Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Kami mengamati ban yak terdapat kesalahan pada pendapat, paradigma, perilaku, sikap dan rumusan hukum mayoritas mereka yang menamakan diri salaft itu. Kelima unsur yang kami sebutkan di atas hams menjadi catatan bagi mereka yang ingin melihat aliran ini secara objektif.
Di waktu yang sama, mereka juga membangun sebuah pemikiran yang saling bertolak-belakang. Pemikiran kontradiktif ini tercermin dalam tiga hal berikut.
Pertama; bahwa semua negara di dunia ini membenci Islam. Mereka semua selalu menyatakan perang untuk menghabisi Islam. Upaya ini direalisasikan melalui tiga sayap aliran perusak, yaitu Zionisme (Yahudi), kaum misionaris dan kaum sekuler. Ada banyak konspirasi hitam yang ditujukan kepada kaum muslimin, yang kadang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tapi banyak pula yang secara terbuka. Banyak invasi yang dilakukan pihak asing unhlk melumat kita (kaum muslimin), sehingga kita bosan menghadang mereka, karena tidak mempunyai kekuatan yang seimbang.
Kedua; mewajibkan perlawanan terhadap asing hingga kita benar-benar bisa membalas dendam atas penderitaan yang dialami negara-negara Islam di berbagai tempat. Wujud pertentangan itu diimplementasikan dalam dua bentuk: (1) membunuh orang-orang kafir yang terlaknat, dan (2) membunuh orang-orang murtad dan fasik.
Yang dimaksud dengan orang kafir laknat menurut mereka adalah semua orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan yang dimaksud dengan orang murtad dan perusak agama adalah orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan Allah Ta’ala dan bertentangan dengan pemikiran mereka.
Dari sederetan kasus yang kita amati, terdapat banyak sekali pemalsuan, penipuan dan pembodohan, namun mereka dapat menarik banyak pengikut dari kalangan muda.
Ketiga; pemikiran mereka di atas dimaksudkan sebagai pola pikir yang sekedar mudah diterapkan. Artinya, pemikiran yang menurut mereka tidak mengikat dan tidak bisa diterapkan melalui sebuah organisasi atau yayasan yang mapan. Mereka membuat definisi-definisi sederhana dalam pemahaman agama dan gerakan, sehingga mudah diaplikasikan. Orang yang mendengamya akan mudah menerima. Kemudian, mereka bisa mengerjakannya sesuai kemampuan tanpa perlu perintah, komando, bahkan pemimpin.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemikiran semacam ini dapat menimbulkan kekacauan dalam skala besar. Doktrin mereka menjadi beban yang sangat berat bagi kemajuan kaum muslimin, baik dalam soal reformasi dakwah dan agama maupun pengembangan lain yang dibutuhkan dunia Islam. Fanatisme yang mereka kembangkan mudah menjadi embrio bagi meruyaknya pemikiran ekstrim (keras). Di sisi lain, akan menjadi corong bagi kalangan konservatif untuk menebar kebencian terhadap kelompok asing, mengajak masyarakat yang lain untuk menjauhi hiruk-pikuk dunia dan menyendiri ke alam bawah sadar mereka. Akibat kepincangan itu, umumnya mereka tidak mampu Iagi berinteraksi dengan dirinya sendiri, apalagi orang yang berada di sekitamya.
Pemikiran ekstrim ini berbuhul erat dengan beberapa kriteri a khusus yang dapat menimbulkan kekacauan, sebagaimana kami jelaskan di atas. Maka sudah merupakan kewajiban bagi kita semua untuk melawan pemikiran ini, dan menggunakan segala upaya agar bisa mengeluarkan mereka dari proses pengasingan diri. Sebab, fenomena ini tidak hanya membahayakan diri mereka, generasi umat, masyarakat, tapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya.
Pemikiran tersebut ingin mengorek-ngorek berbagai masalah kecil di masa lalu ke zaman kita sekarang. Akibatnya, Anda akan melihat perkara itu kemudian meledak menjadi kasus-kasus besar yang justru memisahkan si pelaku dengan masyarakat sekitarnya. Mayoritas perkara tersebut berkaitan dengan adat-istiadat, kebiasaan, tradisi, cara berpakaian dan etika. Mulai dari cara makan, minum, buang air besar hingga memakai minyak wangi, semua akan turut dipermasalahkan.
