Isu Kritikal Dunia Muslim
Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)
Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, agaknya masa satu dasawarsa terakhir Dunia Muslim dapat dikatakan tengah menghadapi periode paling penuh gejolak.
Berbagai bentuk krisis muncul dan terus bertahan; menimbulkan masalah-masalah sulit baik di wilayah satu negara (atau beberapa negara) Muslim dan di bagian-bagian dunia lain-katakan Dunia Barat, khususnya Eropa.
Lihatlah satu masalah saja. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Libya, Suriah, Irak, dan Afghanistan membuat jutaan orang di masing-masing negara menjadi pengungsi lokal (displaced people) dan ratusan ribu-jika tidak jutaan pula-menjadi pengungsi (refugees) di banyak negara Eropa.
Sebagian mereka-dalam jumlah lebih terbatas-ditampung di Australia dan AS misalnya. Banyak mereka yang mencoba mengungsi dan menjadi migran di negara-negara Barat itu tidak pernah sampai dengan selamat.
Mereka tenggelam di Laut Tengah sebelum mencapai pulau-pulau tertentu di selatan Yunani atau Turki. Atau meninggal dalam perjalanan darat. Tapi isu kritikal-yang menimbulkan keadaan kritis-di banyak wilayah Dunia Islam lebih dari sekadar jutaan warga Muslim yang terhempas dan terkandas baik di negeri mereka sendiri maupun di wilayah dunia lain.
Terdapat sejumlah isu kritikal lain menyangkut peningkatan: (1), instabilitas politik, ekonomi, dan sosial; (2), sektarianisme politik, budaya dan agama; dan (3), konflik internal dan eksternal.
Isu-isu kritikal itu menjadi tema pokok pembahasan ‘Konsultasi Tindak Lanjut Asian Muslim Action Network (AMAN) Pasca-Assembly’ yang diselenggarakan di Bangkok (30-31 Juli 2016).
Dengan tema utama “The Critical Issues and Challenges Faced by the Muslim World from Within and Beyond” konsultasi melibatkan aktivis LSM tidak hanya Muslim, tapi juga non-Muslim. Selain dari negara-negara Asia Tenggara, beberapa peserta juga datang dari Jerman, Mesir, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka.
Memberikan orasi kunci dalam Konsultasi AMAN, penulis Resonansi ini diminta berbicara tentang penyebab dan dampak ekstrimisme, sektarianisme dan fobia Islam yang menunjukkan gejala peningkatan. Lalu tentang cara-cara mengatasinya guna menuju pembentukan masyarakat inklusif.
Lagi-lagi peningkatan ekstrimisme dan sektarianisme di kalangan masyarakat Muslim dan penguatan fobia Islam di lingkungan masyarakat Barat merupakan satu lagi masalah kritikal yang dihadapi Dunia Muslim dewasa ini.
Isu kritikal ini jelas tidak berdiri sendiri; sebaliknya terkait dengan sejumlah isu kritikal lain yang ada di antara negara-negara Dunia Muslim. Tak kurang pentingnya, berbagai isu kritikal itu terkait dengan realitas dan dinamika sejarah masing-masing negara Muslim, khususnya sejak selesainya Perang Dunia II.
Berakhirnya Perang Dunia II memberikan kesempatan bagi banyak wilayah di Dunia Muslim untuk mewujudkan kemerdekaan. Tetapi kemerdekaan dari penjajahan Eropa tidak serta merta dapat menghasilkan kemajuan dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Sebaliknya ada sejumlah faktor historis yang bekerja mengarahkan perkembangan dan dinamika sejarah masyarakat dan negara Muslim tertentu ke arah tertentu apakah positif atau negatif.
Sejauh ini ada berbagai faktor dominan yang mengarahkan negara atau masyarakat Muslim ke arah perkembangan tidak menguntungkan bagi Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan.
Faktor pertama adalah bangkitnya kekuasaan otoriter-baik sipil maupun militer-di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim. Keadaan ini bisa terlihat di Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan Presiden Soekarno sejak 1959 sampai 1965.
Keadaan yang sama juga terjadi Mesir dengan Nasserisme dalam masa Presiden Mayor Jenderal Gamal Abdel Nasser, yang berkuasa melalui kudeta penumbangan monarki pada 1956 sampai wafat pada 1970.
