Oleh: DR. (HC) KH. Husein Muhammad
Pakar Tafsir Gender/Pendiri Fahmina Institute/Pengasuh PP. Dar al-Tauhid Cirebon/Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Para aktivis yang bekerja dan berjuang untuk kesetaraan dan keadilan gender masih menghadapi tantangan besar dari banyak pihak. Tetapi tantangan paling sensitif muncul dari “agama” atau lebih tepatnya “tafsir keagamaan”. Di dalam pandangan para aktivis, wacana keagamaan (Islam) masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan marginal. Misalnya Laki-laki adalah makhluk superior dan hanya laki-laki yang berhak menduduki posisi puncak baik dalam ranah domestik maupun publik. Sementara perempuan adalah makhluk inferior dan domestik. Mereka meyakini posisi subordinat perempuan dan superioritas laki-laki adalah “kodrat”, kehendak Tuhan.
Lalu mereka juga berpendapat perempuan tidak boleh menampakkan diri kecuali wajah dan kedua telapak tanggannya di ruang publik. Dan masih banyak isu yang lain. Wacana keagamaan seperti ini seakan-akan telah menjadi kebenaran yang tidak bisa diganggu dan dikritik. Upaya-upaya untuk melancarkan kritik terhadap wacana ini dalam banyak kasus menimbulkan reistensi yang tinggi dan keras. Masyarakat hanya memahami bahwa pandangan keagamaan yang selama ini mereka jalani adalah benar adanya dan final. Itulah cara pandang kebudayaan patriarkisme.
Parta aktifis sangat sadar bahwa pandangan keagamaan seperti itu dapat dimaklumi untuk zaman lampau yang jauh. Akan tetapi tidak lagi menguntungkan baik untuk perempuan sendiri maupun untuk masyarakat luas dalam konteks zaman ini dan mendatang. Karena itu menurut mereka reinterpretasi atasnya bukan hanya perlu, tetapi adalah niscaya dan keharusan. Upaya reinterpretasi harus dilakukan untuk mendapatkan pandangan baru yang lebih adil terhadap perempuan. Cara pandang ini bukan hanya akan sebagai cara membela dan menguntungkan kaum perempuan, melainkan akan memberikan keuntungan bagi semua orang, bangsa dan negara. Dari titik ini mereka memandang bahwa sudah saatnya kita mencari dan memproduk buku-buku bacaan yang berperspektif keadilan dan lebih-lebih jika ditulis oleh perempuan sendiri dalam porsi yang lebih banyak dan dengan kajian yang lebih mendalam. Dan saya menemukan sebuah buku yang cukup menarik untuk didiskusikan, terkait dengan isu-isu perempuan. Ia berjudul “Al-Sufur wa al-Hijab”.
Buku Al Sufur wa al Hijab ditulis Nazhirah Zainuddin, seorang perempuan aktifis kelahiran Aleppo, Irak (1908-1976) ini menurut saya adalah salah satu di antara buku yang perlu dibaca bukan hanya oleh masyarakat di dunia Arab saja melainkan juga oleh masyarakat Islam Indonesia, terutama para aktifis. Buku ini bisa menjadi rujukan argumentatif yang lain dari sisi wacana agama yang saya kira sangat dibutuhkan terkait dengan isu Jilbab, kerudung atau istilah lainnya. Beberapa hal yang perlu dikemukakan mengenai kekhususan buku ini adalah :
Nazhirah melalui buku ini mengupas secara panjang lebar hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, terutama tentang Jilbab atau Hijab dalam perspektif dan semangat pembelaan terhadap perempuan. Nazhirah menyadari sepenuhnya dan bahkan mengalami sendiri betapa pandangan keagamaan sampai saat ini belum memihak kepada keadilan bagi perempuan. Hampir produk-produk pemikiran dan interpretasi para sarjana Islam terhadap teks-teks keagamaan masih dipengaruhi oleh tradisi patriarkhi. Oleh karena demikian, nazhiarah berusaha demikian gugih melakukan analisis kritis terhadap pandangan-pandangan konvensional dan mainstream tersebut. Dalam bukunya yang lain berjudul : “Al-Fatat wa al-Syuyukh” ia mengatakan :
أجل إنه كما كان للمرأة أن تشترك في الحكم الشرعي، إن لها الحق الصريح أن تشترك في الاجتهاد الشرعي تفسيرا وتأويلا. بل إنها أولى من الرجل بتفسير الآيات القائم فيها واجبها وحقها، لأن صاحب الحق والواجب أهدى إليهما من غيره سبيلا. (ص. 179).
“Benar, di samping perempuan mempunyai hak untuk ikut serta dalam menentukan hukum, ia juga berhak berijtihad dalam kajian tafsir dan takwil (analisis hermeneutic), bahkan perempuan lebih berkopenten menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan isu-isu perempuan”. (hlm. 179).
Hal menarik lain yang menjadikan buku ini berbeda dengan buku lain yang sejenis adalah bahwa Nazhirah tidak hanya menulis dari dalam kamarnya, melainkan juga berhadapan langsung dengan para ulama dan sarjana Islam terkemuka pada zamannya antara lain dari Al Azhar university dalam forum perdebatan, diskusi dan polemik terbuka. Nazhirah melancarkan kritik dan gugatan. Kritik Nazhirah cukup tajam, mengena, argumentatif terhadap pandangan-pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam tertua dan terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang cemerlang dan berani. Ia melancarkan perseteruan intelektual dengan kaum ulama terpandang dan disegani dunia islam melalui argumen-argumen keagamaan yang sama,dan dengan sumber-sumber rujukan yang sama pula tetapi dengan argumen, analisis dan perspektif yang berbeda. Nazhirah bicara dari pengalamannya sebagai perempuan dan dengan semangat membebaskan kaum perempuan dari sistem budaya yang menindas.
