Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Kiyai yang terhormat.
Di kampung kami, keurukunan hidup antar umat beragama berjalan harmonis. Tapi baru-baru ini timbul sedikit masalah. Seorang warga yang kebetulan WNI keturunan Cina penganut Konghuchu, mengundang warga muslim untuk berdoa bersama di rumahnya dalam rangka memohon keselamatan atas rencana renovasi rumahnya.
Sebagian warga muslim datang memenuhi undangan itu. Setelah do’a bersama layaknya selamatan cara Islam, mereka mmbawa berkat. Namun sebagian warga muslim lainnya tidak berkenan hadir dengan alasan do’a itu ibadah yang tidak boleh dicampuradukkan antar penganut berbeda agama.
Pertanyaan kami, bagaimana sebenarnya tuntunan agama Islam mengenai hal ini? Bolehkah warga muslim berdo’a bersama di rumah warga non muslim?
Jawaban dan bimbingan dari Pak Kiyai sangat kami nantikan.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Makmun Rauf
Jakarta Utara
Jawaban:
Wa’alaikumsalam wr.wb.
Bapak Makmun Rauf yang baik.
Ada tiga hal yang Bapak tanyakan. Pertama, hukum berdo’a dan beribadah di tempat orang non muslim. Perlu diketahui, bahwa status muslim dan kafir hanya berkaitan dengan manusia. Binatang, tanaman, dan benda mati tidak dapat dikatakan muslim atau kafir. Sehingga tidak ada istilah bangunan muslim atau bangunan kafir. Yang ada istilah bangunan milik orang Islam atau bangunan milik orang kafir.
Berdo’a dan beribadah dimana saja, termasuk di kediaman non muslim hukumnya boleh, selama tempat itu suci; dan selama do’a/ibadah itu ditujukan kepada Allah Swt serta sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw. dalam Hadis riwayat al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah, Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa bumi telah dijadikan sebagai masjid (tempat sujud) dan mensucikan.
Memang ada beberapa tempat yang tidak boleh dijadikan tempat shalat, seperti kuburan, kamar mandi, tempat sampah, tempat jagal hewan, atau kandang unta, seperti disebutkan dalam Hadis riwayat Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya bab al-Mawadhi’ al-Lati Tukrahu Fiha al-Shalah (Tempat-tempat yang dimakruhkan shalat di dalamnya). Namun, tampaknya keharaman ini lebih dikarenakan najis yang ada di dalamnya.
Kedua, hukum mendo’akan orang non muslim. Dalam masalah ini, saya membagi non muslim dalam dua kategori; non muslim yang masih hidup dan non muslim yang telah mati. Hukum mendo’akan non muslim yang masih hidup diperbolehkan selama bukan istighfar (minta ampunan dosa) dan istisyfa’ (minta syafa’at). Misalnya do’a agar ia diberikan hidayah, kesehatan, kelancaran usaha, dan kenyamanan tempat tinggal. Semua itu boleh. Hadis riwayat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya bab al-Du’a li al-Musyrikin (Mendoakan Orang-orang Musyrik) dari Abu Hurairah menjelaskan Kabilah Daus yang telah mendurhakai Nabi Muhammad Saw. Para sahabat mengira, Nabi Muhammad Saw akan berdo’a untuk melaknat mereka. Tapi beliau justru berdo’a agar mereka mendapat hidayah dari Allah Swt.
Ini berbeda dengan hukum mendo’akan ampunan dan syafa’at bagai non-muslim, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, yang hukumnya haram. Karena kemusyrikan dan kekufuran merupakan dosa yang tidak diampuni (QS. al-Nisa: 48 dan 116 dan QS. Muhammad: 34). Allah Swt mengampuni semua dosa kecuali kemusyrikan dan kekufuran (QS. al-Zumar: 53 QS. al-Munafiqun: 1-6). Nabi Ibrahim pernah memohonkan ampunan untuk ayahnya yang kafir (QS. al-Mumtahanah: 4), tapi permohonan itu tidak diterima dan nabi Ibrahim berlepas diri hal itu (QS. al-Taubah: 114).
Dalam QS. al-Taubah ayat 113, Allah Swt menyatakan bahwa Rasulullah dan orang-orang yang beriman tidak pantas memohonkan ampunan untuk orang-orang musyrik walaupun mereka sanak kerabat. Dan secara tegas, permohonan ampunan ini dilarang Allah Swt dalam QS al-Taubah ayat 84. Ini karena orang-orang non-Muslim tidak layak mendapat ampunan dan syafa’at.
Ketiga, memakan makanan non muslim. Dalam QS. al-Bayyinah ayat 6 tersurat pembagian non muslim menjadi Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) dan musyrik (paganis). Pembagian ini berpengaruh terhadap status hukum makanan yang berasal dari non muslim. Dalam QS. al-Maidah ayat 5 diterangkan, hukum makanan yang berasal dari Ahli Kitab itu halal. Adapun makanan orang musyrik, itu hukumnya haram. Para ulama menafsiri makanan dalam kontek ini sebagai sembelihan.
Adapun makanan yang bukan hewan sembelihan, selama tidak mengandung unsur yang diharamkan seperti daging babi, khamr (termasuk rum dalam kue), maka hukumnya halal, baik yang berasal dari Ahli Kitab maupun musyrik.
Menghadiri selamatan rumah tetangga anda tidak haram, selama tidak mengandung unsur syirik. Menurut keterangan anda, selamatan itu berupa do’a bersama dengan cara Islam. Adapun status makanan berkat yang anda terima itu, jika anda yakin kehalalannya, karena ia membeli ayam di kedai orang muslim, maka silahkan anda menikmatinya. Namun jika anda ragu-ragu, maka baiknya anda tidak memakannya, sesuai sabda Nabi Muhammad Saw dalam Hadis riwayat al-Hakim dan Ibn Hibban dari al-Hasan bin Ali, Nabi Saw bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
Artinya:
Tinggalkanlah yang membuatmu ragu, dan ambillah yang tidak kamu ragukan.
Demikian jawaban kami. Mudah-mudahan anda memahaminya.
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Edisi 2 (Cet. V; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 171-174.