Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
Hampir setiap negara disibukkan kelompok radikal. Siapa sesungguhnya kelompok radikal itu? Hal ini penting karena mengelompokkan seseorang atau kelompok sebagai kelompok radikal sama bahayanya jika menafikan adanya kelompok radikal itu. Setiap kelompok radikal di setiap negara memiliki ciri dan kecenderungan masing-masing.
Di kawasan Asia Tenggara, secara umum ciri-ciri kelompok radikal dapat diidentifikasi, antara lain mengharamkan sesuatu pada diri dan orang lain padahal Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah mengharamkan hal itu, misalnya menghadiri walimah atau acara yang dilakukan di luar kelompoknya, berlebihan di dalam memaknai ayat dan hadis yang pada hakikatnya tidak sejalan dengan tujuan umum syariah (maqashid al-syari’ah). Misalnya melakukan perjalanan jihad dengan menelantarkan keluarganya. Mereka meninggalkan yang halal dan mengharamkan kepada diri dan orang lain dengan anggapan pilihan sikap itu paling sejalan dengan Alquran dan sunah.
Mereka tidak segan-segan menghina aliran dan mazhab yang dianut orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai aliran sesat. Mereka mengambil sikap berlebihan kepada orang lain yang berbeda dengan pendapatnya, misalnya menuduh orang lain sebagai ahli bidah dan mengklaim diri sebagai ahli sunah sejati, bahkan tidak segan-segan mengafirkan dan menghalalkan darah orang lain.
Ciri lainnya, mereka menganggap orang lain sebagai kelompok jahiliah modern, yang tak layak diikuti. Mereka mengharamkan bermakmun kepada orang yang berada di luar kelompoknya dan menganggap sia-sia salat di belakang orang yang fasik. Mereka juga menuduh ulama yang tidak sejalan dengannya sebagai ulama sesat (ulama’ al-su’) dan melecehkannya secara terbuka.
Mereka selalu memisahkan diri dengan umat Islam yang tidak sejalan dengannya di dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk ibadah salat berjemaah. Mereka tidak mau berpartisipasi dalam gagasan yang dirintis atau diprakarsai kelompok lain yang bukan kelompoknya. Mereka sering melakukan interpretasi dalil agama sesuai dengan ideologinya, tidak peduli itu kontroversi di kalangan umat mayoritas.
Mereka tidak takut dan terbiasa hidup di dalam perbedaan dan keterasingan dengan umat mainstream. Mereka bisa saja memotong ayat atau hadis untuk mengambil dasar pembenaran terhadap ajarannya. Misalnya ayat-ayat jihad diambil pertengahan atau potongan yang mendukung perjuangannya, seperti “…maka bunuhlah orang-orang musyrikin (nonmuslim) itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka….” Potongan ayat ini diambil dari pertengahan QS al-Taubah [9]:5.
Mereka juga sering mengabaikan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis demi memfokuskan makna ayat kepada ajarannya. Mungkin saja ayat atau hadis itu menunjuk kepada satu kasus yang sangat spesifik tetapi diperlakukan secara general, contohnya: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka….” (QS al-Baqarah [2]:191). Ayat ini turun sebagai direction dalam salah satu peperangan Nabi di Madinah.
Mereka selalu beranggapan bahwa penafsiran yang berbeda dengannya salah. Sekalipun secara logika dan kaedah keilmuan benar, mereka selalu yakin dengan pendapatnya yang dianggap paling benar. Mereka juga selalu aktif berdakwah di berbagai tempat sepertinya tak pernah kenal lelah.
Di dalam melakukan dakwah, mereka selalu menyampaikannya secara eksklusif dan terang-terangan tanpa rasa takut atau canggung. Sepertinya mereka tidak takut dengan segala risiko karena mereka sangat yakin Tuhan selalu bersamanya dan merestui perjuangannya. Mereka juga pintar mencari simpati dan perhatian masyarakat umum (grass road) dengan menampilkan sesuatu yang berbeda dengan mayoritas. Mereka selalu berusaha mengambil alih rumah ibadah dengan berbagai cara dari tangan orang lain karena cara ini dianggap paling efisien dan efektif. Mereka juga solid di dalam mengumpulkan dana untuk mendanai seluruh kegiatannya. Umumnya mereka memiliki sumber dana rutin dan tetap dari para anggotanya, dan sesekali mendapatkan bantuan dana dari luar.
