AG. Dr. KH. Lukman Arake, Lc., MA. (Profil)
(Doktor Fiqh Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir/Pimpinan Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung-Bone/Ketua Prodi Hukum Tata Negara Sekolah Pascasarjana IAIN Bone)
Dalam Islam, masalah tanah air (alwatan) telah banyak dijelaskan yang intinya menanamkan dalam diri setiap manusia agar mencintai tanah airnya, bahkan harus membelanya jika ada yang mencoba mendudukinya. Olehnya itu, makna tanah air tidak hanya sebatas pada wilayah atau tanah, tetapi juga meliputi bangsa, peradaban, sejarah, lembaga, kemenangan dan sebagainya. Addinawariy dalam kitab monumentalnya al-mujalasah wajawahirual-ilmi meriwayatkan sebuah kisah dari al-Asmaiy yangmengatakan: aku pernah mendengar seorang a’rabiy mengatakan: jikalau engkau ingin mengetahui seorang lelaki yang sesungguhnya, maka lihatlah sejauhmana ia mencintai tanah airnya. [1]
Imam Fakhruddin Arrazi ketika berbicara tentang cinta tanah air beliau berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an. Ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Annisa ayat 66 yang berbunyi:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ
Dan Sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka‛. (QS. Annisa: 66)
Arrazi mengatakan bahwa dalam ayat tersebut, Allah menjadikan/menyamakan antara meninggalkan kampung halaman dengan membunuh diri sendiri.[2] Allah SWT seakan-akan mengatakan: seandainya Aku menentukan dua hal yang sangat sulit bagi manusia maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Dua hal yang sangat sulit itu adalah bunuh diri dan meninggalkan kampung halaman. Sedihnya perasaan meninggalkan kampung halaman sama persis dengan sakitnya bunuh diri. Oleh karenanya, cinta tanah air merupakan hal yang cukup dalam pengaruhnya terhadap diri setiap insan, sehingga ada ulama mengatakan bahwa meninggalkan kampung halaman adalah cobaan yang paling besar. [3]
Bela negara dan cinta tanah air tidak hanya digambarkan oleh al-Qur’an, tetapi juga dalam hadis banyak diceritakan tentang cinta Nabi kepada tanah airnya. Imam Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW ketika kembali dari perjalanan keluar kota; dan ketika beliau sudah melihat dinding-dinding kota Madinah, beliau menghentikan sejenak untanya; dan jika seandainya beliau sedang di atas untanya maka ia pun menggerakkannya sebagai pertanda cintanya kepada Madinah. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadis tersebut menerangkan kalau kota Madinah memiliki banyak keistimewaan. Selain itu hadis tersebut juga menunjukkan pentingnya cinta tanah air dan rasa rindu kepadanya.[4] Imam Badruddin al-Aiyni dalam umdatu al-qari’, syarhu sahihi al-bukhari juga mengatakan hal serupa.[5]
Bahkan para ulama menjadikan cinta tanah air sebagai sebab (illat) sulitnya suatu ‘perjalanan’ sehingga ada sebagian ulama menjelaskan tentang maksud dan makna hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Tabrani dari Ukbah bin Amir, Nabi bersabda: ‚tiga golongan yang akan diterima doanya oleh Allah, doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), dan doa orang yang dizalimi atas yang menzaliminya‛. Para ulama menjelaskan bahwa sebab diterimanya doa orang musafir ialah karena ia sedang merasakan penderitaan, kesusahan, keterpaksaan, dan adanya rasa sedih disebabkan karena ia meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Imam al-Manawi mengatakan dalam kitab faedu al-Qadir, ketika mengomentari hadis tersebut di atas: ‚karena melakukan perjalanan merupakan sebab adanya kesedihan mendalam dalam diri seseorang disebabkan lamanya dalam keterasingan serta jauhnya dari tanah air. Sementara menanggung beban berat dan kesedihan berkepanjangan yang dirasakan adalah sebab utama dikabulkannya doa seseorang oleh Allah SWT.[6]
Allah SWT menciptakan setiap mahluk-Nya sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Hal yang menarik dari penciptaan itu ialah bahwa semua mahluk baik manusia maupun hewan kesemuanya diberi naluri untuk senantiasa condong kepada tempat hidupnya masing-masing. Bila merenungi lebih dalam ternyata semua mahluk memiliki naluri untuk menjaga dan mencintai tempatnya. Seekor singa, unta, semut, burung dan binatang lainnya memiliki kecenderungan dan naluri cinta kepada tempat tinggalnya.[7] Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Rabiah al-Basriy menulis satu buku yang diberi judul ‘Haninu al-Ibli Ila al-Authan yang maknanya adalah ‚kerinduan seekor unta kepada tanah airnya/tempat tinggalnya‛.[8]
Kalau saja rasa rindu dan cinta tempat tinggal dapat dirasakan oleh binatang, maka terlebih lagi manusia. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kemudian Ibnu al-Jauzi mengatakan: ‘tanah air selamanya akan dicintai’.[9] Imam al-Qarafi seorang ulama fikih mazhab Maliki mengomentari tentang hikmah ibadah haji dengan ganjaran pahala yang besar yang didapatkan seorang yang berhaji karena ibadah haji dapat mendidik hati seseorang serta membuatnya lebih sabar untuk meninggalkan kampung halamannya.[10]
Dalam sejarah banyak disebutkan sosok ulama Islam yang begitu cinta terhadap tanah airnya. Imam Abu Nuaim menyebutkan bahwa Ibrahim bin Adham pernah mengatakan: ‘aku tidak meninggalkan sesuatu yang begitu berat bagiku daripada meninggalkan tanah air‛.[11] Banyaknya karya para ulama Islam sepanjang sejarah terkait dengan pentingnya bela negara dan cinta tanah air merupakan bukti kuat bahwa Islam secara implisit adalah agama dan negara.
