Negara dan Filantropi Islam
Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)
Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006
Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.
Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.
Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.
Isu seperti ini terkait banyak dengan perkembangan historis filantropi Islam Indonesia di masa silam. Karena itu, karya Dr Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013) memiliki signifikansi khusus. Buku ini merupakan karya komprehensif pertama tentang sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.
Menyimak literatur tentang filantropi Islam umumnya, bahkan kelihatan belum ada karya komprehensif semacam ini untuk negara Muslim lain, apalagi untuk dunia Islam secara keseluruhan. Seperti dikemukakan Profesor MC Ricklefs dalam pengantarnya; “karya ini merupakan kajian sejarah otoritatif dengan topik sangat penting yang terus relevan untuk masa depan yang dapat dibayangkan.”
Kontestasi kelihatannya bakal terus mewarnai sejarah filantropi Islam Indonesia hari ini dan masa datang. Keadaan seperti ini jelas terlihat di masa silam. Kontestasi tersebut jelas banyak terkait dengan hal hubungan dan peran negara dalam filantropi Islam. Amelia menyimpulkan terdapat kontestasi di antara tiga kelompok besar umat dalam kaitannya dengan posisi negara tersebut.
Pertama, kalangan umat atau lembaga Islam yang mendukung kontrol negara terhadap agama —dalam hal ini filantropi Islam. Kedua, mereka yang menentang campur tangan dan institusionalisasi filantropi oleh negara. Dan ketiga, mereka yang ingin memelihara filantropi tetap berada di tangan aktor-aktor nonnegara, tetapi pada saat yang sama menuntut dukungan negara.
Adanya kontestasi itu di masa sekarang atau masa pascakemerdekaan secara keseluruhan, terkait tidak hanya dengan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang hubungan antara agama dan negara, tetapi juga dengan sifat negara Indonesia. Menurut Amelia —yang sepenuhnya didukung Ricklefs— dalam masa Indonesia modern, hubungan antara negara dan agama memperlihatkan posisi unik. Negara Indonesia pada dasarnya bersikap ‘tidak peduli’ (indifferent) terhadap agama karena menganggapnya lebih banyak sebagai ikhwal pribadi. Negara Indonesia tidak mengambil dua bentuk hubungan lain dengan agama: pertama, menjadikan agama sebagai basis ideologis; dan kedua, memusuhi agama.
Meski bersikap indifferent terhadap agama, Indonesia mengakui eksistensi agama tanpa menyebut agama tertentu —khususnya Islam sebagai agama mayoritas— sebagai dasar atau ideologi negara. Namun, Islam menjadi tetap faktor penting karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Muslim dan negara bagaimanapun memunculkan nuansa baru dalam hubungan antara negara dan agama.
Perubahan itu terlihat jelas sejak masa paroan kedua rezim Orde Baru. Seperti disinggung Ricklefs, sejak berkuasa, presiden Soeharto percaya agama dapat dia gunakan sebagai alat kontrol sosial dan agenda antikomunis. Meski demikian, dalam paroan pertama kekuasaannya, banyak kalangan umat merasakan kebijakan Soeharto yang tidak bersahabat kepada Islam. Barulah dalam paroan kedua kedua kekuasaannya, khususnya sejak 1990-an, presiden Soeharto mengambil langkah rekonsiliatif dengan umat Islam.
Perubahan sikap dan kebijakan presiden Soeharto menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan filantropi Islam. Soeharto sendiri memprakarsai usaha filantropi Islam yang kemudian terbukti menjadi salah satu warisan (legacy) pentingnya, yaitu Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang memungut dana Rp 1.000 dari setiap PNS dan anggota ABRI beragama Islam, yang selanjutnya digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah.
Dengan demikian, negara —seperti diwakili presiden Soeharto— secara ‘tidak resmi’ telah mengambil peran penting dalam filantropi Islam. Pada saat yang sama kemajuan pendidikan dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi Islam Indonesia. Ini mendorong munculnya LSM advokasi filantropi Islam yang memunculkan berbagai kisah sukses.
Sejauh menyangkut filantropi Islam Indonesia yang terwujud melalui zakat, infak, sedekah, wakaf (Ziswaf) dalam kaitan dengan negara dan masyarakat madani (civil society), kajian Amelia Fauzia PhD, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013) menawarkan preposisi menarik. Menurut Amelia, “jika negara lemah, filantropi (Islam) menguat”; sebaliknya, “jika negara kuat, filantropi (Islam) melemah”.
Preposisi ini benar dalam kaitannya dengan kerajaan-kesultanan sebelum kedatangan kolonial Belanda. Entitas politik Islam yang penuh dengan riwayat bangkit dan runtuh di hampir seluruh nusantara tidak memiliki kapasitas dan struktur memadai untuk mengontrol filantropi Islam. Keadaan ini mendorong kian menguatnya penguasaan filantropi Islam oleh masyarakat Muslim sendiri.
