Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP)
Kehidupan awal
Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.Ia lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah. Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu. Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya. Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu. Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perangrevolusi kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.
Merantau ke Jawa
Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief. Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh. Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai diLombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968. Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Kehidupan awal
Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.Ia lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah. Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu. Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya. Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu. Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perangrevolusi kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.
Merantau ke Jawa
Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief. Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh. Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar(Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai diLombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968. Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Guru di Sekolah Muhammadiyah, Lombok Timur, NTB (1957-)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964)
Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969)
Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969)
Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972)
Asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972)
Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990)
Profesor tamu di University of Iowa, AS (1986)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga, Yogyakarta (1983-1990)
Dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990)
Dosen senior (pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1992-1993)
Profesor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994)
Profesor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996)
Wakil Ketua PP Muhammadiyah (1995-1998)
Ketua PP Muhammadiyah (1998-2000)
Ketua PP Muhammadiyah (2000- 2005)
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia
Pemimpin Redaksi majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990)
Anggota Staf Ahli jurnal Ummul Qur’an (1988)
MAARIF Institute for Culture and Humanity (2002)
Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP)
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’.Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).
Tab Content
Portal Referensi Islam Yang Kredibel-Moderat-Nasionalis Yang Dihimpun Dari Berbagai Sumber Otoritatif