Dr. Phil. Syafiq Hasyim, MA.
Direktur Perpustakaan dan Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)/Visiting Fellow at the Indonesia Studies Programme, ISEAS – Yusof Ishak Institute
MUKTAMAR NU kali ini diramaikan tarik-menarik bursa kepemimpinan dan wacana keagamaan yang diusung sayap konservatif NU. Tampaknya muktamar kali akan digunakan sayap ini sebagai momentum untuk kebangkitan konservatisme NU.
Beberapa gejala awal kebangkitan itu bisa dilihat dari wacana yang selama ini dikembangkan menjelang Muktamar NU, yaitu penolakan hak-hak politik dan reproduksi perempuan, pembersihan NU dari unsur liberalisme Islam seperti dimotori sebagian kiai di Jawa Timur, dan ketidakbolehan menggunakan kata “PSK” (pekerja seks komersial) untuk pelacur. Argumennya, istilah tersebut mengindikasikan pekerjaan itu halal. Hal itu semua diperoleh dari hasil pramuktamar di Jawa Barat lalu.
Yang menjadi pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran adalah kemungkinan muktamar kali ini akan dijadikan sebagai wahana kembalinya sayap konservatisme dalam Nahdlatul Ulama (NU). Jika ini yang terjadi, bagaimana NU ke depan?
Sayap konservatif
Meski banyak pihak mengklaim NU sebagai ormas keagamaan yang berhasil mengembangkan pemikiran dan gerakan progresif, keberadaan sayap konservatif NU masih kuat dalam organisasi ini. Selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1984-1998), sayap konservatif dipinggirkan dari mainstream discourse karena kuatnya pengaruh Gus Dur. Pada masa kepemimpinan ini, meski sayap ini tidak setuju dengan ide-ide pembaruan Islam Gus Dur-seperti pribumisasi Islam-mereka tidak bisa melakukan gerakan kontra terhadap Gus Dur karena argumen yang dikembangkan selalu bisa dipatahkan.
Pasca-kepemimpinan Gus Dur, sayap konservatif bangkit kembali menguasai. Mereka melihat, kepemimpinan pasca- Gus Dur tidak mengakar kuat dalam NU. Ini merupakan kesempatan baik untuk dijadikan medium merevitalisasi wacana keagamaan yang selama ini terkubur. Sayap ini merasa leluasa sebab kepemimpinan pasca-Gus Dur diisi tokoh-tokoh yang bisa diajak kompromi dengan ide- ide sayap ini, selain tidak memiliki legitimasi kuat di hadapan sayap ini.
Jika dirunut, gejala kebangkitan sayap konservatif mulai tampak saat Muktamar Kediri 1999, di mana diskursus keharusan Islam sebagai landasan dasar NU muncul sejak Khitah 1984 yang memutuskan Pancasila sebagai asas tunggal NU. Masalah ini sempat diputuskan dalam forum yang membahas masalah ini. Namun, keputusan itu dianulir lewat kebijakan para kiai sepuh agar NU tetap menggunakan dasar Pancasila. Dalam rekomendasinya, Muktamar Kediri mempertahankan Pancasila sebagai landasan NU.
Meski upaya menjadikan Islam sebagai dasar NU gagal, hal itu bisa dikatakan pertanda kembalinya sayap konservatiisme dalam NU. Kegagalan ini tidak berarti gerakan sayap konservatif mati. Sayap konservatif tetap mempertahankan diri dan melakukan penetrasi terhadap pemikiran dan gerakan NU baik di dalam maupun di luar struktur NU resmi.
Beberapa peristiwa penting, seperti Munas NU di Pondok Gede (2002) dan beberapa peristiwa politik di Tanah Air, tidak lepas dari penetrasi diskursif mereka. Menjelang pemilu presiden 2004, misalnya, sayap konservatif NU, yang dimotori kiai sepuh terkemuka asal Pasuruan Mas Subadar, mengeluarkan fatwa mengejutkan tentang pengharaman memilih presiden perempuan. Selain itu, sayap ini melakukan penetrasi terhadap isu-isu harian yang menurut mereka sudah keluar dari jalur NU, misalnya, penolakan terhadap draf revisi Kompilasi Hukum Islam dan penolakan terhadap masuknya ide-ide liberalisme di dalam NU.
