Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor Antropologi Agama King Fahd University-Arab Saudi/Direktur Nusantara Institute/Senior Scholar Middle East Institute
Adakah kaum ateis di masyarakat kontemporer Timur Tengah? Apakah ateisme pernah terjadi dan berkembang dalam sejarah Islam? Dua pertanyaan ini sama-sama menggelitik dan menarik untuk dikaji. Sebagai sebuah teritori, Timur Tengah tentu saja tidak ada bedanya dengan kawasan-kawasan lain di dunia ini dalam hal pluralitas dan kompleksitas penghuninya, termasuk perkembangan tradisi, budaya, agama, ideologi dan sebagainya.
Sebagaimana laiknya daerah-daerah lain, Timur Tengah juga dihuni berbagai macam kelompok etnis, agama, dan non-agama. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, Timur Tengah bukan hanya rumah bagi orang Arab dan Muslim saja tapi juga Yahudi, Kristen, Druze, Yazidi, dan juga ateis.
Penulis Kuwait, Sajed Al Abdali, dalam sebuah koran yang berbasis di Dubai, Al Bayan, pernah menulis sebuah kolom tentang fenomena pertumbuhan dan perkembangan kelompok ateis di Timur Tengah, khususnya di kawasan Arab Teluk (Saudi, UEA, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman) yang kemudian menjadi polemik dan mendapat respons dari banyak pihak.
Dalam kolom itu, Dr. Al Abdali menulis: “Penting buat kita untuk mengakui bahwa ateisme dan kelompok ateis itu ada dan cukup berkembang di masyarakat Timur Tengah. Anda bisa melihat fenomena ini di berbagai tulisan, forum, majelis, diskusi, blog, website jejaring sosial, juga media massa. Fenomena ateisme ini bukan harus disikapi dengan hukuman tetapi perlu dikaji secara ilmiah.”
***
Dalam konteks negara-negara Timur Tengah yang intoleran dengan ateisme, maka hampir sulit menjumpai orang yang berani mendeklarasikan diri secara terbuka atau terang-terangan sebagai ateis karena itu berarti sama saja dengan tindakan bunuh diri. Ada cukup banyak kasus intoleransi dan hukuman terhadap kaum ateis di berbagai kawasan di Timur Tengah seperti yang pernah ditulis oleh Brian Whitaker, Samuli Schielke, Adam Withnall, Max Fisher, dan lainnya.
Meskipun sebetulnya secara sosial, masyarakt Timur Tengah cukup toleran terhadap orang-orang yang tidak aktif dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan, mengadopsi nilai-nilai sekuler dalam kehidupan sehari-sehari dan sosial-kemasyarakatan, atau bersinergi dengan berbagai ideologi asing seperti komunisme misalnya. Tetapi mereka (apalagi pemerintah) tidak bisa menerima terhadap orang yang mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai ateis karena masih dianggap sangat tabu.
Itulah sebabnya mengapa komunisme yang dalam sejarahnya pernah berkembang di berbagai negara di Timur Tengah (sebagian masih berlanjut hingga kini), misalnya Palestina, Yaman, Libanon, Irak, Yordania, Suriah, atau bahkan Saudi itu minus ateisme. Mereka mengadopsi komunisme hanya sebatas sebagai ideologi gerakan sosial politik-ekonomi saja.
Pandangan intoleran terhadap ateisme ini, kata Diaa Hadid di Associated Press yang banyak menulis tentang masyarakat Timur Tengah, agak berubah sejak tahun 2000an seiring dengan perkembangan Internet dan media sosial, dan khususnya sejak Arab Spring yang membongkar banyak “tabu sosial” di masyarakat.
Sejak 2000an misalnya tercatat ada lebih dari 50 grup ateis di Facebook di Timur Tengah yang beberapa di antaranya memiliki anggota ratusan ribu. Ini belum termasuk blog dan website yang dikelola kelompok ateis, freethinker atau agnostik dari berbagai daerah di Timur Tengah.
***
Menurut Samuli Schielke, dalam konteks Timur Tengah dan kawasan Islam pada umumnya, ateisme seperti yang dimaksud dalam literatur kontemporer yang berkembang di Barat (yakni penegasian atas eksistensi Tuhan) sudah eksis sejak abad ke-19 di kala umat Islam berada di bawah otoritas negara-negara kolonial.
Menurutnya, sekitar pertengahan abad ke-19, muncul sejumlah kelompok antiklerik dan freethinker di Iran dan India, kemudian di kawasan Muslim di wilayah Rusia dan juga Turki Usmani (Ottoman)
Perlu diingat bahwa ateisme ini bukan hanya diperkenalkan dan dibawa oleh kaum Muslim saja tetapi juga oleh umat Kristen. Pada waktu itu tendensi antiklerik dan antinasionalisme agama muncul dalam kerangka atau bingkai modernisme-sekularisme.
