Panrita.id

Kelompok Moderat Harus Berani Bersuara [Wawancara]

Oleh: Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), Ph. D. (Profil)

Penyandang 2 Gelar Magister dan 2 Gelar Ph.D. masing-masing di bidang Hukum Komersial dan Hukum Islam/Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia-New Zealand/Dosen Senior Monash Law School

Telah 13 tahun berkarier di dunia akademik Australia, hingga menjadi dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Monash sejak 2015, Nadirsyah Hosen tidak kehilangan rasa dan kejelian soal Indonesia. Begitu pula soal gelombang hoaks yang kini membanjir di medsos maupun soal seluk-beluk kontestasi Pemilu 2019 itu sendiri.

Sama sekali bukan akademisi yang sekadar duduk di menara gading, pria yang juga menjabat Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan Selandia Baru sejak 2005, berupaya memberikan pencerahan-pencerahan lewat akun Twitter-nya, @na_dirs maupun lewat buku dan tulisan di media massa. Ia juga tidak segan mengkritik ucapan-ucapan kontroversial yang memasukkan unsur agama dari para tokoh negeri ini.

Terbaru, putra bungsu dari almarhum Prof KH Ibrahim Hosen, ahli fikih dan fatwa yang juga pendiri dan Rektor Pertama Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) dan Institut Ilmu Alquran (IIQ), itu meluncurkan buku Saring sebelum Sharing. Melalui buku ini, Gus Nadir panggilan akrabnya, ingin menyampaikan sekaligus mengajak pembaca muslim untuk senantiasa berhati-hati dalam beragama dan bermuamalah kepada sesama. Di tengah kesibukannya roadshow bedah buku tersebut di beberapa kota, yaitu Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Jepara, Media Indonesia berkesempatan berbincang dengannya pada Senin (11/3). Berikut petikan wawancara tersebut.

Bagaimana Anda memandang Indonesia dari luar negeri dan apa yang paling menggelisahkan?

Kalau melihat Indonesia dari luar negeri dan yang jadi ukuran adalah media sosial, saya berani bilang Indonesia itu kacau balau karena itu yang kelihatan di medsos. Apalagi menjelang pilpres saat ini.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengandalkan medsos (jika dari luar negeri ingin tahu Indonesia), sempit sekali. Turunlah ke bawah, dialoglah dengan masyarakat. Ternyata Indonesia baik-baik terus.

Namun, yang paling menggelisahkan memang adalah budaya literasi kita yang rendah. Negara-negara besar, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, mengalami demam medsos. Tetapi mereka di-backup dengan budaya literasi yang sudah tinggi. Mereka tinggal ganti platform dari buku ke digital.

Di Tanah Air, jadi persoalan karena budaya literasi yang masih rendah. Gara-gara medsos, orang sudah tidak mau lagi banyak baca buku. Orang hanya mengandalkan news feed, informasi yang disuplai lewat smartphone mereka. Akibatnya, kualitas generasi selanjutnya akan menjadi sangat menurun.

Kemudian, saat ini, sering kali masyarakat begitu bergairah belajar Islam dan medsos adalah platform baru yang memenuhi kebutuhan mereka. Yang menjadi permasalahan, konten ajaran agama Islam yang disediakan di medsos banyak diisi orang-orang yang belajar agama secara instan. Yang banyak di medsos adalah penggalan terjemahan hadis atau ayat, tetapi tidak dijelaskan apa kandungannya, sebab-sebab ayat atau hadis tersebut turun, apa konteksnya nabi bicara begitu, ataupun pandangan para ulama tentang hadis itu. Akibatnya, orang belajar instan lewat satu meme dan kemudian sudah berani menghakimi praktik, ibadah orang lain yang berbeda. Ini berbahaya.

Kegelisahan saya yang lain, banyak berita hoaks dan ujaran kebencian atas nama agama walau kadang niatnya baik. Di zaman Rasulullah SAW saja sudah diminta melakukan tabayun, verifikasi. Kecepatan jempol sudah menghalangi kita melakukan verifikasi. Saya menulis buku (terbaru) Saring sebelum Sharing dalam rangka itu.

Lalu bagaimana Anda memandang kekacauan di medsos dengan musim pemilu ini?

Politik sebenarnya sesuatu yang mulia. Banyak sekali yang bisa dilakukan untuk kemaslahatan bangsa lewat jalur politik. Namun, pelajaran berdemokrasi di Indonesia ini baru sebentar jika dihitung dari 1998. Ibaratnya, jika masih bayi, baru belajar merangkak. Namun, proses ini tidak boleh di-skip, harus dijalani.

Oleh sebab itu, proses pendewasaan politik di Tanah Air harus terus berlangsung. Kita harus menjaga kewarasan bangsa, menjaga kebinekaan bangsa, menjaga konstitusi dan Pancasila karena itu pondasinya. Suatu saat, ketika politik dan demokrasi kita sudah sangat matang, kita tidak pusing siapa yang memimpin.

Yang terjadi saat ini, kita masih membongkar pasang rel, ada yang mau jadi khilafah dan macam-macam, masih ribut siapa masinisnya. Nanti kalau sudah dewasa politik kita, pemilu suatu hal yang biasa. Saya memandang proses yang terjadi saat ini secara optimistis bahwa kita dalam tahapan pendewasaan berdemokrasi.

