Oleh: Prof. Komaruddin Hidayat, Ph. D. (Profil)
Guru Besar Filsafat Agama dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2015
Beberapa hari ke depan jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia akan berada dalam puncak kesibukan menunaikan ibadah haji sebagai perjalanan keagamaan (ziarah atau pilgrimage), serta sebagai kewajiban agama bagi setiap muslim dan muslimat yang memiliki kemampuan (istita’ah) secara ekonomis, ilmu pengetahuan (terutama tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji), dan mampu secara fisik untuk merampungkan perjalanan ke bayt Allah (Makkah).
Perjalanan ke Makkah guna menunaikan ibadah haji juga disebut sebagai rihlah mubarakah (perjalanan penuh berkah), berbeda dari bepergian lain meskipun sama-sama ke luar negeri. Dalam sejarah ibadah haji, sosok Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Bapak Agama besar dunia, yang dari garis keturunannya lahir pembawa ajaran Yahudi, Nasrani dan Islam, seakan hadir sebagai tokoh yang sangat dihormati, dicintai dan jadi sumber inspirasi. Dalam Alquran namanya banyak disebut, dan dalam bacaan shalat didoakan sejajar dengan Nabi Muhmmad SAW.
Hal ini menunjukkkan bahwa ajaran Islam sangat menghargai dan menjaga otentisitas ajaran Nabi Ibrahim, yang di dalamnya tercakup warisan ajaran Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS. Dalam konteks ini ibadah haji sangat jelas merupakan contoh nyata bahwa Alquran merupakan penerus, penjaga dan penyempurnaan ajaran para rasul sebelumnya. Lebih dari itu, adegan dan pesan ibadah haji sifatnya sangat humanis dan universal. Bahwa manusia pada dasarnya sama kedudukannya di hadapan Allah. Yang membuat sesorang mulia adalah karena takwanya, ditopang oleh ilmunya dan amal salehnya.
Dalam setiap ibadah selalu ada dimensi lahiriyah (eksoterik) dan dimensi batiniyah (esoterik). Yang pertama bisa diamati dan dinilai oleh sesama manusia, sedangkan yang kedua bersifat sangat pribadi dan hanya Allah yang tahu.
Ibadah haji, sebagimana juga shalat, puasa dan zakat ada dimensi yang bisa diukur secara kuantitatif. Misalnya, dalam hal jumlah bilangan rakaat dalam shalat, batas nisab dalam zakat, dan jumlah hari dalam puasa, kesemuanya memiliki aspek kuantitatif yang bisa diukur dan diamati.
Namun ketika memasuki aspek spiritual, termasuk kekhusyukan dan keikhlasan, semua bersifat sangat personal dan metafisis, dan wilayah itu hanya Allah yang Mahatahu. Jadi, apakah mereka yang hafal dan paham bacaan shalat mesti khusyuk dan diterima Allah shalatnya? Belum tentu.
Demikian pula halnya berkaitan dengan ibadah haji. Kita bisa saja melakukan evaluasi layaknya terhadap anak sekolah, apakah seseorang hafal ataukah tidak doa-doanya, pahamkah maknanya, terpenuhi ataukah tidak syarat rukunnya, kesemuanya mudah diamati dan diukur.
Namun, sekali lagi, apakah mereka yang sudah memenuhi aturan lahiriyah sesuai pedoman fiqhiyah berhaji mesti mabrur hajinya? Apakah mereka yang masuk kloter haji VIP kualitas hajinya juga VIP di mata Allah? Allah yang Mahatahu. Apakah hajinya para pejabat tinggi dan ulama mesti lebih mabrur ketimbang orang biasa yang menabung puluhan tahun baru bisa ke Makkah? Inilah yang dimaksud dimensi metaphisik, dimensi esoteric, dimensi batin, yang kita tidak tahu.
Sumber:
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/08/25/ntky41368-humanisme-haji-1
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/bri-syariah/15/08/25/ntmvfy368-humanisme-haji-2