Meskipun fenomena munculnya ateisme di kawasan mayoritas berpenduduk Muslim di era kolonial terdapat pengaruh asing (Eropa khususnya) tetapi “ateisme Timur Tengah” tidak semata-mata sebuah adaptasi atas “atesime Barat” melainkan juga dibangun atas basis tradisi heretik lokal dan “pembangkangan teologis” di kalangan umat Islam.
***
Memang dalam sejarah umat Islam di Timur Tengah khususnya, tradisi heretik ini sudah sangat klasik. Tidak jelas apakah tradisi heretik dalam sejarah Islam itu juga termasuk ateisme seperti yang dipahami di negara-negara Barat. Tetapi yang jelas kata “mulhid” dan “ilhad” memiliki makna, konotasi, dan cakupan yang lebih luas ketimbang “ateis” dan “ateisme”. Dalam konteks Islam, kata “mulhid” bukan hanya dipakai untuk “ateis” tetapi juga secara fleksibel bisa digunakan untuk kaum heretik, zindik, dan murtad.
Dengan begitu, kata “ilhad” bukan hanya mencakup “ateisme” tetapi juga tindakan pemurtadan dan perlawanan teologi-keagamaan. Ini tentu saja agak berbeda dengan makna “atheist” dalam kosa kata Bahasa Inggris yang berakar dari kata Yunani a = tidak dan theos = Tuhan. Jadi kata ateis dalam tradisi Barat, secara etimologis, jelas merujuk pada orang yang tidak mempercayai Tuhan (atau Tuhan-Tuhan) seperti yang dipedomani oleh kelompok teis, baik monoteis maupun politeis.
Merriam Webster Dictionary mendefinisikan “ateisme” sebagai “a lack of belief or a strong disbelief in the existence of a god or any gods”. Dalam implementasinya, kata “ateisme” sering disinonimkan dengan kata-kata berikut ini: “irreligion, non-belief, disbelief, non-theism, godlessness, heathenism” dan lainnya.
Meskipun cukup sulit mengidentifikasi nama-nama orang ateis dalam sejarah Islam tetapi ada cukup banyak literatur yang menyebutkan tentang–dan menyerang–orang-orang penolak eksistensi Tuhan. Salah satu karya awal tentang fenomena “kaum mulhid” (ateis, zindik, heretik, murtad dan sejenisnya) ini adalah Radd ‘ala al-Mulhid yang ditulis oleh al-Qasim bin Ibrahim, seorang teolog Syiah Zaidiyah di abad ke-9 M.
Dalam buku ini, dan sejumlah bukunya yang lain, al-Qasim seperti terlibat polemik sengit dengan “para pembangkang teologis” yang menolak eksistensi Tuhan. Ia kemudian menyertakan daftar bukti-bukti dan argumen tentang eksistensi atau keberadaan Tuhan.
Sarah Stroumsa dalam bukunya Freethinkers of Medieval Islam mengatakan bahwa al-Qasim terlibat perdebatan sengit dengan kelompok heretik, skeptik, atau non-agama tentang ada tidaknya Tuhan. Stroumsa sendiri tidak begitu yakin apakah kelompok yang menjadi lawan dan disebut al-Qasim itu termasuk “kaum ateis” seperti yang dipahami dalam literatur-literatur Barat. Tetapi ia yakin bahwa kelompok freethinkers memang nyata dalam sejarah Islam klasik dan pertengahan.
Dua tokoh dan sarjana Muslim klasik ternama yang sering dilabeli “mulhid” adalah Ibnu al-Rawandi atau Abu Hasan Ahmad bin Yahya bin Ishaq al-Rawandi (w. 911) dan Abu Bakar bin Muhammad bin Zakariya al-Razi atau Abu Bakar al-Razi (w. 925).
Keduanya orang Persi dan merupakan sarjana rasionalis-kritis yang karena pikiran-pikiran “liberalnya” sering dilabeli skeptik, freethinker, atau bahkan ateis. Tetapi filsuf eksistensialis Mesir ternama, Abdur Rahman Badawi (1917–2002) lebih suka menyebut pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan teologi-keagamaan al-Rawandi dan al-Razi sebagai “rasionalisme antiprophetik” ketimbang sebagai “ateisme”.