Jika pendewasaan itu berwujud politisasi agama seperti sekarang ini bagaimana?

Sudah dari dulu, agama menjadi instrumen penting dalam kebangsaan kita. Indonesia bukanlah negara sekuler yang mengatakan, agama tidak punya peran di wilayah publik.

Bedanya dulu dengan sekarang. Dulu agama jadi inspirasi, nilai-nilai agama dipegang, dan diwujudkan dalam program-program kebijakan yang lebih maslahat. Yang terjadi saat ini adalah menjadikan agama sebagai politisasi.

Upaya-upaya politisasi itu yang harus kita lawan. Caranya (melawan) harus kembali ke budaya literasi. Kita tidak mungkin menyetop hoaks karena sudah diproduksi secara masal dan mesin oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu. Yang kita lakukan adalah memberikan counter wacana berupa konten yang menyediakan bacaan-bacaan bagi masyarakat.

Melawan hoaks tidak bisa dengan mengatakan, setop hoaks, antihoaks. Kita harus memproduksi konten-konten yang positif, konten yang benar atau sahih dalam ajaran agama sehingga masyarakat dengan kecerdasan dan kewarasan mereka sendiri akan bilang, tidak benar berita (hoaks) ini.

Saya (hoaks) berharap akan selesai sampai Pemilu 2019. Namun, kalau ini terus sampai setelah Pemilu 2019, ini akan jadi masalah. Padahal, negara lain sudah bicara industri 4.0, sedangkan kita masih ngurusin kecebong sama kampret.

Salah satu rekomendasi dari Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU adalah menghapus sebutan kafir kepada nonmuslim, bagaimana pendapat Anda?

Yang dibahas di munas itu sebenarnya dalam konteks kenegaraan, bukan dalam konteks akidah. Jadi, tidak ada itu mau mengamendemen ayat Alquran, mengganti istilah kafir dalam Alquran.

Yang ada dalam munas itu, bangsa ini berdasarkan konstitusi Pancasila dan UUD 45, apakah harus ada hak-hak khusus untuk mayoritas atau untuk minoritas? Jawabannya adalah tidak ada. Dalam hal konstitusi, yang ada adalah warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama. Sama-sama bayar pajak, sama-sama punya KTP. Kolom agama di KTP yang berbeda-beda tidak masalah. Semua orang berhak mendapat jaminan perlin­dungan untuk melaksanakan ibadah masing-masing, semua pihak berhak untuk berpendapat, semua pihak berhak untuk dipilih dan dipilih.

Selama di Australia, hal apa yang menurut Anda paling menarik dalam hal toleransi dan sebaiknya juga dite­rapkan di Indonesia?

Australia bukan berarti tidak punya masalah dalam hal toleransi. Di Australia juga ada masalah dalam hal toleransi. Bahkan, tidak ada bangsa yang bebas dari masalah, semua punya masalah.

Yang bisa dicontoh di Australia, kelompok-kelompok moderat berani bersuara lantang menjaga bangsa kita. Misalnya, ketika ada masjid mau didirikan, ada orang-orang yang menolak. Namun, justru yang melakukan demo tandingan dan membela hak-hak muslim untuk mendirikan masjid justru orang-orang Australia dan bukan beragama Islam. Ketika saya tanya kenapa membela? Mereka menjawab karena ada jaminan di dalam kons­ti­tusi. Justru dengan menolak berarti tidak menjalankan konstitusi.

Di Indonesia, kelompok moderat diam, takut untuk bersuara. Wacana-wacana direbut pihak-pihak garis keras. Saya berharap di Tanah Air, suara-suara moderat juga harus berani untuk bergerak. Pasti, di-bully, dituduh kafir, dituduh tidak Islami. Tapi (kelompok moderat) tetap harus bergerak kalau tidak kacau balau pasti (negara ini).

Sudjiwo Tedjo menyebut Anda agak condong ke salah satu paslon. Ia mengatakan, baiknya intelektual itu netral. Bagaimana penjelasan Anda?

Yang dimaksud intelektual netral bukan berarti tidak punya pilihan. Netral yang saya masuk adalah dia tidak bias, dia tetap profesional. Misalnya, seorang dokter ketika mengobati pasien, pilihan 01 atau 02 itu personal choice, itu hak asa­si. Tapi jangan sampai, personal choice itu membuat pelayanan dokter menjadi berbeda. Artinya, kalangan profesional boleh punya preferensi, tetapi jangan memengaruhi sikap profesional mereka.

Netral itu bukan golput, netral itu bukan tidak punya pilihan. Netral itu bukan kita diam saja. Silakan tetap bersuara. Tapi kalau yang dipilih punya kesalahan, ya tegur dong. Jangan hanya karena satu kubu, semua dibilang benar. Itu enggak benar. Jadi, netralitas tidak membuat kita buta, tidak mampu melihat kekurangan. (M-1)

Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/223497-nadirsyah-hosen-kelompok-moderat-harus-berani-bersuara?utm_source=dable