Panrita.id

Aneka Ragam “Fatwa Rokok” dalam Islam

Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Sudah cukup lama merokok diperdebatkan dalam Islam. Para ulama dan ormas keislaman memang berbeda pendapat tentang aktivitas merokok atas jenis rokok apapun: rokok kretek, non-kretek, maupun aneka produk “rokok alternatif”. Ada yang mengharamkan, ada yang menghalalkan, ada pula yang memakruhkan (yakni setengah haram dan halal).

Di antara ormas Islam yang belakangan gencar mengaramkan rokok adalah Muhammadiyah. Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah tahun 2010 dengan tegas mengharamkan aktivitas merokok.

Ada enam alasan yang dijadikan sebagai dasar fatwa haram merokok, antara lain, merokok adalah perbuatan buruk yang bisa menimbulkan dampak negatif, dianggap membayakan kesehatan tubuh, mengandung zat adiktif yang berbahaya dan beracun, bertentangan dengan tujuan dasar syari’at, dlsb.

Bukan hanya ormas Muhammadiyah saja yang mengharamkan, sejumlah ulama juga turut mengharamkan merokok. Sebut saja Syeikh asy-Syihab al-Qalyubi, Syeikh Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, Al-Muhaqqiq al-Bujairimi, Syeikh Hasan asy-Syaranbila, Syeikh Abdullah ibn Ahmad Basudan, Syeikh Ibnu Hajar, Syeikh Abdullah ibn Alwi al-Haddad, dan Syeikh Muhammad Fiqhi al-‘Aini.

***

Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan status fatwa makruh dan haram atas merokok (khilaf ma baina al-makruh wa al-haram). Menurut MUI, status hukum merokok itu antara makruh dan haram. Merokok menjadi haram, menurut MUI, kalau dilakukan oleh anak-anak, ibu hamil, atau dilakukan di tempat-tempat umum. Selebihnya hukumnya makruh, yakni dilarang tapi kalaupun dilakukan tidak dosa.

Para ulama yang memakruhkan rokok, antara lain, Imam al-Bajuri, Syeikh Abd al-Hamid, Imam asy-Syarqawi, Imam al-Kurdi, Al-Jamal ar-Ramli, Muhammad Sa’id Babashil, Mar’a al-Karmi, dan Syeikh Muhammad ibn Musa an-Nasawi.

Sementara itu PBNU, melalui Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM)-nya, memberi label mubah (halal) dan makruh atas aktivitas merokok, tergantung pada situasi dan kondisi.

Menurut LBM PBNU, hukum asal merokok adalah “mubah”, yaitu boleh alias halalan toyyiban karena rokok pada hakikatnya adalah bukan benda yang memabukkan atau memberi madarat dan mafsadat. Merokok bahkan menjadi halal dan setengah penting dan dianjurkan, kalau dengan merokok bisa menunjang produktivitas, mendorong hal-hal positif, dan menghalau kegalauan.

Hukum merokok menjadi “makruh” kalau dengan merokok bisa menimbulkan madarat kecil yang tidak signifikan dan tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar atau legitimasi pengharaman merokok. Menurut Kiai Said Aqiel Siroj, hukum merokok bisa juga berubah menjadi “haram” kalau merokok bisa menimbulkan bahaya, efek nigatif, dan dampak buruk bagi diri dan lainnya.

Berkut ini, antara lain, daftar ulama yang menghalalkan rokok dan merokok: Al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi, Al-Babily, Al-Barmawi, Al Fadhil Mas’ud ibn Hasan al-Qanawi asy-Syafi’i, Syeikh as-Sulthan al-Halab, Al-‘Alamah asy-Syabramalis, Syeikh ‘Ali al-Ajhuriy, Ar-Rusyd, Syeikh Ahmad al-Maliki, Syeikh Mar’a al-Muqaddas al-Hanbali, Al-‘Allamah Mas’ud ibn Husain al-Fatawi asy-Syafi’i, Syeikh Abdurrauf al-Manawi asy-Syafi’i, dan Syeikh Ismail as-Sindiyah.

Syeikh Ihsan Jampes, Kediri, (1901-1952), seorang kiai masyhur tempo dulu, juga menghalalkan merokok. Beliau dianggap sebagai salah satu kiai supporter berat rokok dan merokok. Kiai Ihsan pernah menulis sebuah kitab khusus tentang rokok dan kopi.

***

Apapun hasil fatwa hukum merokok, yang jelas semua fatwa itu tidak ada yang berbasis dari Al-Qur’an dan Hadis karena memang tidak ada dalil-dalil naqli yang mengatur tentang rokok dan merokok. Semua bersumber dari ijtihad atau pendapat pemikiran yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasionalitas tertentu.

Para ulama berpendapat, seperti disebutkan dalam buku “Fikih Tembakau Alternatif” (Lakpesdam NU), rokok tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad, dan oleh karena itu rokok tidak bisa dihukumi. Hanya dampaknya saja yang bisa dihukumi.

Meskipun fatwa-fatwa berlainan tentang status hukum merokok. Fatwa tetaplah sebuah fatwa atau “pendapat hukum” yang tidak mengikat umat Islam. Dengan kata lain, umat Islam bebas-merdeka untuk mengikuti atau mengabaikan fatwa-fatwa rokok tersebut.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Sumber: https://web.facebook.com/Bungmanto/posts/10161068331570523