Lalu bagaimana kita melihat sayap konservatif NU? Siapa saja yang masuk kategori sayap ini? Untuk melihat secara anatomis sayap konservatif NU, memang agak sulit karena kompleksitas pemikiran dan gerakan mereka.
Dalam sebuah kesempatan Gus Dur pernah menyatakan, gejala kebangkitan konservatisme di tubuh NU karena lembaga bahstul masa’il NU banyak didominasi oleh alumni Timur Tengah yang memiliki haluan keras dalam memahami fikih. Namun pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar karena banyak alumni Timur Tengah di dalam NU yang memiliki pemikiran progresif secara keagamaan. Karenanya, untuk melihat identitas sayap ini, salah satu parameter yang bisa digunakan adalah dari wacana keagamaan yang mereka kembangkan. Secara umum wacana-wacana yang mereka kembangkan adalah penolakan terhadap hak-hak politik dan reproduksi perempuan, penolakan terhadap ide-ide pembaruan keagamaan, penolakan terhadap ide pemisahan agama dan negara. Adapun dalam mengoperasionalisasikan wacana tersebut, mereka akan beraliansi dengan kelompok mana saja yang mau menampung ide mereka.
Menjelang Muktamar Solo, KH Hasyim Muzadi mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa NU sebaiknya tidak usah terlalu konservatif, tetapi jangan juga menganut liberalisme. NU, menurut dia, sebaiknya berada di jalur yang moderat (tengah- tengah), tidak berada pada titik ekstrem baik di kanan maupun di kiri. Akan tetapi, sampai kini kita belum tahu penjabaran istilah moderat yang dimaksud oleh KH Hasyim Muzadi tersebut.
Kalau kita perhatikan pernyataan tersebut tampaknya lebih bernuansa politik daripada agama. Pernyataan ini muncul bersamaan dengan pernyataan penolakan draf revisi atas Kompilasi Hukum Islam dan menghindarkan NU dari penetrasi ide-ide liberalisme Islam. Tidak hanya ide, bahkan Kiai Mas Subadar secara eksplisit meminta agar NU menghadang para calon ketua Pengurus Besar (PB) NU yang terindikasi menganut liberalisme Islam (Koran Tempo, 24 November 2004).
Melihat situasi yang berkembang, keluarnya pernyataan KH Hasyim Muzadi di atas tampaknya bukan tanpa maksud. Dengan mengeluarkan konsep- nya mengenai posisi NU di atas, KH Hasyim Muzadi akan mendapatkan dua keuntungan (dual political benefits). Pertama, dengan pernyataan ini berarti dia menyediakan diri untuk menjadi penampung aspirasi sayap ini. Kedua, dengan pernyataan ini pula dia juga telah melakukan serangan simbolis terhadap para kandidat lain yang pada kenyataannya memang ada yang memiliki faham progresif tentang Islam.
Kalau hal ini yang terjadi, maka semakin meneguhkan bahwa KH Hasyim Muzadi memang lebih tepat sebagai sosok politisi daripada sosok pemimpin agama. Bagaimana dalam waktu yang tidak terlalu lama, KH Hasyim Muzadi bisa berkompromi dengan kelompok yang selama pencalonannya sebagai wakil presiden menentangnya. Kalau benar ini pilihannya, maka akan semakin menghilangkan citranya sebagai pemimpin agama yang progresif. Padahal, untuk berlaku progresif tidak bisa dilaksanakan secara parsial, tetapi harus secara kaffah dan konsisten.
Lalu bagaimana agar NU mendatang terselamatkan dari hegemoni sayap konservatif ini? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah, muktamirin diharapkan tidak memilih calon pemimpin yang konsep pengembangan wacana NU-nya memberi peluang bagi kembalinya sayap konservatif. Sebelum terlalu jauh sayap ini menguasai NU, maka muktamirin sebaiknya memilih pemimpin yang progresif, jujur, setia pada bangsa, berkomitmen pada mustad’afin, menjunjung tinggi HAM (perempuan dan non- Muslim), dan tidak memaksakan wacana keagamaan mereka terhadap orang lain. Kalau NU kembali ke titik konservatif, maka yang rugi bukan hanya warga NU, tetapi juga seluruh warga-bangsa karena wacana inklusif NU sudah telanjur dimiliki oleh kita semua.
Kompas, 26 November 2004
Sumber: https://www.facebook.com/syafiq.hasyim.1/posts/4571238002892287