks narapidana terorisme itu sudah ”digarap” oleh BNPT, pihak Densus 88 akan mundur teratur. Jika ada aparat TNI mulai mendekati eks narapidana teroris binaan Densus 88, mereka akan diingatkan agar tidak terlalu dekat dengan operator TNI yang mendekati.
Operator TNI tentu tak mudah patah semangat hanya dengan tanggapan dingin eks narapidana teroris. Tanpa banyak bicara masalah ideologi, mereka menawarkan renovasi rumah para eks napi teroris ini.
Ika Puspitasari, eks buruh migran Indonesia di Hong Kong yang terlibat pendanaan terorisme dan pernah satu sel dengan Lani di penjara, bercerita bagaimana aparat TNI mengganti lantai rumahnya yang masih semen menjadi keramik.
Menariknya, BIN yang biasanya bekerja senyap justru sekarang lebih memilih cara penggalangan terbuka yang meriah dan tematik. Misalnya, dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia, BIN membuat acara seremonial dengan memasang spanduk besar berlogo BIN.
Dalam acara itu, ada agenda seorang deportan lelaki melepas lele di kolam, tempat usaha baru yang difasilitasi BIN dalam upaya membantu integrasi sosial para deportan. Wali kota pun diundang dan diikuti oleh siaran pers.
Sementara BNPT lebih aktif mengadakan acara di hotel berbintang dengan mengundang para napi teroris untuk terlibat acara wawasan kebangsaan atau kewirausahaan. Untuk melakukan tindak lanjut dari acara itu, BNPT membentuk fasilitator daerah (fasda) yang dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi antarlembaga dalam penanganan narapidana terorisme di tingkat daerah.
Sayangnya, upaya baik yang dilakukan negara belum cukup memberi ruang kepada eks narapidana terorisme perempuan. Barangkali ini karena tiga hal.
Pertama, secara jumlah narapidana terorisme (perempuan) masih relatif kecil (50-an orang). Kedua, akibatnya, operator perempuan dari Densus 88, BIN, dan BNPT dalam implementasi program pun masih terbatas. Ketiga, rata-rata para narapidana terorisme perempuan ini memakai cadar. Penting dicatat bahwa memakai cadar bukanlah ciri perempuan terkait jaringan terorisme.
Ketiga hal itu saling terkait dan jika secara teknis tidak ditangani dengan baik justru akan menjadi bumerang yang merusak seluruh rangkaian upaya reintegrasi sosial.
Misalnya, Ika Puspitasari jengkel kepada operator lelaki yang bermaksud baik datang ke rumahnya, tanpa memberi tahu lebih dulu. ”Saya masih pakai daster waktu jemur cucian di belakang rumah, tapi tiba-tiba ada lelaki datang. Padahal, saya, kan, pakai cadar kalau keluar rumah,” ujar Ika.
”Bagi lelaki, terlihat aurat mungkin bisa biasa saja dan bahkan cuek, tapi perempuan saat identitasnya dibuka, itu aib seumur hidup,” katanya menambahkan.
Perempuan dan medsos
Akibat memakai cadar, eks narapidana terorisme perempuan terkesan sangat berbeda dengan rata-rata perempuan di mana mereka tinggal, yang mayoritas bercorak Islam tradisional ala Nahdlatul Ulama. Masyarakat dan operator yang rata-rata laki-laki bukan tidak mau menerima atau membantu mereka berintegrasi ke masyarakat, tapi mereka juga bingung mencari ”pintu masuk” kepada kelompok yang terkesan menutup diri ini.
Pada titik ini, media sosial menjadi tempat mereka bertemu dengan komunitas virtual yang sama dengan cara pandang mereka. Oleh karena itu, tak heran jika Siska, salah satu eks narapidana terorisme terkait NIIS di Temanggung, akhirnya menikah dengan eks narapidana terorisme lelaki terkait NIIS dari Ambon. Mereka bertemu hanya di medsos bagi pendukung NIIS.
Dari kisah Siska ini bisa dipahami bahwa mengantar dan menitipkan eks narapidana teroris perempuan kembali pulang ke rumahnya tidak semudah memastikan bahwa dia benar-benar disengage—terlepas—dari jaringan terorisme. Karena solidaritas tangan pertama datang dari perempuan kelompok sebelumnya seperti tawaran untuk menikah dengan ikhwan yang lain bagi yang single atau bahkan tawaran tempat tinggal dan biaya hidup yang mungkin tidak besar bagi ukuran masyarakat umum.
Antropolog dan aktivis perempuan Lies Marcoes dalam bukunya, Seperti Memakai Kacamata yang Salah, mengingatkan pentingnya memakai kacamata jender dalam memahami dinamika radikalisme di Indonesia. Melalui bukunya ini, Lies mengingatkan bahwa hanya sebagian kecil perempuan yang mengalami transformasi maskulinitas dan ikut ”jihad” tempur. ”Namun, bukan berarti mereka itu tidak ada ’agency’ atau kekuatan diri dalam menentukan sikap mereka.”
Oleh karena itu, meskipun Lani tak perlu ikut ”jihad” tempur, ia bukanlah ”korban”. Ia aktif secara daring dalam grup Annajiyah Media Centre, sambil tetap menjaga identitas ”feminin” dia.
Grup daring yang Lani ikuti ini aktif memproduksi poster berisi propaganda untuk mendukung aksi terorisme, seperti pembuatan video tentang wasiat Ali Kalora berjudul ”The Land of Poso” hingga ajakan ”berjihad” kepada salah satu pejabat tinggi negara ini.
Melalui aktivitas daring, Lani diyakini berhubungan dengan tersangka teroris yang berinisial HP (35), warga Tangerang Selatan yang ditangkap Densus 88. HP terlibat karena terpengaruh oleh Lani. Keduanya kenal lewat medsos. HP adalah editor video. Video dari Suriah didapatkan oleh Lani, dan HP bertugas untuk menerjemahkan.
Kasus pertama Lani pun karena medsos. Awalnya, ada lelaki Indonesia kelahiran Selandia Baru yang menjalin kontak dengan Lani melalui medsos. Meski belum pernah bertemu offline, mereka segera cocok karena dipersatukan oleh keinginan yang sama: hijrah ke Suriah bergabung ke NIIS.
Pengajian moderat
Agar eks narapidana terorisme perempuan ini tak lagi tersambung dengan jaringan lamanya, hal yang perlu dilakukan adalah menghubungkan mereka dengan komunitas ibu-ibu pengajian moderat sekitar kampungnya, atau kelompok PKK di dalamnya. Mereka ini bisa jadi pengganti pertemanan online para eks narapidana terorisme ini.
Hari ini kelompok pengajian ibu-ibu semakin menjamur, tetapi negara belum mampu melihat dan memanfaatkan posisi strategis mereka. Tentu akan beda suasananya ketika proses reintergrasi yang diusahakan lembaga negaramelibatkan masyarakat sekitar kampung. Mereka bisa saja tak fokus melihatnya sebagai eks narapidana teroris perempuan, tetapi bagian dari masyarakat biasa.
“Saya ingin sekali gabung kelompok pengajian, tapi ada kekhawatiran takut merusak nama baik pengajian yang ada di kampung saya, karena ada mantan napi teroris di dalamnya,” kata istri eks narapidana teroris dalam sauatu wawancara.
Lagi-lagi, masyarakat terdekat sekitarlah yang bisa negara andalkan untuk melanjutkan kerja-kerja reintegrasi dan deradikalisasi yang sudah dilakukan negara. Strategi itu bisa dijamin tak perlu biaya fantastis.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/04/dinamika-penanganan-eks-teroris-perempuan