Dampak dari keinginan mereka di atas bukan hanya sekedar masalah itu meledak dan menjadi perkara besar, namun lebih dari itu. Mereka akan membela dan mempertahankannya mati-matian, lalu mengukuhkannya sebagai barometer untuk menerima atau menolak seseorang. Artinya, barang siapa yang mau mempraktekkan perkara-perkara itu sesuai dengan pendapat mereka, maka orang itu termasuk dari golongan mereka. Sebaliknya, barang siapa yang menolak mengamalkannya sesuai pemahaman mereka, maka orang itu akan dianggap musuh, bahkan dihina dan diremehkan. Mereka tidak segan-segan hidup dalam dunia asumsi mereka, sehingga semakin mendorong mereka mengasingkan diri dari orang sekitamya.
Semua itu akan mengubah jati dirinya sebagai manusia, dari yang seharusnya bersosialisasi dengan masyarakat menjadi manusia yang memandang wajib melakukan aksi bunuh diri dengan cara melilitkan bahan peledak di tubuhnya lalu meledakkannya di tengah-tengah masyarakat yang ia anggap sebagai musuh. Ia juga menganggap kehidupan di dunia tak ada lagi artinya, karena ia berani menentang arus aliran-aliran yang lain. Mereka juga beranggapan, adalah keharusan untuk menambah keturunan dan memenuhi bumi ini dengan teriak anak-anak mereka. Semua itu dimaksudkan sebagai upaya untuk melawan penduduk bumi yang dipadati oleh musuh-musuh mereka.
Sekarang mereka merasa sendirian, karena dari segi jumlah memang sedikit. Akan tetapi, mereka optimis bakal mampu menyingkirkan keburukan yang berserakan di sekitar mereka. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mencapai target tersebut dengan cara menggenjot keturunan. Doktrin pemikiran ini begitu membius para pengikutnya sehingga akan melahirkan ledakan penduduk, namun tertinggal taraf hidupnya.
Di antara karakter pernahaman ini adalah penarikan diri secara ekstrem dari masyarakat. Mereka menilai kehidupan manusia dewasa ini telah melenceng dari jalur yang benar, maka wajib bagi kita untuk menyucikan diri dari semua itu. Penyucian diri itu dilakukan dengan menjauhi unsur-unsur kehidupan itu, seperti seni, sastra, bahkan partisipasi sosial, sampai mereka menemukan pola kehidupan yang sesuai dengan pemahaman mereka. Untuk itu mereka menganggap keluar dari proses kehidupan ini jauh lebih baik dan mulia, sekalipun sebetulnya tak mampu melakukannya secara utuh.
Oleh karena itu, kita jumpai pengikut pemahaman ini sering kontradiktif dalam menyikapi sesuatu. Bahkan kontradiksi itu kadang amat keras. Di saat tertentu ia akan melakukan suatu hal, namun di lain kesempatan ia akan melarang orang lain melakukannya. Semua itu, tidak lepas dari sikap ‘mempertuhan’ hawa nafsu, hingga menyalahi nalar ilmiah seseorang, bahkan menggilas nalar rasionalitas yang telah dikenal sebagai pilar kehidupan di sebuah masyarakat.
Berangkat dari ini dapat disimpulkan bahwa mereka itu sangat sulit untuk menerima pemikiran atau pemahaman yang sehat. Dari sini pula, kami melihat mereka seperti seorang pemberontak yang menutup diri, dan tidak punya kepercayaan kepada ulama. Mereka hanya percaya kepada sebuah kelompok kecil, yang mereka anggap sesuai dengan kehendak dan pemikiran mereka. Orang seperti ini tidak akan pernah bisa menerima pesan pengetahuan apapun dari masyarakat lain.
Karakter lain yang menjadikan mereka berbeda dengan kelompok lain adalah nalar black conspiration (konspirasi hitam). Mereka selalu dihinggapi anggapan adanya konspirasi hitam terhadap mereka dari masyarakat sekitar. Mereka terhasut bahwa masyarakat sekitar berusaha menyingkirkan mereka dari muka bumi ini. Dan itu membuat mereka berapi-api untuk menjadi musuh bagi orang-orang di sekitar mereka.
