Oleh: Prof. M. Qasim Mathar
Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Saya bingung tentang siapa ulama sekarang. Tidak seperti dulu, ulama memang berbeda dengan yang bukan ulama. Karena perbedaan itu, ulama jelas bagi ummat. Dulu, ulama berbeda dari pedagang. Berbeda dari penyanyi. Berbeda dari artis. Berbeda dari guru. Berbeda dari pelaut. Berbeda dari nelayan. Berbeda dari petani. Berbeda dari politikus. Berbeda dari banyak orang yang profesinya bukan ulama. Bahkan, dulu, tidaklah seorang ustaz, mubalig, dan dai, otomatis adalah ulama. Apalagi, ulama pastilah sangat berbeda dari preman dan penjahat. Itu dulu. Banyak orang-orang baik, tapi tidak disebut sebagai ulama. Orang-orang dengan profesi yang beda-beda itu, kecuali preman dan penjahat, adalah orang-orang baik bersama ulama. Sekarang? Terus terang, saya bingung.
Kebingungan saya terletak pada sosok, apakah dia ulama atau selebriti? Apakah dia ulama atau politisi? Apakah dia ulama atau pebisnis? Apakah dia ulama atau ustaz saja, mubalig saja, atau dai saja? Benar-benar saya bingung. Mungkin juga sekarang, seorang provokator, dikenal pula sebagai ulama? Entah generasi milenial, bingung jugakah?
Dulu, ulama diketahui jalan hidupnya. Anaknya siapa, tinggal dan sekolahnya di mana dan sampai kelas berapa, kondisi keluarganya, …dan seterusnya, diketahui. Sehingga, ulama dulu bisa saja sudah menempel pada dirinya kehormatan sebelum dia menjadi ulama, karena dikenal dari keluarga baik-baik. Bisa saja dalam sejarah hidupnya diketahui ada noda, tapi, dikenal juga dari sejarahnya, bagaimana dia keluar dari nod itu, lalu kelak menjadi ulama dan diterima keulamaannya oleh ummat.
Ulama sekarang, tidak perlu dikenal dulu track-record (rekam jejak) sejarah hidupnya. Dengan memanfaatkan media sosial dan media main-stream, seseorang dengan cepat dikenal sebagai ulama. Cukup sering tampil di majelis-majelis taklim, di panggung tablig-tablig akbar, atau arena-arena doa bersama, dengan dukungan spanduk dan poster di mana, nama anda tertulis sebagai ulama, anda pun akan disebut sebagai ulama. Ulama era milenial. Cukup rajin mengirim video dan beredar masif, bicara di video itu tentang Islam dan semua masalah yang dibicarakan publik, maka seseorang menjadi ulama. Ulama milenial, ulama lahir dan muncul sangat cepat. Secepat era milenial dan segenap perkakasnya!
Dulu, saya diberitahu bahwa ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama Islam yang mumpuni dan ilmu-ilmu lainnya, mengayomi, membimbing, dan menunjuki jalan kepada ummat Islam dan warga masyarakat lainnya dalam masalah keagamaan, sosial dan kehidupan sehari-hari yang digeluti. Karena itu, saya mau menyerupakan ulama dengan ilmuwan atau cendekiawan yang hidupnya mendalami ilmu pengetahuan untuk diabdikan kepada masyarakat dan ummat manusia, diminta atau tidak diminta.
Dari pemahaman saya yang demikian, saya berpendapat hanya bangsa yang memiliki ulama/ilmuwan/cendekiawan yang bisa membangun peradaban. Bangsa yang tidak memilikinya, akan tetap sebagai bangsa yang “tempat jalan”. Itulah makna ulama adalah pewaris para nabi. Memang para nabilah yang selalu menunjuk jalan peradaban. Dan, ketika peradaban rusak, seorang nabi muncul memperbaiki dan membangun kembali peradaban. Saya yakin, para ulama, ilmuwan atau cendekiawan, itulah para nabi yang selalu hadir untuk merenovasi dan membangun baru peradaban. Nabi-nabi itu akan terus hadir. Bahkan, pada era pasca (sesudah) era milenial ini. Itulah ulama atau ilmuwan atau cendekiawan yang aku pahami.
Sumber: http://fajaronline.co.id/read/58454/ulama