Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Sebagaimana kewajiban agama lainnya, puasa Ramadhan tidak tiba tiba diwajibkan sejak awal Islam hadir. Dan pun ketika puasa Ramadhan diwajibkan tidak kemudian diwajibkan kepada setiap orang.
Bahkan di awal kewajiban puasa Ramadhan (tahun ke 2 H , 12 tahun setelah kenabian), umat beriman yang mampu berpuasa masih diberi pilihan untuk menjalankan puasa atau tidak berpuasa, namun harus memberi makan seukuran 6 ons beras setiap harinya. Sekalipun ada penegasan bahwa pilihan puasa lebih baik.
Penegasan keharusan puasa baru di tegaskan oleh ayat sesudahnya ( Al Baqarah 185). Menurut Ulama, Al Baqarah 185 ini menghapus (nasakh) ayat sebelumnya yang memberikan pilihan antara puasa atau tidak.
Namun yang dihapus oleh ayat 185 ini hanyalah pilihan bagi “orang mukmin yang sehat dan tidak dalam perjalanan”. Sementara bagi orang yg tidak mampu seperti orang tua tetap diberi pilihan antara puasa atau membayar fidyah (6 ons beras).
Bagaimana dengan perempuan yang sedang menjalankan fungsi reproduksi “hamil dan melahirkan”.?
Menurut Mufassir Ibnu Katsir (w 774 H), perempuan Hamil dan Menyusui semakna dengan orang yang tidak mampu. Jadi ia berdua diberi pilihan antara puasa dan tidak.
Jika ia memilih tidak puasa, apakah harus menganti puasa atau cukup bayar fidyah? Ulama beda pendapat sebagaimana umaumnya dalam masalah fiqih.
Setidaknya ada 4 pendapat ulama dalam masalah ini, yaitu bahwa perempuan “Hamil dan Menyusui”;
1. Boleh tidak puasa, tetapi wajib qada’ (mengganti) dan bayar fidyah.
2. Boleh tidak puasa dan cukup bayar fidyah, tidak usah qada’
3. Boleh tidak puasa dan cukup qada’ , tidak perlu bayar fidyah
4. Boleh tidak puasa, dan tidak perlu qada’ dan tidak perlu bayar fidyah.
Bahkan juga ada ulama yang membedakan antara jika ia tidak puasa karena menghawatirkan kesehatan dirinya, anaknya atau keduanya.
Dari empat pendapat ini mana yang perlu dipilih?
Berilah ruang perempuan untuk memilih. Pendapat mana dari ke 4 itu yang paling “maslahah” baginya. Maslahah versi siapa? Ya pasti kemaslahatan versi perempuan yg mengalami dan menjalani fungsi reproduksi. Agama memudahkan, tidak menyulitkan. Laki laki jangan sok tahu dalam hal ini. Sebab sehebat apapun keilmuan laki laki, ia tidaklah mengalami hamil dan menyusui.
Islam (fiqih) sebagaimana ditegaskan dalam berbagai ayat Al Qur’an sangat mendegar suara dan pengalaman perempuan, sebagaimana antara lain ditegaskan dalam ayat pertama dan surat Al Mujadilah.
Wallahu A’lam
Selamat Menyambut Bulan Ramadhan. Bulan penuh pahala dan berkah memberkahi.
040421
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10222336813723414