Lain Radikal, Lain Fanatik
Meskipun memiliki persamaan, antara radikal dan fanatik tetap berbeda. Para pengamat dan pemerintah bisa keliru membuat kebijakan jika keduanya disamakan. Kekeliruan seperti ini bisa mendatangkan dampak lebih jauh. Kita tidak menginginkan penyelesaian satu masalah dengan mengorbankan kelompok yang sesungguhnya tidak berdosa.
Terkadang orang dicap dengan sesuatu yang negatif dengan segala akibatnya hanya karena istilah yang digunakannya rancu. Misalnya si A adalah fanatik. Akhirnya si A harus menanggung akibatnya sebagai orang yang dijauhi sebagian masyarakat karena banyak orang mengindikasikan atau menyamakan antara fanatik dan radikal, apalagi teroris.
Padahal, antara pengertian fanatik dan radikal sangat berbeda. Radikal selalu menjadi konotasi negatif, setingkat di bawah teroris, sedangkan fanatik belum tentu radikal. Bahkan mungkin ada orang yang fanatik, tetapi sikap dan pikirannya moderat atau mungkin agak liberal. Radikal tidak pernah mau mengakomodasi garis moderat apalagi liberal. Karena itulah mereka disebut kelompok radikal. Lagi pula radikalisme bisa berujung teroris, sedangkan fanatik tidak mengarah ke sana.
Agama juga bisa menjadi korban karena istilah yang dilekatkan kepadanya. Contohnya, di Amerika Serikat, masyarakat sering menyebut Islam sebagai agama jihad. Konotasi jihad dalam kosakata bahasa Inggris populer sering diidentikkan dengan radikal dan teroris.
Akibatnya, Islam yang begitu luhur nilai-nilainya direduksi menjadi agama teroris, agama kekerasan, agama radikal, dan istilah negatif lainnya. Contoh lain, kata madrasah selalu dikonotasikan dengan sekolah kelompok radikal yang akan memproduk orang-orang jihadis dalam arti kelompok radikal.
Pekerjaan penulis paling berat saat beberapa waktu lalu ke Amerika Serikat ialah meluruskan makna jihad dan madrasah, baik melalui ceramah dan diskusi maupun melalui media cetak dan elektronik. Untungnya penulis orang Indonesia, berbagai pihak menganggapnya paling netral berbicara tentang Islam.
Sesungguhnya fanatik berarti orang-orang yang menjalankan ajaran agamanya, khususnya dalam bidang ubudiyah, secara konsisten. Mereka istikamah menutup aurat, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, dan tetap memberikan ruang bagi orang lain menganut dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing.
Karena itu, tidak semua perempuan berhijab, laki-laki berjenggot-berkumis, beratribut Timur Tengah, dan bercelana jingkrang itu beraliran keras (hard liner) atau kelompok radikal. Sepanjang mereka tidak memaksakan kehendaknya atau secara frontal menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya, bahkan toleransi tetap dipertahankan, maka tidak ada alasan mengatakan mereka itu kelompok radikal.
Populasi komunitas seperti ini cenderung makin berkembang di dalam masyarakat. Mereka tidak boleh digeneralisasi sebagai kelompok radikal hanya karena identitas fisik. Banyak kelompok radikal bahkan sudah sedang menjalani hukuman di penjara dengan tuduhan teroris, tetapi rambutnya gondrong, celana jeans kumal, tidak berjenggot dan tidak berkumis. Namun, isi kepala dan jiwanya betul-betul radikal bahkan sudah terbukti teroris. Radikalisme sesungguhnya adalah suatu paham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Radikalisme jelas jauh lebih berbahaya secara politik daripada fanatik.
Sumber:
http://mediaindonesia.com/news/read/132464/mengenal-kelompok-radikal/2017-11-17
http://mediaindonesia.com/news/read/134725/lain-radikal-lain-fanatik/2017-12-02