Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Teringat hadis Yg diriwayatkan oleh Imam Buhori yg dikenal dengan hadis Ummu Zara’.
Hadist ini mengkisahkan 11 perempuan Di Masa itu yg mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “perjanjian untuk mengungkap karakteristik (aib) suami suami, tampa dusta”. Perempuan pertama mengatakan:
زوجي لحم جمل غث علي رأس جبل لا سهل فيرتقي ولا سمين فينتقل
Suamiku bagaikan unta yg sangat kurus, berada di puncak gunung berlumpur, tidak ada kemudahan untuk didaki dan tiada daging untuk dibagikan.
Perempuan ini menyamakan kepelitan suami nya bagai daging unta yang tidak enak dimakan sebagaimana daging kambing, kurus lagi. Kepelitannya mencapai puncaknya seperti puncak gunung, sehingga sulit ditaklukkan. Tidak ada hartanya yg bisa dibagi karena saking pelitnya.
(kisah 10 perempuan lainnya akan dijelaskan kemudian. Sangat menarik karena Rasulullah menyamakan hubungan Beliau dengan Aisyah seperti perempuan yg ke 11, yaitu Ummu Zara’ dan Abu Zara’, suaminya)
Jika suami suami “sangat pelit” bolehkah istri mengambil jatah nafkahnya?
Pertayaan ini menarik, sebab jika suami pelit maka istri dan anak yg menjadi tanggungjawabnya akan mengalami kesulitan dalam konteks suami sebagai pencari nafkah tunggal. Namun tidak bagi perempuan yg juga diberi kesempatan untuk mencari nafkah keluarga bersama.
Di masa Nabi ada seorang perempuan bernama Hindun Bintu Utbah menghadap Nabi dan mengadukan suaminya Abu Sufyan yg sangat pelit (syahih). Jika pun memberi tidak pernah cukup untuknya dan anak anaknya. Atas kepelitan suaminya ini, Hindun berinisiatif mengambil nafkahnya tampa sepengetahuan Suaminya. Atas pengaduan itu, Nabi bersabda:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ ، بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah nafkah yg mencukupimu dan anakmu, ambillah secara makruf.
Ada dua kata kunci dalam hadist ini, pertama “ma yakfiki wa waladaki” artinya yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu. Kedua “bil makruf”, yang berarti ambillah secara makruf (layak) sesuai dengan kebutuan masyarakat pada umumnya. Artinya istri tidak boleh berlebihan mengambil harta suaminya. Ukuran apakah masih dalam tataran layak ataukah sudah berlebihan sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan masyarakat setempat pada umummnya. Bahasa kaidah fiqih nya, harus didasarkan pada ‘Urf/adat/kebiasaan yg berlaku.
Bagi pengkaji hadist, hadist hadist semacam ini menarik. Sebab banyak sekali hadist sejenis ini yang menginformasikan pada kita, bahwa di Zaman Nabi banyak perempuan perempuan yg memiliki daya kritis untuk membongkar kedaliman yg dialaminya dengan mengadukan langsung kepada Nabi. Dan yang menarik, hampir seluruh perempuan perempuan yg mengadukan masalahnya kepada Nabi, selalu pulang dengan seyum kebahagiakan. Itulah Nabi, yang selalu memberikan solusi atas setiap persoalan sesuai dengan kebutuhan penanya, namun tetap dalam bimbingan wahyu.
Tidak seperti sekarang semua masalah yg dihadapai perempuan selalu jawab dengan “sabarlah, allah bersama orang yg sabar”, atau patuhlah kepada suamimu, engkau boleh masuk surga melalui pintu yang kau pilih, atau solusi lain yg kadang lebih menyusahkan, “poligami”. Poligami kerap ditawarkan sebagai solusi, padahal sangat berpotensi menjerumuskan perempuan itu sendiri, dan juga perempuan lain, keluarga, dan anak anaknya.
Kembali pada pertanyaan awal, jika suami pelit, bolehkan istri mengambil hartanya untuk nafkahnya dan anak anaknya? Nabi Menjawab:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ ، بِالْمَعْرُوفِ
Wallahu A’lam
Situbondo 170520
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219845017310061