Panrita.id

Psikologi Haji

Oleh: Prof. Komaruddin Hidayat, Ph. D. (Profil)

Guru Besar Filsafat Agama dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2015

Mengapa untuk memanjatkan doa pada Tuhan saja mesti pergi jauh-jauh ke Makkah di Saudi Arabia dengan ongkos yang cenderung naik dari tahun ke tahun? Adakah kalau kita berdoa di Tanah Air, Tuhan tidak mendengarnya?

Tentu saja semua orang yang beriman meyakini bahwa di mana pun dan kapan pun kita berdoa, Tuhan pasti mendengarkan, baik berdoa dengan berbisik-bisik maupun dengan suara keras. Lebih dari itu, sesungguhnya untuk melakukan komunikasi dengan Tuhan tidak diperlukan ongkos.

Namun demikian, karena ajaran formal agama (Islam), menetapkan bahwa haji haruslah dilaksanakan di wilayah Tanah Suci Makkah dan waktunya pun telah ditentukan, maka dewasa ini setiap tahun sekitar dua juta umat Islam memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji, mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS.

Di samping menetapkan niat dalam hati, rangkaian ibadah haji secara lahiriah diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, lalu diganti dengan menggunakan pakaian ihram, yaitu kain putih yang amat sederhana. Secara psikologis, pakaian keseharian kita merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial. Ketika menghadap Tuhan, pakaian artifisial ini kita lepaskan.

Dalam kehidupan ini, mudah sekali orang mengidentikkan jati dirinya dengan pakaian, status sosial ataupun profesi yang disandangnya. Terlebih lagi jika status sosial yang disandangnya itu dianggap bergengsi dan mendatangkan banyak keuntungan materi.

Orang yang telah puluhan tahun menjabat sebagai lurah, misalnya, bisa jadi jabatan yang dipeluknya itu menjadi manunggal karena telah tertanam ke dalam ruang bawah sadarnya. Kesadaran kelas ini biasanya membias pada keluarga (istri, anak) dan lingkungan sekitarnya.

Pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang, secara psikologis potensial melahirkan kekuatan imperialisme. Sebuah kekuatan yang menjajah keakuan seseorang yang paling polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Bahwa pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa lepas atau dilepas. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah adalah kadar iman dan amal salehnya.

Untuk meraih kembali kesadaran eksistensial itu maka seorang Muslim diwajibkan pergi haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat self-centered (individual). Untuk ini ibadah haji diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, pakaian dalam arti yang lebih dalam dan luas.

Ketika seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru, yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas ketakwaannya.

Oleh karenanya, ibadah haji secara psikologis merupakan upacara “kematian” dalam rangka menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Yaitu matinya kesadaran palsu dan sifat-sifat negatif yang antara lain ditimbulkan oleh prestasi duniawi yang memabukkan dan cenderung merendahkan harkat kemanusiaannya.

Sumber:
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/09/21/nuzgwt368-psikologi-haji-1
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/09/21/nv0yzo368-psikologi-haji-2habis