Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an/Mantan Katib ’Am PB NU
Fikrah nahdliyyah adalah suatu landasan berpikir bagi warga Nahdlatul Ulama yang telah dirintis para sesepuh warga nahdiyin. Fikrah nahdliyyah sudah diakomodasi menjadi landasan berpikir kebangsaan yang berkeindonesiaan (fikrah wathaniyyah). Para tokoh NU lebih jauh berharap fikrah nahdliyyah bisa mengglobal menjadi landasan berpikir dunia internasional (fikrah ’alamiyyah).
Obsesi ini bukan muluk-muluk. Bukankah di antara para pendiri bangsa juga ada para pendiri NU? Para tokoh NU memegang peran penting secara konsepsional di dalam menata dan merumuskan sendi-sendi bangsa Indonesia.
Peran internasional NU yang diwakili tokoh-tokohnya juga terlihat dari prestasinya dalam ikut mengambil bagian dalam penyelesaian konflik nasional dan regional di sejumlah negara dan kawasan. NU diminta menjadi bagian di dalam upaya merekonsiliasi para pihak yang bertikai di Afghanistan.
Sejumlah tokoh NU ikut serta mendirikan sebuah organisasi kemasyarakatan yang diberi nama Nahdlatul Ulama Afghanistan. Hingga saat ini komunitas ulama yang tergabung di dalamnya masih tetap solid meski sebagian anggotanya masih berada di negara-negara pengungsian.
NU juga terlibat di dalam rekonsiliasi konflik yang pernah terjadi di Myanmar beberapa waktu lalu. Pengurus Besar (PB) NU juga telah merintis konferensi ulama-ulama dunia yang secara berkala diselenggarakan di Jakarta.
Substansi fikrah
Substansi fikrah nahdliyyah paling menonjol ialah konsep moderasi umat beragama (fikrah tawasuthiyyah), yang dicirikan dengan lahirnya konsep toleransi kemasyarakatan (fikrah tasamuhiyyah), dengan semangat reformis (fikrah ishlahiyyah), dan dinamis (fikrah tathawwuriyyah), dan tentu saja dengan berdasar kepada kaidah-kaidah rasional (fikrah manhajiyyah). Kekuatan ushuliyyah yang dimiliki para tokoh NU memungkinkannya berselancar bebas di sela berbagai ombak politis di negeri ini.
Dengan cita rasa seperti ini, tentu kita berharap NU sebagai organisasi keagamaan dan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar di dunia dari segi kuantitatif anggotanya bisa tetap menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus sebagai melting pot bagi berbagai intrik di negeri tercinta ini.
NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi bercorak keagamaan ahlussunnah wal jama’ah, NU menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai mazhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU membuktikan diri dapat beradaptasi dengan nilai-nilai kearifan lokal di satu sisi dan nilai-nilai universal-internasional di sisi lain.
Di antara keunikan NU, dalam lintasan sejarahnya, tak perah berpikir untuk menyatukan, apalagi menghilangkan, mazhab-mazhab keagamaan yang ada.
Demikian pula NU sejak awal berdirinya tidak pernah berpikir untuk menyingkirkan nila-nilai budaya lokal sungguhpun nyata-nyata berbeda secara diametrikal dengan substansi doktrinnya. Sebaliknya, NU berakulturasi dan berinteraksi secara positif dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat.
Proses akulturasi itu telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan, yang merupakan warisan budaya Nusantara.
Dalam kaitan ini, dengan sendirinya NU memiliki wawasan multikultural. Dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, melainkan mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman NU itu sendiri.
Salah satu corak keagamaan yang khas bagi NU ialah kemampuannya menerapkan ajaran teks keagamaan yang bersifat sakral di dalam konteks budaya yang bersifat profan.
NU dapat membuktikan bahwa universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. Nilai-nilai universalitas Islam menurut NU tidak mesti harus berhadap-hadapan dengan budaya lokal atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya.
NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, terlebih degan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.
NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syariah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan sebuah institusi formal. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariah di dalam masyarakat.
Apalagi, NU sudah berkesimpulan bahwa NKRI dengan dasar Pancasila sudah merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia. Ini mengingat kondisi obyektif bangsa Indonesia yang ditakdirkan Allah SWT, dengan penduduk dan masyarakat yang majemuk.
Tantangan ke depan
Tantangan NU ke depan semakin berat seiring dengan berkembangnya kompleksitas masalah yang muncul di era 4.0 ini. Sudah menjadi keniscayaan, setiap bangsa memiliki kekhasan budaya sendiri, bukan saja berhak mendayagunakan sendiri, melainkan juga perlu mengembangkannya jika bangsa ini ingin meningkatkan kemajuan dan mencapai kejayaan.
Jepang, China, Korea Selatan, Selandia Baru, dan sejumlah negara maju lain bisa melewati tantangan zamannya tanpa harus kehilangan jati diri mereka. Tentu kita tidak menghendaki NU menyumbangkan sebuah fikrah menyingkirkan jati diri warga bangsanya. NU bahkan diharapkan menjadi jangkar sosial bangsa besar ini, tidak diombang-ambingkan oleh berbagai gelombang budaya yang datang dari luar, tanpa ada seleksi dan resistensi.
NU lahir sebelum bangsa ini terbentuk, dan hadir mengawal proses perjalanan bangsa ini. Kebangsaan NU tak perlu diragukan. NU sejak awal berdiri memiliki komitmen untuk lahirnya sebuah masyarakat madani (civil society) yang dibuktikan dengan komitmennya dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang ”bangsa yang merdeka”.
Komitmen itu ditunjukkan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan kepala negara Republik Indonesia sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah (pemegang pemerintahan dlaruri dengan kekuatan dan kekuasaan), hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam. Kekhususan para ulama NU selalu meniscayakan upaya mengatasi masalah sosial bersama.
Para ulama NU selalu menempatkan dirinya sebagai faqih fi mashalih al-khalqi (memahami dan mengenal dengan baik kemaslahatan makhluk termasuk manusia). Mereka memfungsikan diri sebagai motivator sekaligus stabilisator dalam mengembangkan misi kebangsaan NKRI.
Khitah NU 1926 menggariskan agar NU ke depan tidak hanya menjauhi arena politik praktis, tetapi juga mencegah warganya untuk tidak dipecah belah oleh kekuatan politik praktis itu.
Adagium ”NU ada di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana” amat penting diperhatikan oleh siapa pun yang akan memimpin NU ke depan. NU akan ditinggalkan para loyalisnya jika NU berada di bawah salah satu kekuatan partai politik. NU akan jauh lebih terhormat jika berpikir melampaui sekat-sekat kepentingan yang berjangka pendek.
Dalam momentum muktamar NU yang akan datang, kita berharap semua pihak, terutama para kandidat yang akan bertarung sebagai nakhoda PBNU, senantiasa bersama umat dan segenap warga bangsa berdoa dan berikhtiar agar Indonesia bisa melewati masa-masa sulitnya, lalu menjadi bangsa pemenang di era penuh kompetisi ini. Allahu a’lam.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/18/muktamar-nu-dan-fikrah-nahdliyyah-dalam-cita-dan-fakta