Baik Demokrasi Terpimpin maupun Nasserisme masing-masing menampilkan otoritarianisme sipil dan militer. Keadaan yang sama juga terjadi di banyak negara Muslim lain sejak dari Pakistan, Irak, Suriah, Tunisia dan Libya.
Perkembangan ini kian tidak kondusif dengan adopsi ideologi yang tidak selalu bersahabat dengan agama-dalam hal ini Islam. Ini terlihat pada ideologi Baathisme di Irak dan Suriah atau sekularisme-Kemalisme di Turki yang dipertahankan dengan cara apapun oleh militer-khususnya kudeta demi kudeta.
Karena itu, baik rezim yang berkuasa maupun ideologi negara tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly). Semua keadaan ini menjadi alasan pokok (raison d’etre) organisasi dan kelompok Muslim tertentu-yang kini populer disebut sebagai ‘Islamis’-berusaha menumbangkan rezim dan mengganti ideologi negara dengan cara apapun, termasuk kekerasan yang lazim disebut non-state terrorism.
Rezim penguasa tak jarang pula melakukan kekerasan atau state-sponsored terrorism. Indonesia dalam konteks itu sedikit lebih beruntung dibandingkan negara-negara Muslim lain yang disebutkan di atas.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara, yang bisa disebut sebagai bersahabat dengan agama (religiously friendly basis of the state).
Kemunculan dan bertahannya rezim otoritarian di banyak negara Dunia Muslim sampai munculnya gelombang demokrasi menjelang akhir 1990 di Indonesia dan akhir 2010 di Dunia Arab menimbulkan instabilitas politik berkepanjangan.
Konflik dan kekerasan antara kelompok warga dengan aparat negara seolah tidak pernah berakhir sampai sekarang. Gelombang demokrasi di Indonesia berikut krisis moneter, ekonomi, dan politik pada 1997-1998 menumbangkan kekuasaan otoritarianisme Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Selanjutnya, transisi Indonesia menuju demokrasi berlangsung relatif lancar, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi ketiga di dunia atau negara Muslim terbesar di jagad raya atau sedikitnya, negara dengan penduduk Muslim terbanyak di muka bumi.
Sebaliknya, gelombang demokrasi yang mulai melanda Dunia Arab sejak akhir 2010 di Tunisia yang kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah terbukti tidak memberi banyak harapan. Sebaliknya, dalam perkembangannya militer kembali ke puncak kekuasaan di Mesir.
Sementara, instabilitas baru muncul di Yaman dan lebih parah lagi di Syria sehingga kemudian memunculkan ISIS. Dengan demikian, politik tidak stabil yang penuh konflik dan kekerasan antarwarga atau antara warga dengan aparat negara tetap menjadi isu kritikal di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan juga di Asia Selatan-Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh.
Keadaan yang sama juga terjadi di Afrika; di negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Sudan, Nigeria atau Somalia. Dengan instablitas politik berkelanjutan, banyak negara Muslim gagal memperbaiki ekonomi masing-masing.
Mereka tidak mampu memenuhi janji kemerdekaan untuk perbaikan ekonomi dan kesejahteraan warga. Akibatnya, rezim-rezim yang berusaha melakukan pembangunan dan modernisasi (modernizing regimes) kian kehilangan kredibilitas dan legitimasi.
Keadaan ini makin meningkatkan ketidakpuasan, konflik, dan kekerasan. Di antara negara-negara Muslim itu hanya Indonesia dan Malaysia yang relatif berhasil dalam pembangunan ekonominya. Menerapkan semacam soft authoritarianism yang menjadikan stabilitas nasional sebagai salah satu prioritas utama, Presiden Soeharto berhasil memajukan kehidupan ekonomi dan sosial-budaya, khususnya pendidikan.
Keberhasilan ini menjadi salah satu faktor penting yang dapat meredam ketidakpuasan dan gejolak warga. Sejumlah negara Muslim diberkahi kekayaan minyak dan gas seperti Arab Saudi, negara-negara Teluk Persia [Teluk Arab], Libya, Nigeria, dan juga Indonesia.