Berikut beberapa karya ulama yang mengulas secara spesifik tentang bela negara dan cinta tanah air: [12]
1- Hubbu al-Wathan karya al-Jahiz.[13]
2- Al-Hanin Ila al-Awthan karya al-Qhadi Shaleh bin Ja’far bin Abdul Wahhab al-Hasyimi seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Asakir dalam karya monumentalnya: ‘Tarikh Dimasyk‛.
3- Assyauku Ila al-Awthan karya Abu Hatim Sahal bin Muhammad Assijistani.
4- Al-Hanin Ila al-Awthan karya Abu Hayyan Ali bin Muhammad Attauhidi.
5- Al-Manahilu wal A’than, wal Haninu Ila al-Authan karya Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad.
6- Mukawwamat Hubbi al-Wathan fi Daui Ta’alimi al-Islam karya Doktor Sulaiman bin Abdullah bin Hammud Aba al-Khalil.
7- Hubbu al-Wathan min Manzurin Syar’iyyin karya Doktor Zaid bin Abdul Karim Azzaid.
8- Al-Wathan wa al-Istiythan, Dirasah Fikhiyyah karya Doktor Muhammad bin Musa bin Mustafa Addaliy.
*Artikel ini merupakan satu bagian dari buku penulis, Benarkah Islam Mengajarkan Politik, Cet I, Samata-Gowa, Gunadarma Ilmu, 2017. h, 50-55.
Pembelian buku-buku penulis melalui WA +62 823-4920-0235
Katalog buku di Instagram @lukman_arake https://www.instagram.com/lukman_arake/?hl=en
Referensi
[1] Ahmad bin Marwan Addinawariy, al-Mujalasah wajahiru al-Ilmi, (Bairut: Dar Ibni Hazm, 2002), Jld.1.h.60.
[2] Fakhruddin Arrazi, Attafsir al-Kabir, (Kairo: Dar Ihya Atturats al-Arabiy) Jld.1.h.1489.
[3] Usamah Assayyid Mahmud al-Azhariy, Al-Hakku al-Mubin, (Abu Dabi: Dar al-Fakih, 2015), h.171.
[4] Ibnu Hajar al-Askalani, Fathu al-Bari’, (Bairut: Dar al-Ma’rifah), Jld.3.h.261.
[5] Badruddin al-Ainiy, Umdatu al-Qari’, (Maktabah Syamilah) Jld.15.h.439.
[6] Al-Manawi, Faidu al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), Jld.3.h.537.
[7] Usamah Assayyid Mahmud al-Azhariy, Al-Hakku al-Mubin …h.174.
[8] Usamah Assayyid Mahmud al-Azhariy, Al-Hakku al-Mubin …h.175.
[9] Ibnu al-Jauzi, Mutsir al-Garam al-Sakin ila Asyrafi al-Amakin, (Kairo: Dar al-Hadis, 1995), h.75.
[10] Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, al-Tsakhirah, (Bairut: Dar al-Garb), Jld.3.h.194.
[11] Abu Nuaim, Hilyatu al-Auliyai, (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiy), Jld.7.h.380.
[12] Usamah Assayyid Mahmud al-Azhariy, Al-Hakku al-Mubin …h.179.
[13] Buku tersebut dicetak oleh Dar Arraid al-Arabiy, Bairut pada tahun 1982, dengan judul: al-Hanin ila al-Authan.