Panrita.id

Haji dan Inklusivisme Islam

Oleh: Prof. Komaruddin Hidayat, Ph. D. (Profil)

Guru Besar Filsafat Agama dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2015

Seorang muslimah pejuang keadilan gender berkesempatan pergi haji. Banyak pengalaman yang mengesankan dan menarik diceritakan. Salah satunya adalah dia kaget melihat suasana yang egaliter dan membaur antara laki dan perempuan di Masjidil Haram, Makkah.

Maklum, gambaran yang berkembang, terutama di Barat, Islam itu mengungkung wanita. Dan itu ada benarnya jika melihat realitas sosial di lingkungan Arab Saudi. Namun dia menjadi kaget dan termenung, bukankah Masjidil Haram merupakan pusat Islam? Bukankah di sini, di sekitar Kabah ini, nilai-nilai dasar Islam dipraktikkan?

Dia mengamati hal-hal yang tampaknya sepele tetapi baginya sangat mendasar. Ketika di masjid, posisi laki-laki dan perempuan sama untuk mengakses ke Kabah. Posisi depan dan belakang menjadi hilang karena formasinya melingkar. Ketika thawaf, laki-laki dan perempuan juga berbaur. Ini kontradiksi dengan tradisi sebagian kawan kita yang memisahkan laki-laki dan perempuan ketika menghadiri pesta perkawinan.

Coba saja perhatikan ketika mereka tengah thawaf atau ingin mencium hajar aswad dan mendekat pada dinding Kabah, semua memiliki hak yang sama. Semakin dekat dengan Kabah yang merupakan pengikat dan simbol tauhid, umat Islam, entah laki maupun perempuan, terlepas apa mazhab, parpol dan kebangsaan mereka, semuanya rukun dan memiliki hak yang sama untuk mendekati Tuhan. Ibarat roda, Ka’bah adalah poros pusat yang mempertemukan ruji-ruji. Semakin ke pusat maka semakin dekat ruji-ruji itu, namun semakin bergerak ke luar maka jarak ruji-ruji semakin menjauh.

Beginilah kondisi psikologis umat Islam. Ketika mereka berada di Masjid Haram, Makkah, mendekat ke Kakbah, maka perbedaan dan permusuhan lenyap. Artinya, semakin seseorang mendekat pada Allah, semakin kuat imannya, mestinya semakin solid dan kokoh persaudarannya.

Siapapun yang pernah berhaji tahu dan mengalami, sekalipun jumlah jamaah mencapai sejuta lebih, petugas keamanannya sangat sedikit dibanding pertemuan dunia lain, misalnya olimpiade. Mengapa? Karena mereka lebih takut pada Allah ketimbang kepada petugas keamanan kalau membuat onar, tengkar dan lebih-lebih perkelahian. Allah berfirman, siapa yang tengkar dan berbuat dosa, maka hajinya batal.

Hanya satu baris firman Allah, sudah mampu mengendalikan perilaku sejuta lebih jamaah haji. Saya membayangkan, andaikan ketaatan pada Allah yang terjadi sewaktu haji juga dibawa pulang ke Tanah Air, betapa maju dan damainya Indonesia ini. Tak akan ada korupsi dan perkelahian, karena keduanya dimurkai Allah.

Itulah yang dimaksud dengan menggapai maqam Ibrahim dari ibadah haji. Yaitu tekad dan ketundukan total pada Allah, yang dilambangkan dengan kesediaan menyembelih putra kandungnya. Suatu ujian yang amat sangat berat, namun Ibrahim lulus.

Mestinya suasana persaudaraan, toleransi, kelapangan, kesucian dan kesederhanaan yang diraih di Makkah dibawa pulang ke Tanah Air, mengingat pesan dan adegan haji itu secara substansial pada hakikatnya adalah dalam kehidupan sehari-hari di Tanah Air. Entah itu pesan thawaf, wuquf, sa’i, melempar jumrah kesemuanya itu yang paling berat bukannya dilakukan di tanah Arab, melainkan di Tanah Air.

Sumber:
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/09/08/nucv7t368-haji-dan-inklusivisme-islam-1
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/09/09/nuerhz368-haji-dan-inklusivisme-islam-2