Ibnu al-Rawandi (w. 911) dikenal sebagai salah satu sarjana Muslim klasik yang oleh lawan-lawannya sering dilabeli sebagai ateis dan heretik. Ia dikenal sebagai sarjana dan pemikir yang sangat skeptik terhadap Islam dan kritikus agama secara umum. Konon semula al-Rawandi merupakan pegikut Mu’tazilah, faksi teologi rasionalis Islam, sebelum memutuskan sebagai seorang “freethinker”.
Sarah Stroumsa dalam bukunya Freethinkers of Medieval Islam menyatakan bahwa al-Rawandi dikabarkan pernah menyebut al-Qur’an sebagai “kumpulan pidato dari (seorang) makhluk yang tak bijak”. Ia juga menolak cerita-cerita mu’jizat Ibrahim, Musa, Yesus, Muhammad serta nabi-nabi lain sebagai “trik curang” dan tipu muslihat belaka.
Konon semula al-Rawandi merupakan pegikut Mu’tazilah, faksi teologi rasionalis Islam, sebelum memutuskan sebagai seorang “freethinker”. Sarah Stroumsa dalam bukunya Freethinkers of Medieval Islam menyatakan bahwa al-Rawandi dikabarkan pernah menyebut al-Qur’an sebagai “kumpulan pidato dari (seorang) makhluk yang tak bijak”. Ia juga menolak cerita-cerita mu’jizat Ibrahim, Musa, Yesus, Muhammad serta nabi-nabi lain sebagai “trik curang” dan tipu muslihat belaka.
Sarjana lain yang sering disebut atau dianggap terutama oleh “kubu lawan” sebagai “mulhid” (ateis, zindik, heretik, murtad) dalam literatur keislaman adalah Abu Bakar al-Razi (w. 925), yang dalam versi Latin disebut Rhazes atau Rasis. Tidak seperti al-Rawandi, al-Razi dikenal jauh lebih mumpuni pemikiran dan intelektualitasnya.
Al-Razi juga seorang sarjana polymath yang sangat prolifik. Ia menulis banyak karya ilmiah (konon mencapai 250 judul risalah) di berbagai bidang: kedokteran, astronomi, fisika, filsafat, matematika, musik dan masih banyak lagi, termasuk ilmu-ilmu keislaman tentunya. Tidak seperti al-Rawandi yang nyaris tidak ada sarjana yang menulis riwayat hidupnya, banyak sarjana yang mendokumentasikan sejarah dan karya-karya al-Razi seperti Edward Browne, Cyril Elgood, Donald Campbell, Henry Sigerist, dan lain sebagainya.
Selain menulis karya-karya di bidang kedokteran dan eksakta, al-Razi juga menulis sejumlah karya akademik yang mengkritik tentang pewahyuan, kemukjizatan, kenabian, dan diktum-diktum agama secara umum.
Al-Razi juga pernah menyebut al-Qur’an sebagai karya yang penuh dengan kontradiksi serta tidak berisi informasi dan penjelasan ilmiah. Meskipun sasaran utama kritik al-Razi adalah Islam, al-Razi, seperti ditulis dalam The Oxford Handbook of Atheism, juga mengkritik agama-agama lain, khususnya Yahudi, Kristen, Zoroastrianisme dan Manicheanisme.
Tokoh Muslim klasik lain yang dianggap sebagai freethinker, heretik, dak kritikus agama adalah Abu al-Ala al-Ma’ari (w. 1057), seorang sastrawan dari Suriah, dan juga Omar Khayyam (w. 1131), seorang sarjana dan sastrawan dari Nishapur, Iran.
***
Meskipun embrio atau akar-akar ateisme (ilhad) sudah ada sejak Abad Pertengahan (sejak 8 M), era di mana dunia Islam sedang mengalami surplus sarjana dan pengetahuan, bentuk-bentuk ateisme di kawasan Islam yang agak mirip-mirip pengertiannya dengan yang berkembang di Barat baru muncul pada abad ke-19 M.
Menurut Samuli Schielke dalam The Oxford Handbook of Atheism, gerakan pemikiran bebas, antiagama, dan antiklerik di kalangan umat Islam di abad ke-19, pertama kali muncul di Iran, kemudian India, lalu kawasan Turki Usmani dan daerah Islam yang masuk koloni Rusia (termasuk Asia Tengah dan Balkans). Konon gerakan ini diperkenalkan oleh Arab Muslim dan Kristen yang tinggal di berbagai wilayah kekuasaan Turki Usmani.
