Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
Dikisahkan dalam Hadist Shahih, di satu malam Ramadhan, Rasulullah shalat di masjid, sebanyak 11 rakaat, 8 rakaat sebagai shalat qiyamil lail dan 3 sisanya sebagai shalat witir. Melihat Rasulullah shalat malam di malam bulan ramadhan ini, maka beberapa sahabat ikut berjama’ah bersama Rasulullah. Malam ketiga semakin banyak sahabat yg ikut berjama’ah.
Pada malam ke empat Rasulullah tidak lagi keluar shalat malam di masjid. Menjelang pagi, Rasulullah bersabda, saya tahu apa yg kalian lakukan tadi malam, tidak ada apapun yg menghalangi saya keluar kecuali saya hawatir shalat malam di bulan ramadhan secara jamaah ini kemudian diwajibkan oleh Allah, lalu menjadi beban baru bagi kalian.
Jadi Rasulullah, tidak keluar shalat malam di masjid di malam ke empat, karena beliau hawatir hal itu menjadi kewajiban bagi umat islam dan menjadi beban baru disamping beban shalat lima waktu. Saat itu belum dikenal “shalat tarawih”. Yang dikenal hanyalah shalat malam (Qiyamu al laili) di bulan Ramadhan.
Semasa Nabi hidup, shalat malam secara jama’ah ini, hanya dilakukan dua malam, yaitu malem kedua dan ketiga, karena malam ke empat Nabi tidak lagi keluar berjamaah di masjid.
Sepinggal Nabi, shalat malem di bulan Ramadhan kembali dilakukan oleh para sahabat baik secara sendiri sendiri maupun berjama’ah.
Pada tahun kedua dari sebelas masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar ra melakukan “ijtihad brilian” dengan menyatukan shalat malam yg berserak serak ini dalam satu masjid dengan satu imam yang ditunjuk langsung oleh Umar, yaitu Ubai Ibnu Ka’ab. Sejak saat inilah shalat malem di bulan ramadhan ini dilakukan serentak secara jamaah sebanyak 20 Rakaat dibawah satu Imam. Dalam satu riwayat dinyatakan, Umar ra juga menunjuk beberapa Imam untuk jama’ah perempuan.
Sejak saat ini pula, shalat malam di bulan Ramadhan disebut dengan shalat tarawih, karena di tiap-tiap 2 kali salam (4 rakaat – 4 rakaat) jama’ah beristirahat, karena lelah akibat panjangnya bacaan ayat. Jadi dapat 4 rakaat berhenti, 4 rakaat berhenti begitu sampa i20 rakaat dan lalu ditutup dengan witir 3 rakaat.
Nabi melakukan shalat “tarawih-shalat malam” sebanyak 11 Rakaat, para sahabat Nabi melakukan dengan 20 rakaat. Dan praktek ini di amini oleh imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka shalat tarawih 20 rakaat. Imam Malik yang berdomisili di Madinah menambahnya menjadi 36 rakaat, alasan beliau agar bisa mengimbangi pahala tarawih dan thawaf di Makkah.
Jadi jika kita shalat 36 rakaat maka berarti telah mengikuti imam Malik, sahabat, dan Nabi. Jika shalat 20, berarti mengkuti imam madzhab, shahabat, dan Nabi. Jika shalat 11 rakaat berarti hanya ikut Nabi. Jika ndak shalat, ya berarti ikut imam imam yg ndak jelas.
Bagaimana cara pelaksanaannya, apakah 2 rakaat 2 rakaat, seperti yang umum kita lihat, ataukah 4 rakaat 4 rakaat satu salam, seperti dipraktekkan sebagian muslim Muhammadiyah, ataukah delapan delapan, ataukah 20 langsung dengan satu salam seperti yg pernah saya praktekan?
Nah di sini Ulama berbeda pendapat, intinya semua praktek itu ada pendapat ulama yg mengabsahkannya. Karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi tentangnya. Bagi Nabi, yang penting shalat qiyamul lail.
Silahkan membaca kitab fathul qarib, al mabsuth dan juga ithaf sadati al muttaqin. Jangan hanya baca fathul qarib, karena pasti anda akan tidak men-shah -kan shalat tarawih orang lain. Jangan membatalkan praktek seorang hanya berdasar satu kitab. Padahal banyak kitab lain yg men-shah-kan nya.
Selamat memasuki bulan ibadah, Ramadhan.
Situbondo
220420
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10219583398009742