Panrita.id

Memahami Tafsir QS. Al-Nur/24: 31 [Batas Aurat Wanita]

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

 

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَزِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَايُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّأَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْنِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ وَلَا يَضْرِبْنَبِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾

 

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menahan  pandangan mereka, dan kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS. An-Nur[24]: 31)

 

Kalimat “kecuali apa yang tampak darinya” dalam ayat di atas menjadi pembahasan panjang lebar para ulama. Secara redaksional, kalimat itu kurang lurus, karena “apa yang tampak” itu tentu telah kelihatan, sehingga tidak ada lagi artinya larangan tersebut.

 

Dari sini, lahir perbedaan pendapat ulama. Ada yang memahaminya sebagai larangan menampakkan anggota badan yang menghiasi diri wanita kecuali yang tampak secara terpaksa, seperti bila ditiup angin. Ada lagi yang memahaminya sebagai kecuali yang biasa tampak. Ayat ini tidak menentukan apa yang dimaksud dengan yang biasa tampak itu.

 

Akan tetapi, banyak ulama yang merujuk pada pakaian yang digunakan masyarakat Arab ketika turunnya ayat ini, kemudian menyimpulkan bahwa yang biasa tampak ketika itu adalah wajah dan telapak tangan. Dengan demikian, hanya wajah dan telapak tangan yang boleh terbuka, sedangkan selain keduanya harus ditutup/tidak ditampakkan.

 

Pakar Tafsir, Al-Qurthubi, menulis dalam tafsirnya bahwa Sa’id bin Jubair, ‘Atha’ dan Al-Auza’i berpendapat bahwa yang boleh tampak pada wanita hanya wajah dan kedua telapak tangan serta busana yang dipakainya.

 

Sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas membolehkan juga celak mata, gelang, dan setengah dari lengan wanita, yang dalam kebiasaan masyarakat Arab masa lampau sering dihiasi dengan pacar.

 

Syekh Muhammad ‘Ali Assais, Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kedua kaki (bukan betis) wanita bukanlah aurat. Menurutnya, menutupnya lebih menyulitkan dibandingkan dengan menutup tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang ketika itu sering berjalan tanpa alas kaki.

 

Pakar hukum, Abu Yusuf, bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita (setengah lengan) bukanlah aurat yang harus ditutup karena ulama itu menilai sangat menyulitkan jika ia harus ditutup. Memang, Islam memberi keringanan bila hukum terjadi sesuatu yang sangat menyulitkan.

 

Ayat al-Nur yang telah dikemukakan tadi menyebut tujuh kelompok selain suami yang dikecualikan dari larangan memperlihatkan hiasan. Kesemuanya merupakan mahram yang tidak boleh dikawini. Oleh karena itu, ulama memasukkan pula dalam kategori mereka paman (saudara atau bapak) demikian juga saudara sesusuan, kakek atas, anak cucu ke bawah. Yang dimaksud dengan saudara lelaki adalah saudara sekandung, saudara tiri, atau saudara sesusuan. Demikian, Wallahu a’lam.

 

Sumber: M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab: 1001 Soal KeIslaman yang Patut anda Ketahui. Cet.I; Jakarta: Lentera Hati, 2008, h. 397-398.