Panrita.id

Haji dan Pemberantasan Korupsi

Panrita.id

Oleh: Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph. D. (Profil)

MA Hukum Islam (Visiting Student) di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo (2001-2002)/Visiting Fellow di Islamic Legal Studies Program (ILSP), Harvard Law School, Harvard University, Amerika Serikat (2013)/Postdoctoral Fellow di University of Louvain, Belgium (2016-2020)/Wakil Ketua LTM-PBNU (2015-2020)/Direktur Indonesian Sharia Watch

Ibadah haji dianggap sebagai rites de passages (ibadah peralihan) bagi setiap Muslim. Haji menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam.

Setelah menunaikan ibadah haji, tahap kehidupan baru dimulai. Diharapkan ada perubahan pada jemaah haji sepulang dari Tanah Suci. Karena itu, haji menjadi ungkapan ruh zaman. Haji memberi warna bagi masa kapan ia dilaksanakan.

Sarana penyadaran

Pada masa penjajahan abad XIX, ibadah haji menjadi sarana penyadaran penduduk Hindia Belanda (Indonesia) tentang kemerdekaan bangsanya. Jadilah para haji-haji sebagai penggerak antipenjajahan (Wiltox:1997). Paruh pertama abad XX, haji dilihat sebagai jembatan tercepat meraih martabat di tengah masyarakat. Misalnya di Minangkabau, banyak anak muda yang ingin melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan menuntut ilmu dengan tekun. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka dihormati dan dengan segera akan dilamar untuk menikah (Vredenbergt:1997). Lalu, apa ruh dan makna haji pada masa sekarang?

Kini, haji mungkin hanya menjadi pendongkrak status sosial di masyarakat. Seseorang yang semula kurang terpandang di masyarakat mendadak dihargai usai melaksanakan ibadah haji. Tak sedikit orang akan marah jika tak dipanggil haji. Jadi, di Indonesia haji sebatas simbol berupa tambahan gelar di depan nama H (haji) dan memakai peci putih yang tidak memiliki manfaat bagi orang banyak.

Bagi seorang ustadz, kiai, atau tuan guru gelar haji akan meningkatkan ”daya jual” di umat. Misalnya, di Makassar dan Mataram, tanpa gelar haji mereka dilihat dengan sebelah mata.

Di kalangan pejabat kita banyak yang telah berhaji, tetapi tidak ada perubahan yang dibawanya, semisal berkurangnya korupsi. Yang terjadi malah sebaliknya, praktik korupsi justru menjadi-jadi.

Karena itu, pernahkah menyoal hakikat kehajian Anda sepulang dari Tanah Suci? Selama ini, pertanyaan seperti itu sering ditujukan pada individu atau masing-masing jemaah haji. Tetapi, pernahkah Anda mempertanyakan hal itu dalam konteks nasional? Tegasnya, mengapa banyak rakyat Indonesia yang berhaji, tetapi tidak mampu mengubah kondisi bangsa?

Korupsi

Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan pejabat Departemen Agama menjadi bukti otentik betapa penyelenggaraan haji sarat korupsi. Jika dirunut, mulai dari pendaftaran hingga kepulangan jemaah haji, akan dijumpai betapa jemaah selalu dikuntit praktik korupsi oknum-oknum. Jika demikian, bagaimana mungkin jemaah haji Indonesia dapat diharapkan sebagai ”agen perubahan” masyarakat.

Hal ini diperparah kenyataan, banyak orang yang berpikir ibadah haji adalah upaya pembersihan harta kekayaan yang berasal dari korupsi. Haji menjadi bentuk tobat penyucian diri koruptor. Mereka berpikir, ibadah haji yang mereka lakukan akan membersihkan semua kesalahan. Orang yang melakukan kesalahan, lalu bertobat dan pergi haji tentu dipuji, tetapi tidak dengan uang haram.

Para ulama sepakat, uang yang berasal dari sesuatu yang haram, seperti menang lotre, judi, hasil korupsi, dan memeras orang, tidak boleh digunakan untuk kebaikan, seperti haji. Sarana ibadah yang dihasilkan dari uang haram tidak akan diterima. Nabi menjelaskan, Allah tidak akan menerima sedekah yang berasal dari uang judi. Begitu juga haji. Ketika seorang berhaji dengan uang hasil korupsi, hajinya tidak diterima sama sekali.

Membatalkan

Thabrani dan Isbaheni meriwayatkan sebuah hadis Nabi yang menjelaskan, orang yang berhaji dengan harta yang “kotor”, ketika ia mengucapkan labbayk allahumma labbayk (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah), Allah akan menjawab la labbayk wa la sa’dayk (Tidak, kamu tidak penuhi panggilan-Ku) dan tak ada kebahagiaan untukmu). Tuhan akan menolak mentah-mentah seorang haji yang ONH-nya (ongkos naik haji) berasal dari uang hasil korupsi. Ini juga berlaku bagi mereka yang telah berhaji, lalu korupsi, maka korupsi itu membatalkan haji yang telah dilakukannya.

Bukan itu saja. Potensi kerusakan (fujuur) dalam diri orang itu akan kian besar. Kejahatannya akan bertambah-tambah, karena ia memakai uang haram, dan Tuhan memberi jalan bagi orang itu untuk sadar dengan menambah “ujian” dan “cobaan” ebih banyak lagi. Jika saja orang itu sadar, hal itu adalah hikmah bagi orang tersebut. Sebaliknya, jika tak sadar, orang itu akan kian rakus memakan uang rakyat.

Karena itu, tidak heran jika korupsi merajalela di negeri ini. Jika demikian kenyataannya, hakikat ibadah haji yang diharapkan dapat mengubah perilaku dan sikap hidup bagi individu yang melaksanakan, sebagai tahap perubahan ke arah lebih baik, tidak tercapai.

Sumber: Opini Harian Kompas, 13 Januari 2006