Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Kaum yang berpikiran kaku dan keras itu menentang kegembiraan mayoritas kaum muslimin dalam memperingati hari kelahiran Rasulullah saw., karena menganggap perbuatan ini sebagai bid’ah yang sesat. Ironisnya, di sisi lain mereka justru memperingati kelahiran sebagian ulama atau imam dari kalangan mereka. Ini termasuk di antara musibah besar yang mereka gulirkan. Di bawah ini, kami akan menjelaskan pendapat yang benar mengenai perayaan hari kelahiran (maulid) Nabi saw., yang sudah umum dilakukan kaum muslimin.
Dari Umar bin al Khaththab ra., ia berkata, “Beliau (Nabi saw.) ditanya mengenai puasa hari Senin. Beliau lantas menjawab, “ltu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari dimana aku diutus (menjadi Rasul) -atau hari pertama aku mendapatkan wahyu.” (Shahih Muslim, 7/320)
Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa Rasulullah saw. bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat kelahirannya di dunia dengan cara berpuasa pada hari Senin. Ulama salaf kita, semenjak abad empat hijriyah telah melanggengkan perayaan maulid Nabi saw. dengan cara menghidupkannya malam itu dengan berbagai bentuk ibadah kepada-Nya. Antara lain, seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan melantunkan syair-syair pujian terhadap Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan pakar sejarah Islam, seperti Ibnu al-Jauzi, Ibnu Katsir, lbnu Dihyah al-Andalusi, lbnu Hajar al-Asqalani, dan Jalaluddin as-Suyuthi.
Adapun yang menjadi pegangan lbnu Hajar al-Asqalani untuk memasukkan hukum peringatan Maulid Nabi saw. adalah sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dimana Nabi saw. datang ke Madinah dan mendapatkan orang-orang Yahudi tengah melaksanakan puasa Asyura’ (10 Muharram). Beliau lantas bertanya kepada mereka mengenai hal itu. Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari dimana Allah Ta’ala telah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa pada hari ini karena ingin bersyukur kepada Allah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dari hadits di atas dapat diambil benang merah bahwa sebuah perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas kenikmatan, atau (ingin) dijauhkan dari kesengsaraan di hari tertentu, itu dibolehkan. Dan juga boleh unluk dirayakan di hari yang sama setiap tahunnya. Rasa syukur kepada Allah bisa ditunjukkan dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah, dan membaca AlQur’an. Maka, kenikmatan apa lagi yang lebih utama daripada kenikmatan munculnya Nabi yang membawa rahmat bagi sekalian alam dengan kelahirannya pada hari itu?”
Meskipun Nabi saw. dan para sahabatnya tidak pernah merayakan Maulid Nabi saw. pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya, namun ini tidak bisa menjadi alasan untuk menyatakan perayaan maulid Nabi sebagai bid’ ah yang tercela, karena bid’ah yang tercela adalah bid’ah yang tidak masuk ke dalam salah satu dalil syar’i yang bisa memujinya. Jika bid’ah tersebut tergolong dalam dalil yang memujinya, maka ini tidak bisa disebut sebagai bid’ah yang tercela.
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i, ia berkata, “Perkara yang baru itu ada dua macam.
Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, atsar, atau konsensus ulama. Perkara yang baru ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua, perkara baru yang mengandung kebaikan, yang tidak dipertentangkan oleh para ulama. Perkara baru seperti ini tidaklah tercela. Umar ibnul-Khathab pernah berkata mengenai shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah amalan ini.’ Maksudnya adalah, amalan itu merupakan perkara baru, karena sebelumnya belum pernah ada. Jika demikian, maka tidak ada penolakan terhadap perkara ini sebagaimana keterangan yang terdahulu.”‘
Imam as-Suyuthi berkata, “Peringatan maulid Nabi saw. di dalamnya tidak terdapat pertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, atsar, dan ijma’ ulama. Oleh karena itu, peringatan itu tidak termasuk bid’ah yang tercela, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam asy-Syafi’i. Peringatan maulid Nabi saw. termasuk amal kebaikan yang belum diketahui pada awal Islam. Sebab, di dalam peringatan itu terdapat kegiatan memberi makan orang yang membutuhkan tanpa didasari dengan perbuatan dosa. Kegiatan semacam ini termasuk salah satu dari amal kebaikan. Berangkat dari itu, maka peringatan Maulid Nabi saw. termasuk bid’ah yang disunnahkan, seperti yang pernah dijelaskan Imam Izzuddin bin Abdissalam.”
lmam as-Suyuthi pernah menukil perkataan al-Hafidz Syamsuddin bin al-Jazari dari kitabnya, ‘Arfut Ta’riif bil Maulidisy Syariif, ia berkata, “Telah ada kabar yang sah bahwa Abu Lahab setiap hari Senin mendapatkan keringanan siksaan karena telah memerdekakan Tsuwaibah al-Alamiyyah saking gembiranya dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah, keponakannya. Apabila seorang Abu Lahab saja, yang merupakan orang kafir dan telah dikecam di dalam Al-Qur ‘an, bisa mendapatkan balasan berupa keringanan siksaan di neraka karena gembira dengan kelahiran Nabi saw., maka balasan apa yang akan diterima seorang mukmin dari umat Muhammad saw. yang berbahagia dengan kelahiran beliau, dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencintai beliau? Sungguh, balasannya dari Allah Ta’ala adalah masuk ke dalam surga atas karunia Allah.
