Hukum Operasi Plastik
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Tentang operasi plastik dengan alasan kecantikan telah dibahas oleh ulama jauh sebelum kemajuan bidang kedokteran dan operasi plastik. Ulama-ulama kita masa lampau mengharamkan perubahan bentuk fisik manusia, lebih-lebih kalau hanya didasarkan pertimbangan kecantikan. Pengubahan itu dinilai sebagai tidak menerima ketetapan Allah. Bukankah, kata mereka, manusia telah diciptakan Allah dalam bentuk sebaik-baiknya? [lihat QS at-Tin [95]: 5].
Dalil-dalil teperinci yang mereka kemukakan antara lain firman Allah dalam surah ar-Rum [30]: 30, … jangan lakukan/tidak dibenarkan perubahan dalam ciptaan Allah. Juga surah an-Nisa’ [4]: 119, yang menginformasikan sumpah setan, … dan akan saya suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak dan akan saya suruh mereka mengubah ciptaan Allah[lalu benar-benar mereka akan mengubahnya].
Memang, orang musyrik dahulu memotong [sebagian] telinga binatang dan membutakan matanya. Allah melarang hal tersebut bukan saja karena itu menyakiti binatang, melainkan juga karena perubahan itu didasarkan atas ajaran yang sesat. Itu sebabnya –tulis al-Qurthubi dalam tafsirnya– terlarang menyembelih binatang kurban yang buta atau cacat telinganya, karena adanya kesan bahwa itu adalah hasil perintah setan. Mengebiri juga termasuk dalam larangan ini, walaupun sementara ulama membolehkannya terhadap binatang [Tafsir al-Qurthubi 5: 390].
Di samping ayat di atas, ada lagi beberapa hadits Nabi yang, antara lain, yang diriwayatkan oleh Muslim, Allah mengutuk pemakai tato dan pembuatnya, dan yang mencabut rambut wajahnya serta si pencabutnya, dan yang mengatur giginya yang mengubah ciptaan Allah.
Demikian, sebagian teks keagamaan yang dijadikan dasar oleh sementara ulama dalam hal melarang pengubahan atau operasi plastik dengan tujuan kecantikan. Kalau kita menganalisis dalil-dalil tersebut, maka sebenarnya sedikit sekali ulama yang memahami arti surah ar-Rum [30]: 30 di atas sebagai larangan mengubah bentuk fisik manusia.
Hampir semua ulama baik yang terdahulu, lebih-lebih yang kontemporer, memahaminya sebagai larangan atau tidak bisanya mengubah fitrah keagamaan manusia [fitrah tauhid]. Dan hal ini sejalan dengan konteks ayat itu, kalaupun fitrah dipahami dalam arti umum, maka ayat ini pun tidak dapat dijadikan dasar, karena fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam dirinya.
Fitrah adalah gabungan dari unsur tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruh yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya, dan upayanya untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasadiah ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah akliahnya, dan mengambil kesimpulan akliah dengan premis-premis yang saling bertentangan adalah bertentangan dengan fitrah akliah manusia.
Kecenderungan terhadap lawan seks adalah fitrah manusia, dan ingin memiliki keturunan serta cinta anak adalah fitrah manusia. Ingin selalu cantik juga fitrah manusia. Menghilangkan atau mengubah fitrah itulah yang dilarang.
Adapun surah an-Nisa’ [4]: 119 di atas, maka jelas ia merupakan larangan melakukan pengubahan bentuk fisik, tetapi diamati oleh sekian ulama bahwa konteks ayat tersebut berkaitan dengan :
[a] binatang;
[b] pengubahan yang memperburuk atau menghalangi berfungsinya salah satu anggota badan ciptaan Allah; dan
[c] atas dorongan ajaran setan. Atas dasar ini, jika faktor tersebut tidak terpenuhi maka terbuka kemungkinan untuk membolehkannya.
Hadits-hadits yang melarang penyambungan rambut, meruncingkan atau meluruskan gigi dan semacamnya bila dipahami dalam konteks faktor-faktor itu, tentu tidak akan dipahami secara harfiah dan dengan demikian terbuka peluang untuk membolehkannya.
Ulama besar kontemporer dari Tunis, Syaikh Muhammad Fadhil bin ‘Asyur, menulis dalam tafsirnya ath-Tahrir wa at-Tanwir [V: 205]: “Tidak termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah bila seseorang melakukan perubahan yang diizinkan-Nya. Tidak juga termasuk dalam larangan ini, perubahan yang bertujuan memperbaiki atau memperindah.
Bukankah khitan termasuk mengubah ciptaan Allah? Akan tetapi karena mempunyai dampak positif terhadap kesehatan maka ia diperbolehkan. Demikian juga mencukur rambut untuk menghindari keruwetan, menggunting kuku untuk memudahkan kerja tangan, dan melubangi telinga wanita untuk memasang anting demi keindahan.
Adapun riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi Saw, menyangkut larangan menyambung rambut, meluruskan gigi untuk keindahan, maka riwayat-riwayat tersebut memang musykil.”
“Saya duga larangan itu bertujuan melarang bersikap atau bersifat seperti sikap atau sifat yang pernah diperagakan oleh wanita-wanita tunasusila ketika itu, atau sikap/sifat wanita musyrikah. Karena, kalau tidak demikian, pasti larangan tersebut tidak sampai pada tingkat laknat/kutukan terhadap pelaku-pelakunya. Kesimpulannya, mengubah ciptaan Allah baru merupakan dosa apabila berkaitan dengan ketaatan kepada setan, apalagi yang merupakan pertanda dari identitas ajaran setan, sebagaimana dipahami dari konteks ayat ini.” Demikian Ibnu ‘Asyur.
Sebelum ulama ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha [w. 1935] pun telah menulis dalam tafsirnya menyangkut pengubahan ciptaan Allah, kutukan terhadap yang memakai tato, dan meluruskan gigi untuk tujuan keindahan. Beliau berpendapat demikian: “Agaknya larangan yang begitu keras ini disebabkan oleh mereka yang melampaui batas dalam melakukan hal tersebut hingga mencapai tingkat pengubahan yang buruk dan menjadikan semua badan, apalagi yang tampak darinya, seperti muka dan tangan, berwarna biru karena tato buruk itu, sedangkan ketika itu banyak tato yang menggambarkan sembahan-sembahan mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dengan menggambar salib di tangan dan dada mereka. Adapun yang berkaitan dengan gigi, meluruskannya atau memotong sedikit kalau panjang, maka tidak tampak di sini pengubahan yang memperburuk, bahkan ia lebih mirip dengan menggunting kuku dan mencukur rambut, seandainya rambut dan kuku tidak selalu memanjang maka tidak ada bedanya dengan gigi.” [Tafsir al-Manar V: 428].
Demikian, wallahu A’lam.
Sumber: http://alifmagz.com/download-alif-magazine/operasi-plastik/