Panrita.id

Haji dari Zaman ke Zaman

Oleh: Prof. Komaruddin Hidayat, Ph. D. (Profil)

Guru Besar Filsafat Agama dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2015

Sebagai bagian dari rukun Islam yang kelima, pelaksanaan ibadah haji sudah berlangsung empat belas abad yang lalu. Jumlah umat Islam Indonesia yang sudah berhaji pun tak terhitung lagi banyaknya, dimulai sejak jauh sebelum kemerdekaan. Oleh karena itu umat Islam memiliki cerita dan ingatan kolektif bagaimana suka-duka pergi haji yang disampaikan secara turun-temurun.

Hanya saja, untuk anak-anak kota yang sudah terbiasa bepergian ke luar negeri, mungkin mereka tidak melihat langsung bagaimana masyarakat di desa mempersiapkan diri ketika hendak pergi haji. Juga betapa meriahnya ketika acara penyambutan kembali ke kampung halaman.

Bepergian haji dengan naik kapal laut dan pesawat terbang, masing-masing memiliki cerita suka-duka tersendiri. Konon dengan kapal laut itu sedikitnya memakan waktu tiga bulan sehingga menciptakan ikatan persahabatan yang akrab antarsesama rombongan. Terbayang, betapa berat dan bahayanya menyeberangi lautan, sehingga keluarga mesti siap mental ketika melepas rombongan keberangkatan calon haji.

Sekarang dengan pesawat terbang lain lagi ceritanya. Tidak semua orang yang pergi haji adalah orang kaya. Ada yang menabung belasan tahun. Bahkan pergi lintas pulau saja belum pernah. Bayangkan, bagaimana perasaan mereka ketika pergi jauh dengan menaiki pesawat terbang.

Di samping niat ibadah, perasaan rekreasi juga muncul. Pergi jauh naik pesawat, bersama teman-teman lama dan kenalan baru, semuanya sudah ada yang mengurus dan membimbing. Sungguh suatu peristiwa hidup yang sangat mengesankan.

Memasuki kota Makkah atau Madinah untuk yang pertama kalinya hati pasti tergetar. Tidak mampu menahan air mata, rasa syukur, kagum, tidak percaya, bahwa akhirnya akan tercapai juga untuk memenuhi rukun Islam yang kelima yang puluhan tahun didambakan.

Begitu masuk Masjidil Haram melihat Ka’bah, subhanallah….lidah sulit untuk mengekspressikan perasaan dan pikiran kecuali memuji Allah dengan disertai linangan air mata. Muncul perasaan bahwa Masjidil Haram adalah batas akhir dunia, namun juga belum masuk alam akhirat. Ada perasaan berada di wilayah perbatasaan antara dunia dan akhirat.

Dengan pakaian ihram, tak ubahnya kain kafan, seakan kita sudah jadi mayit memasuki orbit akhirat, namun juga sadar bahwa kita masih di dunia. Seseorang tidak membawa apa-apa, kecuali kain kafan dan rekaman amal perbuatannya selama hidup. Makanya berbahagialah mereka yang sepulang haji melakukan transformasi diri, sebuah pertobatan untuk menemukan kembali kefitriannya.Antara lain dengan melunasi semua utangnya: utang pada negara, masyarakat, keluarga dan pada Tuhan.

Haji tidak menjamin terhapusnya dosa-dosa kita, terlebih lagi dosa sosial. Berhaji tidak bisa menghapus perkara perdata dan pidana. Tetapi berhaji bisa menjadi momentum penyadaran diri untuk melakukan pertobatan dan perbaikan diri. Sekian banyak pesan moral haji realisasinya bukan di Makkah-Madinah, melainkan dalam panggung kehidupan sehari-hari setiba di Tanah Air.

Sumber:
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/08/20/ntbqpy368-haji-dari-zaman-ke-zaman-1
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/08/20/ntdpqb368-haji-dari-zaman-ke-zaman-2