Imam al-Hafidz Syamsuddin ad-Damasyqi dalam kitabnya Mauridush Shaadii Fii Maulidil Haadii menulis syair yang
berbunyi:
Begitu juga bisa mengambil dalil peringatan Maulid Nabi saw. dari keumuman ayat Al-Qur’an yang berbunyi,
وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim/14: 5)
Tidak diragukan bahwa hari kelahiran Nabi saw. termasuk di antara hari-hari Allah (yang bersejarah). Maka dari itu, memperingati Maulid Nabi saw. tak lain adalah untuk melakukan perintah Allah di atas. Dengan demikian, maka perbuatan itu tidak termasuk bid’ah, bahkan perbuatan itu bisa dikatakan termasuk sunnah hasanah, sekalipun tidak ada pada zaman Rasulullah saw.
Kami merayakan peringatan Maulid Nabi saw. karena kami mencintai beliau. Snngguh keterlaluan bila kami sampai tidak mau mencintai beliau, sedangkan seluruh makhluk di alam ini telah mengenal dan mencintai beliau. Lihat saja pelepah kurma itu. Ia hanya sekedar benda padat yang digunakan sebagai sandaran Rasulullah saat berkhotbah, namun ia ingin untuk selalu berada di dekat Rasulullah saw., bahkan ia menangis dengan kencang tatkala merindukan Rasulullah saw. di dekatnya. Kabar ini telah diriwayatkan secara mutawatir, dan dipastikan kebenarannya.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah saw., “Bahwasanya dulu ketika Rasulullah saw. berkhotbah, beliau berdiri sambil memegang sebuah pelepah kurma yang ditegakkan. Jika berdiri lama, maka beliau akan meletakkan tangannya di atas pelepah kurma itu. Akan tetapi, ketika jumlah jamaah di masjid semakin banyak, maka para sahabat membuatkan mimbar untuk beliau. Setelah itu, ketika Rasulullah saw. keluar dari pintu kamarnya pada hari Jumat menuju ke mimbar dan melewati pelepah kurma yang dulunya dipakai beliau untuk berkhotbah itu, maka tiba-tiba saja pelepah kurma itu menjerit dengan sangat keras. Ia merindukan kasih sayang, ia merasa tersakiti sampai masjid terasa bergetar, pelepah kurma itu tak henti-hentinya bergoyang dan tidak mau tenang. Sampai akhimya Rasulullah saw. turun dari mimbar dan mendatangi pelepah kurma tersebut.
Beliau lalu meletakkan tangannya di atas pelepah kunna itu, dan mengusapnya. Kemudian menempelkan pelepah itu di dada beliau, sampai pelepah itu kembali tenang. Tidak lama kemudian, Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya, menjadi pohon surga yang akar-akamya akan meminum air dari sungai-sungai surga, atau kembali menjadi pohon yang berbuah di dunia ini. Pelepah kurma memilih untuk menjadi sebuah pohon di surga nanti. Lalu beliau bersabda, ‘Dengan izin Allah akan aku lakukan, dengan izin Allah akan aku lakukan, dengan izin Allah akan aku lakukan.’ Pelepah kurrna itu lalu kembali tenang. Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di kekuasaan-Nya, seandainya aku tidak menghiburnya, niscaya ia akan terus merintih hingga hari kiamat nanti karena merindukan Rasulullah saw,.”‘ (Asal hadits ini diriwayatkan oleh banyak ulama huffadz dengan redaksi yang hampir sama dengan Imam Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lainnya.)
Dari perkataan para imam di atas, seperti lbnu Hajar, lbnu al-Jauzi, as-Suyuthi dan lain sebagainya, jelaslah gambaran umat pada abad kelima hijriah. Dengan itu, kami berpendapat bahwa memperingati Maulid Nabi saw. hukumnya adalah sunnah, sesuai dengan konsesus umat dan ulama. Di sisi lain, sudah sebijaknya peringatan itu diisi dengan pembacaan AI-Qur’an, zikir, memberi makan fakir miskin, amal baik Iainnya dan tidak disertai dengan perbuatan yang tercela seperti tarian, menabuh genderang serta lain sebagainya. Tidak ada pengakuan bagi orang yang berusaha keluar dari ijma’ ‘amali (konsesus perbuatan-Ed.) ini. Sekalipun peringatan maulid seperti ini tidak begitu berarti bagi Nabi saw., karena beliau dipenuhi rahmat dan merupakan kekasih Tuhan semesta alam.
Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’. Penerjemah: Abdul Ghafur..Penyunting: Owen Putra (Jakarta: KHATULISTIWA Press, 2013), h. 152-158.