Panrita.id

Cemara, “Pohon Kristen”?

Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)

Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Belakangan santer terdengar kabar kalau pohon-pohon cemara pantai yang ditanam di pinggir jalan di depan pagar kompleks masjid agung Meulaboh oleh Dinas Lingkungan Hidup Aceh Barat kemudian ditebang oleh pihak BKM (Badan Kemakmuran Masjid). Alasan penebangan pohon-pohon cemara itu, menurut ketua BKM Masjid Agung Meulaboh, konon karena dianggap menyerupai pohon natal.

Setelah mendemo, merusak, dan merobohkan patung-patung tertentu karena dianggap “mengganggu akidah” dan simbol kemusyrikan, kemudian mempermasalahkan dan mengharamkan “palang merah” dan segala hal (termasuk masjid) yang dianggap menyerupai salib, kini pohon cemara yang jadi sasaran karena dianggap sebagai “pohon Kristen”.

Dulu, pada waktu kekerasan meletus di Ambon, para milisi dan kelompok jihadis juga memburu anjing-anjing karena dianggap sebagai “hewan Kristen”.

Begitulah kejadiannya kalau beragama minus akal-pikiran sehat. Begitulah kejadiannya kalau umat beragama mengalami overdosis fanatisme. Begitulah kejadiannya kalau umat beragama “keloloden” atau “kerasukan” doktrin sempit agama. Maka, yang ada hanya emosi membara dan meluap-luap tanpa mengerti dan menyadari apa sebetulnya yang mereka emosikan.

Dimana nalar dan logikanya sebuah pohon ditebang hanya karena dianggap sebagai “pohon natal” atau “pohon Kristen”? Padahal kalau kita membaca sejarah pohon cemara (bahasa Inggrisnya: evergreen fir tree) yang hijau royo-royo yang dijadikan sebagai hiasan saat Natal di rumah-rumah khususnya baru terjadi di abad pertengahan di Eropa. Konon Martin Luther di abad ke-16 yang pertama kali membawa pohon cemara ke rumah saat Natal.

Sebelumnya, seperti pernah ditulis oleh sejarawan Belthasar Russow, pohon cemara dipakai oleh komunitas mana saja (baik komunitas agama maupun non-agama) dan menjadi simbol atau perlambang apa saja: harapan munculnya musim semi ataupun kehidupan yang penuh berkah dan optimisme. Orang-orang Romawi (pra-Kristen) dulu juga memakai pohon-pohon cemara sebagai hiasan di tempat-tempat ibadah mereka.

Jadi, jelasnya “Pohon Cemara” sebagai “Pohon Natal” adalah tradisi Kristen Eropa yang kemudian dibawa ke Amerika, Australia dan kawasan lain. Konteksnya adalah musim dingin bersalju itu musim yang membosankan sekali. Kawasan jadi tampak putih semua. Jadi perlu hijau-hijauan supaya seger. Tidak ada relasinya dengan ajaran normatif kekristenan. Karena itu umat Kristen pribumi Arab dan Timur Tengah (kecuali di kawasan Libanon) dalam sejarahnya tidak mengenal konsep “pohon natal” ini. Baru belakangan cemara diperkenalkan oleh umat Kristen migran ke kawasan Arab dan Timur Tengah.

Fungsi pohon cemara di Eropa itu kurang lebih sama dengan pohon kurma di Arab. Jika pohon cemara tahan dingin, pohon kurma tahan panas. Tapi keduanya bisa untuk “menghijaukan” suasana “gurun salju” dan “gurun pasir” yang hambar dan “gersang”.

Tetapi cemara tetap saja cemara. Seperti pohon-pohon lainnya, ia tak bertuhan dan tak beragama. Cemara tetap saja “pohon ateis” atau “pohon agnostik” atau “pohon sekuler”, meskipun kalian klaim setengah mati sebagai “pohon Kristen.” Karena tak bertuhan dan tak beragama, maka pohon cemara (seperti pohon jengkol, kurma, pete, jambu mete, dlsb) boleh dipakai oleh siapa saja dan digunakan untuk apa saja.

Mungkin sejumlah umat Islam mengira dengan merobohkan patung, membunuh anjing, mengharamkan palang merah, atau menebang pohon cemara sebagai tindakan jihad membela kemurnian agama Islam. Padahal sejatinya mereka itu membela kedunguan, keudikan, dan kekonyolan mereka sendiri. Tidak lebih, tidak kurang.

Jika cemara danggap sebagai “pohon natal” sehingga harus ditebang, kenapa pohon kelapa tidak dihabisin dan ditebang sekalian karena janur-janurnya dipakai upacara adat umat Hindu di Bali?

Kenapa hanya anjing yang dimusuhi? Kenapa onta tidak sekalian dimusnahkan karena selama beradab-abad binatang berpunuk ini (baik yang berpunuk satu maupun berpunuk dua) dipakai oleh (selain suku-suku Arab Baduin) “suku-suku kafir” di Afrika, China, Mongol, dan Australia?

Lebih lanjut, kenapa jenggot kalian tidak dipangkas sekalian karena menyerupai umat Kristen Ortodoks (baik Ortodoks Timur maupun Ortodoks Barat seperti Amish dan Old Order Mennonite), umat Yahudi Heredi dan Yahudi Yaman dan Yahudi Etiopia, dan juga umat sekuler seperti Karl Marx dan teman-temannya yang juga berjenggot ria?

Kenapa memakai cadar? Bukankah itu meyerupai kaum Yahudi Heredi Burqa dan Yahudi Yaman dan umat Kristen Koptik klasik.

Sumber: https://web.facebook.com/Bungmanto/posts/10159955017070523