Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
AYAT yang sering dikutip dalam membicarakan lailah al-qadr (lailatulkadar) ialah ‘Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar’ (QS Al-Qadr/97:1-5).
Ayat itu menarik untuk dikaji.
Mengapa menggunakan kata ganti (dhamir) hu yang kemudian para ulama tafsir memaknainya dengan Alquran (ada juga dengan Jibril)?
Mengapa menekankan al-qadr, kenapa bukan lailah al-qadha? Mengapa penekanan pada malam, mengapa bukan nahar al-qadr, bukankah justru di siang hari kita puasa? Apa sesungguhnya makna lailah menurut bahasa, jumhur ulama, dan kalangan sufi?
Kalangan ulama tafsir mengatakan yang turun pada lailah al-qadr ialah turunnya Alquran ke langit bumi secara sekaligus (al-inzal), kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril.
Ketika wahyu Alquran masih menjadi kalam al-nafs atau kalam al-dzati, itu belum disebut Alquran. Nanti disebut Alquran ketika sudah ditransformasikan menjadi kalam al-lafdz, ketika sudah menggunakan huruf-huruf dan tanda baca berbahasa Arab.
Dari kalam al-nafs ada yang pernah ditransformasi menjadi kitab Taurat dengan menggunakan bahasa Ibrani, kitab Injil dengan menggunakan bahasa Suryani, dan Alquran yang berbahasa Arab.
Ada isyarat dalam Alquran yang menekankan bahwa Jibril menyampaikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas, ‘Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas’ (QS Al-Syura/26:192-195).
Ayat lain mengisyaratkan Alquran sejak zaman azalinya sudah menggunakan bahasa Arab, sebagaimana dipahami di dalam ayat yang berbunyi, “Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf/12:1-2)
Dalam ayat lain Allah SWT mengisyaratkan Alquran turun dengan menggunakan cita rasa Arab (lisanan ‘arabiyyan), yaitu, “Dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Alquran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ahqaf/46:12)
Antara kata quranan arabiyyan (Alquran yang berbahasa Arab) dan lisanan arabiyyan (Alquran yang bercita rasa Arab), aksentuasinya berbeda. Yang pertama lebih menekankan Alquran menggunakan bahasa Arab secara ketat dan yang kedua menekankan Alquran menggunakan cita-rasa Arab.
Namun, ada satu hadis dari Aisyah RA yang menerangkan bahwa wahyu yang paling berat diterima Nabi Muhammad SAW ialah yang turun dalam bentuk bunyi lonceng. Kadang-kadang Nabi berkeringat di musim dingin karena begitu beratnya menerjemahkan suara bunyi lonceng itu ke dalam bahasa Alquran sebagaimana adanya sekarang.
Hadis itu bisa dipahami seolah-olah yang membahasaarabkan Alquran ialah Nabi Muhammad SAW. Allahu a’lam.
Makna simbolis
Kata lailah al-qadr juga menghasilkan perdebatan mendalam. Apakah kata lailah tersebut yang secara harfiah berarti malam atau malah menekankan makna simbolis (majazi)?
Dalam bahasa Arab, khususnya dalam syair-syair bahasa Arab, kata lailah bisa memiliki banyak makna. Lihat di Laila Majnun, novel sufistik yang ditulis Syekh Maulana Hakim Nidhami (1155-1223 M).
Dalam novel yang berisi 8.000 baris syair tersebut, Laila memang nama putri seorang bangsawan, tetapi kata lailah sendiri telah diimajinasi sedemikian rupa sehingga menyimpan makna cinta sedemikian dalam.
Perhatikan cuplikan salah satu syair dalam buku tersebut yang berbunyi, “Oh, lilin jiwaku. Jangan kau siksa diriku ketika aku menge-lilingimu. Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku juga tubuhku.”
Laila adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin. Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan. Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata. Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.
Perhatikan pula pada syair lainnya yang berbunyi, “Aku bagaikan orang yang kehausan. Kau pimpin aku menuju Sungai Eufrat, lalu sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas membara. Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan! Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal, jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku?”
Perhatikan juga syair pendek seorang pengantin baru yang takut kehilangan malam, “Ya laila thul, ya shubh qif!” (Wahai malam bertambah panjanglah, wahai subuh berhentilah!).
Kedua syair di atas mengambil makna simbolis (majazi) dari lailah. Syair pertama lailah lebih ditekankan kepada makna simbolisnya yaitu sebagai cinta yang sangat mendalam, keindahan, kepasrahan, keheningan, dan ketulusan.
Adapun pada syair kedua, malam melambangkan kebahagiaan dan kemesraan yang amat mendalam sehingga takut dipisahkan keringnya siang.
Banyak arti
Dalam Lisan al-Arab, yaitu kamus bahasa Arab paling standar (15 jilid), kata lailah memang memiliki banyak arti.
Selain berarti malam, kata lailah juga bisa berarti gelap, hening, dan bahkan salah satu artinya ialah perempuan.
Selanjutnya, jika lailah menjadi pangkalan pendaratan sesuatu yang bersifat sakral, yang datang sekali setahun pada Ramadan, maka patut dipertanyakan, lailah dalam arti apa yang lebih tepat menjadi pangkalan pendaratan dhamir hu itu?
Apakah lailah tersebut dalam arti fakta, yaitu menanti terbenamnya matahari dan menunggu larutnya malam? Atau lailah tersebut dalam arti simbolis, yaitu terwujudnya suasana lailiyyah di dalam jiwa hamba-Nya berupa keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, kerinduan, cinta kasih amat mendalam, dan kekhusyukan?
Jika merujuk pada makna kedua (simbolis), tidak mesti harus menunggu terbenamnya matahari dan larutnya malam untuk mencapai keheningan, kedamaian, dan kekhusyukan tersebut.
Bukankah suasana hening, pasrah, akrab, damai, rindu, keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, cinta kasih, dan khusyuk bisa muncul di siang hari? Bukankah tidak ada jaminan jika suasana batin seperti itu mesti muncul di malam hari?
Betapa banyak orang merasakan amarah dan dendam kusumat (nahariyyah) di malam hari dan sebaliknya betapa banyak juga orang merasakan kedamaian, kepasrahan, kerinduan, dan kekhusyukan (lailiy-yah) di siang hari.
Lagi pula, jika pada lailah al-qadr acuannya ialah malam, pertanyaan berikut akan muncul. Bagaimana sekiranya lailah al-qadr turun berte-patan pukul dua malam waktu Indonesia, sementara belahan bumi lain seperti Amerika Serikat berada pada posisi jam dua siang?
Bagaimana juga jika lailah al-qadr turun pada pukul dua malam waktu Arab Saudi? Karena berarti di Indonesia sudah telanjur pagi, tidak lagi malam.
Padahal kita semua tahu bahwa waktu turunnya lailah al-qadr tersebut hanya sekejap (lailan), yakni sebagian kecil dari malam (qith’un min al-lail).
Sudah pasti Allah SWT bersifat Mahaadil, tidak membeda-bedakan antara hamba-Nya yang taat di berbagai tempat, baik di Indonesia, Arab Saudi, maupun di Amerika Serikat.
Bagi para sufi sendiri, mengejar peristiwa lailah al-qadr tidak terlalu penting karena bagaimanapun lailah al-qadr hanya bagian dari makhluk, sama dengan surga juga makhluk.
Yang paling penting bagi mereka ialah mencari Tuhan Sang Pencipta lailah al-qadr dan surga. Apakah masih perlu lailah al-qadr dan surga di dalam pelukan Sang Pencipta Segalanya?
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/165918-the-power-of-lailah-al-qadr
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com