Ada pun ciri pemikiran mereka yang lain adalah, menonjolkan kesombongan dan ujub. Implikasinya, mereka meremehkan berbagai pendapat yang bertentangan dengan mereka. Sesuatu yang zhanni (belum pasti) bisa berubah menjadi sesuatu yang qath’i (pasti) dalam pandangan mereka. Sesuatu yang masih dalam pengamatan, menurut mereka bisa saja menjadi suatu ketentuan pokok yang tidak terbantahkan sehingga membuat skala prioritas menjadi berantakan. Perkara yang sifatnya sekunder mereka dahulukan daripada perkara yang sifatnya primer. Kepentingan pribadi didahulukan daripada kepentingan umum. Sesuatu yang masih dalam proses wacana didahulukan daripada sesuatu yang sudah nyata. Semua ini tentu sangat berimplikasi negatif terhadap sebuah masyarakat yang majemuk.
Karakter mereka lainnya adalah senantiasa menentang segala bentuk pembaharuan (tajdid) di dalam agama, dengan alasan bahwa setiap yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu pasti masuk neraka. Dalam membahas suatu permasalahan, mereka enggan untuk menganalisa kandungan inti permasalahan tersebut. Walhasil, mereka hanya mengamati kulit luarnya saja. Mereka sulit melepaskan hawa nafsu ketika berinteraksi dengan nash-nash AI-Qur ‘an maupun sunnah. Mereka juga mempersempit ruang gerak kaum muslimin dengan memperluas ‘daerah haram’. Mereka keluar dari aturan yang selama ini berlaku di tengah masyarakat dengan memuliakan para ulama, beralih kepada aturan yang asing dan aneh.
Dalam ilmu fikih, mereka mengamalkan apa yang menjadi hasil ijtihad sendiri. Sedangkan dalam akidah, mereka bertaklid kepada para pemimpin mereka. Mereka muliakan orang yang sebetulnya belum layak dianggap sebagai ulama. Di waktu yang sama, mereka justru mendiskreditkan para ulama (yang bertentangan dengan mereka). Orang-orang itu ‘lancang’ mengeluarkan lebih dari seratus fatwa yang memfasikkan dan mengkafirkan orang banyak. Bahkan, mereka juga memprovokasi orang lain untuk memarjinalkan dan memerangi orang-orang yang mereka cap sebagai fasik dan kafir.
Nah, sekarang tiba saatnya kita dituntut untuk melawan pemikiran atau pemahaman tersebut, demi menyelamatkan masyarakat kita. Caranya adalah dengan kembali kepada manhaj (metode ajaran) Al-Azhar yang selama berabad-abad telah menegakan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini bila dibandingkan dengan aliran maupun mazhab yang lain dalam konteks akidah, maka posisinya jauh lebih moderat. Sebab, pengikutnya mengakui semua sahabat Nabi saw., tidak seperti aliran Syiah yang mengingkari banyak sahabat Nabi kecuali Ali ra. dan sejumlah sahabat yang berpihak kepadanya.
Kedudukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mazhab-mazhab akidah itu seperti halnya kedudukan Islam di antara agama-agama lainnya. Sedangkan manhaj Al-Azhar dalam bidang akidah adalah mengajarkan paham Asy’ariyah, yaitu sebuah paham akidah yang diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di dunia ini. Dalam bidang fikih, Al-Azhar mengajarkan Fiqih ala Madzahibul Arba’ah (Fikih Imam Mazhab yang Empat), yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Selain itu, tidak mengingkari adanya ijtihad individu atau golongan, seperti Ibadhiyah, Zhahiriyah, Imamiyah, dan Zaidiyah. Kalau kita membuat literatur fikih maka bisa menemukakan lebih dari 80 mazhab, bahkan sampai mengutip langsung dari Al-Qur’an atau sunnah beberapa dalil yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Manhaj moderat Al-Azhar berusaha untuk merealisasikan maqaashid al-‘ulya (tujuan-tujuan yang utama), yaitu perlindungan terhadap jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta. Kelima maqaashid di atas merupakan representasi dari ketentuan umum dan representasi dari hak-hak manusia. ltu juga merupakan representasi dari tujuan syariah yang mulia, fitur peradaban Islam dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan dalam bidang akhlak dan budi pekerti, Al-Azhar mengajarkan beberapa aliran dalam tasawuf yang memberikan pendidikan kepada manusia untuk senatiasa membersihkan dirinya dari berbagai penyakit hati, seperti sombong, keras kepala, dan lainnya. Kemudian menghiasi hatinya dengan nilai-nilai Iuhur, yang diperoleh dengan cara merujuk literatur-literatur yang benar, bermanfaat, serta didasarkan kepada ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin pemerintahan).
Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’. Penerjemah: Abdul Ghafur..Penyunting: Owen Putra (Jakarta: KHATULISTIWA Press, 2013), h. 9-17.