Meskipun gerakan antiagama dan antiklerik ini muncul bersamaan dengan kolonialisasi umat Islam oleh sejumlah negara Eropa, bukan berarti bahwa gerakan ateisme di sejumlah kawasan Islam ini semata-mata merupakan adaptasi dari “ateisme Barat” karena Islam, seperti dipaparkan di atas, juga memiliki sejarah heretik dan pembangkangan atas norma, doktrin, ajaran, dan diskursus keagamaan dan keislaman.
Jadi, gerakan ateisme serta nasionalisme antiagama dan antiklerik yang muncul cukup masif di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu bukan hanya lantaran pengaruh unsur-unsur asing (Eropanisme) melaikan juga “unsur-unsur lokal” keislaman (yaitu tradisi “pembangkangan teologis”).
Pula, ateisme di Timur Tengah perlu disikapi atau dilihat dalam bingkai yang lebih luas: perkembangan modernisme sekular yang mulai menjamah kawasan Islam dari Semenanjung Balkans dan Asia Tengah hingga Timur Tengah dan Afrika.
Di antara sekian tokoh ateis yang cukup fenomena pada awal abad ke-20 adalah Ismail Ahmad Adham (w. 1940), seorang penulis Mesir dan kritikus sastra yang lahir di Turki tapi menetap di Alexandria dan mengklaim sebagai didikan University of Moscow, Russia. Ismail merupakan salah satu sedikit penulis dan pemikir Mesir yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai ateis.
Pada tahun 1936, ia menulis sebuah buku yang menolak otentisitas dan historisitas penulisan hadis serta mengirim ratusan kopi bukunya ke para ulama di Universitas al-Azhar. Rektor al-Azhar waktu itu, Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi (w. 1945) melayangkan surat protes ke kementerian Mesir atas beredarnya buku tersebut.
Tak lama kemudian, oleh kementerian Mesir, buku tersebut dilarang. Meskipun bukunya dilarang, Ismail tidak kapok. Setahun kemudian ia menulis sebuah risalah manifesto yang lebih frontal yang kemudian memicu perdebatan dan kegaduhan berjudul Limadza Ana Mulhid (Mengapa Saya Seorang Ateis?).
Abdurrahman Badawi (1917-2002), seorang sarjana dan filsuf Mesir yang mengajar di Libia dan Kuwait juga sering dihubung-hubungkan dengan sejarah kontemporer ateisme di Timur Tengah. Buku klasiknya, Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam (Sejarah Ateisme dalam Islam) yang ditulis pada 1940an masih dibaca hingga kini. Badawi sendiri sebetulnya adalah seorang filsuf eksistensialis Arab pertama yang tidak bisa serta-merta dicap sebagai “ateis”, meskipun ia memiliki jiwa “free thinking” dan sejumlah pemikirannya bernuansa “pemberontakan teologis”.
Tokoh Arab lain yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan sejarah ateisme dalam Islam di Timur Tengah adalah Abdullah al-Qassimi (1907–1996), yang disebut-sebut sebagai “Bapak Ateisme Arab Teluk”.
Al-Qassimi dianggap sebagai penulis, sarjana, dan intelektual paling kontroversial dan fenomenal di kawasan Arab di abad ke-20 karena perubahan sikapnya dari pengikut Salafi ekstrim ke pembela pemikiran bebas-merdeka, selain karena tulisan-tulisannya yang sangat sekuler, liberal, dan skeptik atas Islam (dan agama).
Sebelum berubah menjadi ateis, al-Qassimi memang dididik dalam lingkungan agama konservatif di Najed, Arab Saudi, yang merupakan tempat lahirnya “Wahabisme.” Sepertinya umumnya umat Islam di kawasan Najed, al-Qassimi awalnya juga didoktrin oleh para ulama Wahabi dengan pemikiran-pemikiran dan karya-karya para pemikir dan ulama yang menjadi idola umat Wahabi seperti Ahmad bin Hanbal (w. 855), Ibnu Taimiyah (w. 1328), Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 1350), dan tentu saja Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1791), pendiri Wahabisme.
Tapi belakangan ia “memberontak” menjadi ateis dan freethinker yang mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan dan mengkritik keras agama, termasuk Islam tentunya. Sebelum meninggal karena kanker, ia beberapa kali lolos upaya pembunuhan di Libanon dan Mesir.
Meskipun jasadnya telah tiada dan mungkin lenyap ditelan bumi, karya dan pernyataanya masih terus hidup dan dikutip oleh kalangan sekularis, freethinker, agnostik, dan ateis Arab kontemporer khususnya (bersambung).
Sumber:
https://sumantoalqurtuby.com/ateisme-dalam-sejarah-islam-dan-timur-tengah-1/
https://sumantoalqurtuby.com/ateisme-dalam-sejarah-islam-dan-timur-tengah-2/