Nazhirah adalah tokoh perempuan pejuang yang gigih dalam melakukan pembelaan terhadap kaumnya. Dia dapat disejajarkan dengan tokoh feminis lainnya seperti May Ziyadah, Nabiyah Musa dan Huda Sya’rawi, atau Qasim Amin dan Sa’ad Zaghlul. Pikiran-pikiran cerdas, kritis dan mencerahkan Nazhirah menyangkut isu-isu perempuan tampaknya sejalan dengan tokoh-tokoh feminis Mesir tersebut.
Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam ; Al Qur-an dan hadits Nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab Tafsir klasik tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari dan lain-lain. Kitab-kitab raksasa dengan berjilid-jilid tebal ini ditulis para ulama besar abad pertengahan dengan tingkat kharismatika yang tinggi. Semuanya menjadi referensi yang “mu’tabar”, diakui otoritasnya. Dia juga banyak mengutip pikiran-pikiran tokoh besar lainnya seperti Muhyiddin ibnu Arabi, seorang sufi besar yang legendaris. Dari tokoh-tokoh modern nazhirah merujuk pikiran-pikiran antara lain Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh dan Syeikh Mushtafa al Ghalayini. Nazhirah sangat menguasai kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama mazhab fiqh yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan tersebut. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak perlu diragukan lagi. Kapasitas intelektualnya sebanding dengan ulama laki-laki dari universitas islam tertua dan terkemuka di Mesir. Selain mereferens pada sumber-sumber keilmuan tertulis itu Nazhirah mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik. Nazhirah ingin menyadarkan publik bahwa sumber pengetahuan tidak hanya bisa diambil dari kitab-kitab lama dan otoritatif tersebut, bukan hanya berdarkan teks-teks agama dan ilmu pengetahuan. Realitas sosial dan perkembangan kehidupan yang terus bergerak haruslah dibaca dan dipelajari. Realitas sosial harus menjadi dasar ilmiyah yang juga memiliki tigkat otoritas yang tinggi. Bahkan realitaslah yang seharusnya melahirkan kesimpulan ilmiyah.
Secara literal “Al Sufur” berarti “tanpa kerudung”, terbuka dan “al Hijab” secata literal berarti pembatas. Tetapi ia sering dimaknai sebagai kerudung, penutup kepala perempuan, jilbab atau cadar. Kita mungkin bisa menerjemahkannya dua kata itu sebagai “Keterbukaan dan Ketertutupan tubuh Perempuan”.
Jilbab digunakan dalam sebuah masyarakat sebagai kain untuk melindungi seksualitas perempuan dari tatapan “mata jalang” laki-laki. Pada saat diturunkannya ia bukan untuk membedakan identitas perempuan muslimah dan non muslimah, melainkan pembeda dari perempuan merdeka dari perempuan budak atau hamba sahaya. Ia dipakai perempuan Arabia dalam rangka tersebut.
Ia tidak selalu harus dipakai dalam segala situasi dan dihadapan semua laki-laki. Di hadapan ayah, kakak atau adik laki-laki, paman, dan “maharim” (kerabat dekat), di hadapan perempuan serta laki-laki yang sudah tak memiliki hasrat seksual dan lain-lain, perempuan bisa lebih terbuka. Demikian pula ketika dalam bekerja di pasar atau di sawah, saat perang, ketika pemeriksaan tubuhnya ke dokter, dan lain-lain.
Nazhirah melalui buku ini mengupas tuntas isu tersebut dan hal-hal lain yang terkait. Komitmen utama Islam adalah pada moralitas personal dan sosial atau yang disebut al Qur’an dengan “taqwa”. Seperti Qasim Amin (Mesir), Taher al Haddad (Tunis) dan yang lain, Nazhirah sangat bersemangat untuk melakukan pembebasan perempuan dari belenggu dan penindasan kaum laki-laki atau budaya yang selalu mengatasnamakan agama. Dia ingin melihat perempuan-perempuan Islam maju dan membangun dunia yang adil dan beradab.
Saya selalu merindukan hadirnya semakin banyak buku-buku yang membahas tentang isu-isu perempuan dalam perspektif keadilan gender melalui pendekatan kultural. Yakni pendekatan yang mengakomodasi tradisi-tradisi masyarakat dalam cara berfikir dan bertindak mereka yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dengan pengertian ini reinterpretasi yang diinginkan dalam kerangka transformasi dan kemajuan sepatutnya mempertimbangkan kondisi tersebut. Pada masyarakat Islam Indonesia khususnya، rujukan keberagamaan mereka bertumpu pada kitab-kitab kuning. Kitab-kitab ini selalu menjadi referensi paling absah dan dipandang paling otoritatif untuk menjustifikasi tindakan/perilaku personal maupun sosial. Oleh karena itu counter wacana juga perlu dilakukan melalui referensi yang sama.
Buku “Al Sufur wa al Hijab” karya Nazhirah Zainuddin ini menjadi penting untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, jika belum, mengingat argumen-argumen yang dikemukakannya sangat mencerahkan dan membuka pikiran kita. Meskipun begitu ia tetap saja bukan tanpa resistensi dari kelompok-kelompok konservatif maupun “radikal”. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi proses transformasi kultural yang berkeadilan.
Selesai
Sumber:
https://www.facebook.com/husayn.muhammad/posts/10224572062104798
https://www.facebook.com/husayn.muhammad/posts/10224574832014044
https://www.facebook.com/husayn.muhammad/posts/10224579564892363