Tetapi jelas, kekayaan alam ini tidak digunakan secara bijak untuk meningkatkan kualitas SDM atau mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan kaum Muslim di banyak negara. Bonanza minyak sebaliknya digunakan untuk proyek mercusuar seperti bisa disaksikan di Arab Saudi dan negara-negara Teluk.
Dalam pada itu, negara semacam Nigeria mengalami keadaan yang sering disebut ‘kutukan minyak’ (oil curse). Minyak tidak membawa berkah, sebaliknya konflik dan kekerasan. Indonesia tidak sempat terlanda ‘kutukan minyak’ karena produksi minyaknya terus merosot sehingga kini menjadinet importer.
Minyak kini tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pemasukan negara. Harga minyak yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir membuat Arab Saudi dan negara-negara Teluk mengalami defisit anggaran serius.
Akibatnya, Saudi misalnya harus meminjam dana besar dari lembaga keuangan internasional. Isu-isu kritikal dalam bidang politik dan ekonomi menimbulkan isu kritikal lain dalam kehidupan sosial-keagamaan.
Berhadapan dengan keadaan kian memburuk terdapat makin kalangan warga kehilangan kesabaran, sehingga kian cepat dan mudah terjerumus ke dalam aksi kekerasan dan teror. Keadaan kian tidak kondusif ini berakumulasi dengan peningkatan sektarianisme agama, kabilah, suku, politik dan sosial-budaya.
Meningkatnya sektarianisme juga terkait erat dengan munculnya semangat bernyala-nyala yang didorong keyakinan tentang ‘revivalisme Islam’ (Islamic revivalism) bahwa abad 15 Hijriyah adalah ‘abad kebangkitan Islam’.
Semangat ‘kebangkitan Islam’ yang bernyala-nyala ini terbukti membakar segelintir Muslim untuk dengan cepat melakukan takfir terhadap kaum Muslim lain-biasanya arus utama mayoritas. Kelompok takfiri juga gemar melakukan hijrah-memisahkan diri dari kaum Muslimin lain.
Mereka selanjutnya melakukan kekerasan dan teror atas nama ‘jihad’ yang telah diselewengkan dari makna dan ketentuan yang dirumuskan para ulama otoritatif. Dalam keadaan seperti itu, di banyak negara Dunia Islam tidak ada organisasi Islam yang dapat menjadi penyuara dan pembela Islam rahmatan lil’alamin-Islam damai yang merupakan rahmat bagi alam semesta.
Akibatnya sektarianisme takfiri seolah mendominasi wacana dan praksis Islam. Tak kurang pentingnya, ketiadaan ormas Islam yang sekaligus merupakan organisasi masyarakat madani berbasis Islam, membuat absennya kekuatan penengah dalam kontestasi dan pertarungan politik.
Keadaan ini membuat kontestasi, konflik dan kekerasan meruyak tanpa bisa dihentikan.
Menghadapi tantangan terkait isu kritikal dalam bidang politik, ekonomi, agama dan sosial-budaya, apa yang bisa dilakukan pemimpin, pemikir dan aktivis Muslim? Apakah ada jalan keluar dari berbagai kemelut yang dihadapi?
Seperti diajarkan Islam (misalnya QS Yusuf 87; al-Mukmin 60; al-Baqarah 186), setiap Muslim mesti memiliki harapan (raja’). Tetapi harapan saja tidak cukup.
Alquran juga mengajarkan tentang perlunya upaya sungguh-sungguh untuk mengubah keadaan; “Allah SWT tidak akan mengubah [keadaan] suatu umat sampai mereka sendiri [berusaha] mengubah diri sendiri” (QS al-Ra’d 11).
Perubahan pertama mestilah menyangkut politik. Hampir tidak mungkin terjadi perubahan dalam bidang kehidupan lain, jika kondisi politik tetap tidak kondusif seperti sekarang.
Untuk itu, perlu adanya sistem politik yang lebih mungkin memberikan ruang bagi tumbuhnya stabilitas politik, kohesi sosial dan pembangunan. Dalam konteks itu, sistem politik lebih prospektif untuk membangun stabilitas politik dan kohesi sosial adalah demokrasi.
