Pemimpin Yang Tidak Seagama
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Apakah maksud kata hikmah “masyarakat tergantung agama penguasanya”? Bolehkah seorang muslim mengikuti -karena alasan toleransi- kegiatan agama lain, dengan dasar “segala perbuatan tergantung niat”? Dan bolehkah kita memilih pemimpin yang tidak seagama dengan agama kita?
Jawaban:
Jika saya tidak keliru, masyarakat tergantung agama penguasanya adalah terjemahan dari ungkapan “Bapak Sosiologi” Ibnu Khaldun. Dalam bahasa aslinya berbunyi “an-Naasu ‘alaa diini Muluukihim”. Hemat saya, kata din di sini tidak berarti agama dalam pengertian yang umum.
Ungkapan ini bermaksud menggambarkan betapa seorang penguasa dapat mewarnai masyarakatnya, dan betapa dia ikut bertanggungjawab membina mereka. Kalau dia baik, masyarakatnya akan baik, demikian pula sebaliknya. Ungkapan ini dapat dibuktikan kebenarannya, secara sederhana, dengan melihat situasi satu kelompok. Jika pemimpinnya shalat, atau menghadiri satu upacara, pegawai-pegawainya pun akan segan untuk tidak hadir. Demikian juga sebaliknya.
Ini karena pemimpin atau yang berkuasa sering cenderung disegani atau diteladani. Budaya Barat yang melanda masyarakat dunia, juga dapat menjadi bukti kebenaran ungkapan itu. Bukankah orang cenderung berpihak dan mengikuti yang kuat dan menang?
Ungkapan tersebut tidak berkaitan dengan toleransi beragama. Kegiatan agama yang bersifat ritual dari seorang pemimpin -tidak boleh diikuti oleh pengikutnya. Akan tetapi, ini bukan berarti kegiatan sosial yang direstui agama masing-masing tidak dapat diikuti. Bukankah al-Qur’an memerintahkan kita untuk bekerja sama dalam kebaikan?
Memilih pemimpin yang bukan muslim tidak terlarang, selama membawa manfaat untuk semua. Penunjuk jalan yang memimpin Nabi saw. ketika berhijrah ke Madinah adalah non-Muslim. Memang, ada ayat yang menyatakan,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebh besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami). (QS. Ali ‘Imran/3: 118)
Akan tetapi, larangan ini dikaitkan dengan sebabnya seperti terbaca di atas. Oleh karena itu, pakar tafsir Rasyid Ridha menulis ketika menafsirkan ayat di atas, demikian: “Bahwa kemudahan yang diajarkan al-Qur’an inilah yang dipraktikkan oleh ‘Umar bin Khattab dengan menyerahkan kepemimpinan perkantoran kepada orang-orang Romawi (yang bukan muslim ketika itu).
Kebijaksanaan serupa diambil oleh khalifah sesudahnya (Utsman dan Ali ra.). Demikian juga yang diterapkan oleh Dinasti ‘Abbasiyah dan penguasa-penguasa Muslim sesudah mereka. Yakni menyerahkan kepemimpinan tugas negara kepada orang Yahudi, Nasrani, dan Buddha. Kerajaan Utsmaniyah pun demikian, bahkan duta-duta besar dan perwakilan di luar negeri kebanyakan dipegang oleh orang Nasrani.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 843-845.