Tetapi, preposisi tersebut tidak dapat diterapkan untuk masa kolonial Belanda. Perlahan tapi pasti Belanda menguasai wilayah demi wilayah nusantara sehingga menjadi “negara kuat”. Tetapi, pada saat yang sama praktik filantropi Islam juga menguat karena Pemerintah kolonial Belanda pada dasarnya “tidak mau campur tangan” dalam urusan keagamaan kaum Muslimin. Selama individu, kelompok, dan komunitas Muslim tidak melakukan kegiatan yang dapat mengancam status-quo kekuasaan Belanda, selama itu pula kaum Muslimin dibiarkan menjalankan urusan keagamaannya-termasuk filantropi.
Hemat saya, masa kolonial Belanda adalah periode krusial dan menentukan perjalanan masyarakat Muslim Indonesia selanjutnya dalam hubungan dengan negara. Boleh dikatakan, sikap “netral” Belanda dalam urusan keagamaan kaum Muslimin justru memberikan peluang besar bagi kebangkitan filantropi yang menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan fenomenal masjid, langgar, mushala, pesantren. Perkembangan ini mendorong proses Islamisasi dan santrinasi yang terbukti tidak bisa dihentikan dan dimundurkan.
Ketika organisasi-organisasi Islam berkecambah sejak dasawarsa pertama abad 20, mulai dari SI, Jami’at Khayr, Muhammadiyah, dan kemudian NU dan banyak ormas Islam lain, tradisi filantropi yang bebas dari campur tangan negara kian menguat. Penguatan ini tidak hanya membuat kian berkecambahnya lembaga-lembaga Islam yang dibangun lewat filantropi Islam, seperti madrasah, sekolah, klinik, panti asuhan, dan seterusnya, sekaligus pula memperkuat Islamic-based civil society.
Masyarakat madani berbasis Islam ini independen vis-à-vis negara, mengatur dan membiayai diri sendiri. Mereka tumbuh dan berkembang nyaris tanpa keterlibatan dan bantuan negara. Sebuah tradisi dan sekaligus warisan (legacy) Islam Indonesia yang sangat kaya dan berurat berakar kian memapankan diri. Dengan tradisi dan warisan inilah kaum Muslimin Indonesia tidak mudah dikooptasi negara. Mereka terlalu besar untuk bisa dikuasai negara. Di sini, kaum Muslimin Indonesia berada dalam posisi yang sangat distingtif jika dibandingkan dengan banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain.
Tradisi dan warisan itu jika tidak menguat, setidaknya stabil sepanjang masa pemerintahan Presiden Sukarno. Rezim Orde Lama pada dasarnya mengikuti kebijakan “netral” dalam bidang agama. Karena itu, Presiden Sukarno yang sibuk dengan berbagai retorika politiknya membiarkan belaka aktivisme filantropi Islam di tangan masyarakat Muslim sendiri. Dalam ungkapan Amelia, “Kelompok yang menyerukan agar zakat dikelola negara tidak punya tempat dalam rezim Orde Lama”. Meski demikian, gagasan baru tentang modernisasi filantropi Islam mulai muncul di kalangan masyarakat Muslim sendiri sejak 1950-an. Di sinilah muncul kembali wacana tentang perlunya keterlibatan negara dalam ikhwal zakat dan waqaf, misalnya.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak menjalankan kebijakan netral dalam urusan agama. Menurut Amelia, pemerintah Orde Baru sebaliknya memainkan “kartu zakat” dan juga wakaf untuk memenangkan dukungan kaum Muslimin dan sekaligus membuat zakat cocok dengan ideologi pembangunan.
Pemerintah Soeharto mendukung aktivitas filantropi Islam, yang secara tidak langsung memajukan Islamisasi atau santrinisasi. Sejak 1968, pemerintah Orde Baru mensponsori pembentukan BAZ. Karena itu, meminjam teori sejarawan MC Ricklefs, sejak masa awal pemerintahannya, rezim Orde Baru mempromosikan Islamisasi masyarakat akar rumput. Cerita selanjutnya sudah banyak diketahui, Presiden Soeharto kemudian mengambil inisiatif membantuk Yayasan Amal Bakti Pancasila dengan program pembangunan 1.000 masjid dan pengiriman 1.000 da’i. Banyak kalangan Muslim meratapi ketika program filantropi ini dihentikan Presiden BJ Habibie dalam interegnum-nya.
Pemerintahan demi pemerintahan pasca-Soeharto jelas lemah. Sebaliknya, pertumbuhan //civil society// dan filantropi Islam menjadi sangat fenomenal. Tetapi, pada saat yang sama, kontestasi di antara figur-figur dan lembaga filantropi Islam juga meningkat. Isunya tetap sama: apakah negara perlu atau tidak mengatur atau campur tangan dalam pengelolaan filantropi Islam? Bisa dipastikan, tarik tambang di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi ini bakal terus berlanjut.
Sumber:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/05/15/mmuiqm-negara-dan-filantropi-islam
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/05/23/mn86ry-negara-dan-filantropi-islam-2