Panrita.id

Bid’ah, Kesempurnaan Islam dan Hukum Perayaan Maulid

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Ada yang berkata bahwa Islam sudah sempurna berdasarkan QS. al-Ma’idah/5: 3. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya bid’ah hasanah. Semua bid’ah dhalalah (sesat) berdasarkan hadis Nabi saw. Benarkah tidak ada bid’ah hasanah? Lalu bagaimana dengan peringatan maulid?

Ayat 3 surah al-Ma’idah, antara lain terjemahannya berbunyi “Hari ini telah kusempurnakan agamamu, telah Kucukupkan nikmat-Ku untukmu dan telah Kuridhai Islam sebagai agama. Ayat tersebut turun pada 9 Dzulhijjah tahun XII dan kenabian di Arafah, saat Rasul saw. melaksanakan haji wada’ (perpisahan). Sesudah turunnya ayat tersebut, Rasul saw. masih hidup sekitar  tiga bulan (Beliau wafat pada 12 Rabi’ul Awwal). Dalam tiga bulan terakhir itu, beliau masih menerima banyak wahyu al-Qur’an. Yang terakhit beliau terima adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah/2: 281. Ini membuktikan bahwa kesempurnaan yang dimaksud bukan berarti tidak adanya pengembangan makna dan penjabaran ajaran setelah “penyempurnaan” itu.

Jika demikian, kesempurnaan yang dimaksud adalah “kesempurnaan prinsip-prinsipnya”. Adapun perinciannya, maka ia dapat dijabarkan dari prinsip-prinsip tersebut. Salah satu prinsip ajaran al-Qur’an adalah “kewajiban mengikuti penjelasan Rasul (Muhammad saw)”[QS. an-Nisa’/4: 59], baik penjelasan itu dalam bentuk ucapan dan perbuatan, maupun pembenaran. Al-Qur’an juga membenarkan analogi (qiyas). Dari prinsip inilah tertampung banyak sekali hal-hal baru yang bermunculan setiap saat dalam kehidupan manusia. Tanpa qiyas, maka tidak mungkin persoalan baru itu dapat ditetapkan hukumnya atau diketahui bagaimana pandangan agama terhadapnya. Padahal semua muslim berpendapat bahwa ajaran Islam memberikan tuntunan dan selalu sesuai untuk setiap waktu dan tempat.

Setiap yang baru, yang diada-adakan, dan belum ada contoh sebelumnya itulah disebut bid’ah. Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh al-Qur’an untuk menyatakan, “Saya bukan bid’ah dari rasul-rasul”(QS al-Ahqaf/46: 9) dalam arti bahwa beliau tidak mengada-ada dengan menyatakan dirinya sebagai rasul dan beliau bukan orang pertama yang menjadi rasul; banyak rasul sebelum beliau. Tentu saja ada hal-hal baru dalam kehidupan manusia yang terus berkembang. Semua ity adalah bid’ah, walaupun harus diingat bahwa hal-hal yang baru dan yang belum pernah ada pada masa Rasul itu, ada yang baik dan ada yang buruk.

Dari sini, bid’ah perlu dibagi menjadi bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang buruk). Bahkan  sementara ulama membaginya kepada bid’ah waajibah, yakni sesuatu yang baru tetapi sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan agama serta termasuk dalam kaidah-kaidahnya. Al-Qur’an tidak dibukukan pada zaman Nabi saw., namun para sahabat menyepakati pembukuannya karena pembukuan itu adalah cara pemeliharaannya dan, tanpa itu, al-Qur’an dapat hilang.

Ada lagi bid’ah manduubah (yang dianjurkan), seperti shalat tarawih berjamaah. Tarawih berjamaah tidak diamalkan oleh Rasul saw., namun karena shaat berjamaah sesuai dengan kaidah-kaidah sunnah, maka ia menjadi bid’ah yang dianjurkan. Demikian seterusnya. Jadi, ada bid’ah yang makruh dan ada juga yang haram. Yang makruh dan haram adalah mengada-ada atas nama agama, berupa ibadah  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan “Semua bid’ah sesat, dan setiap yang sesat maka di nerakalah  (tempat yang wajar bagi pelakunya”,), tentu saja yang dimaksud adalah bukan semua bid’ah.

Atas dasar itu pula para ulama meumuskan: “Dalam hal ‘ibadah mahdhah (murni ritual), segala sesuatu tidak boleh kecuali apa yang dicontohkan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan dalam soal mu’amalah (selain ibadah murni ritual), segala sesuatunya boleh selama tidak ada larangan.”

Dari kaidah inilah kita dapat berkata bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad saw. dapat dibenarkan karena ia bukanlah suatu ibadah ritual, melainkan merupakan salah satu cara untuk mengenang Rasulullah saw. dan memperlajari ajaran Islam, hal mana sesuai dengan kaidah-kaidah keagamaan. Bahkan Nabi sendiri, dengan cara beliau, merayakan hari lahirnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau ditanya tentang mengapa beliau berpuasa pada hari senin (dan kamis) . Beliau menjawab, “itulah hari ketika aku dilahirkan”.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui. h. 828-831.