Dengan prinsip, karakter dan praksisnya, demokrasi menjadi sistem politik yang lebih bisa bertahan (viable). Demokrasi jelas tidak seratus persen sempurna; ada kelemahan tertentu.
Tetapi jika dibandingkan dengan otorianisme (militer atau sipil) atau teokrasi, jelas demokrasi lebih bisa mengakomodasi aspirasi warga yang kian beragam. Keragaman itu tidak hanya dalam bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi, tetapi juga dalam hal agama, baik internal satu agama maupun antar agama.
Di tengah kemajuan komunikasi-informasi instan melalui media sosial, misalnya-otoritarisme dan teokrasi bukan sistem politik viable. Sebaliknya merupakan sistem dan praktek politik yang rawan (vulnerable).
Karena itu lazimnya dipertahankan penguasa otoriter dengan cara apapun-termasuk pembungkaman, represi, kekerasan dan bahkan state terrorism.
Dalam pada itu para warga juga mesti menerima dan aktif mengembangkan sistem politik demokrasi. Pandangan dan persepsi idealistik, romantic dan utopianistik misalnya menyangkut dawlah Islamiyah (negara Islam) dan/atau khilafah (kekhalifahan) sudah waktunya ditingggalkan.
Permasalahan kian kompleks baik di lingkungan internal masyarakat Muslim maupun di bagian dunia lebih luas, tidak lagi bisa diselesaikan dengan persepsi politik romantik dan utopianistik. Perlu perubahan cara pandang melihat sistem politik yang workable dan viable bagi warga Muslim sebagai bagian integral masyarakat internasional secara keseluruhan.
Dalam kaitan itu, masyarakat Muslim secara keseluruhan harus pula menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society). Usaha ini jelas tidak mudah karena banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak lagi memiliki civil society.
Kenyataan ini berakar dari represi yang dilakukan rejim-rejim otoritarianisme terhadap masyarakat madani sejak masa pasca-Perang Dunia II sampai sekarang .
Eksistensi masyarakat madani yang dinamis dan bergairah sangat penting untuk menyemaikan dan menumbuhkan ‘budaya keadaban’ (civic culture), yang krusial untuk pembentukan ‘keadaban publik’ (civility).
Jelas civic culture dan civility sangat instrumental guna mendukung pertumbuhan budaya demokrasi. Dengan adopsi demokrasi oleh negara dan warga yang telah memiliki civic culture dan civility, berbagai masalah menjadi lebih mungkin dapat diselesaikan secara damai.
Dengan begitu, lingkaran setan kekerasan yang terjadi seolah tanpa ujung (unbroken vicious circles) dapat dihentikan. Keadaan ini sangat penting untuk membereskan ‘rumah tangga’ negara-negara Muslim. Jelas hanya dengan cara damai, pemerintah dan warga Muslim dapat membereskan ‘rumah tangga’ mereka (to put their house in order).
Gejolak, krisis dan nestapa kaum Muslim di banyak negara selama ini sering disebabkan kegagalan membereskan ‘rumah’ masing-masing. Pertengkaran dan kekerasan yang terus menerus terjadi memberikan kesempatan dan celah bagi kekuatan asing untuk mencampuri urusan internal Muslim-menambah rumit keadaan, sehingga menjadi sangat sulit diselesaikan.
Jika berbagai agenda internal ini bisa dilakukan, barulah kemudian terbuka peluang dan kesempatan memperbaiki kehidupan para warga lewat pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan jelas tidak mungkin bisa terlaksana dengan baik dan sukses jika kondisi internal negara-negara Muslim selalu dipenuhi konflik dan kekerasan.
Pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan terkait satu sama lain-dan karena itu harus dijalankan secara simultan. Jelas hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan dan keadilan dapat dilakukan pembangunan sosial-budaya, khususnya pendidikan.
Hanya dengan peningkatan pendidikan, pembangunan ekonomi dapat berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan guna menggapai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sumber:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/08/03/obc2eh319-isu-kritikal-dunia-muslim-1
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/08/10/obpc4g319-isu-kritikal-dunia-muslim-2
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/08/17/oc29or319-isu-kritikal-dunia-muslim-what-to-do