Oleh: Prof. Dr. H. Moch. QasimMathar, MA.
Guru Besar Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar
Karena memakai metode Hisab, perhitungan matematis dan astronomis, Muhammadiyah di Indonesia menetapkan 1 Syawal 1443 H jatuh pada hari Senin 2 Mei 2022. Artinya, warga Muhammadiyah dan mereka yang mengikuti Hisab sudah akan melaksanakan salat dan ber-Hari Raya Idul Fitri pada hari Senin, lusa.
Adapun warga NU (Nahdlatul Ulama) dan mereka yang mengikuti metode Rukyat (Rukyatul Hilal) akan mengamati visibilitas hilal (bulan sabit) saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah (besok magrib). Metode keduanya sudah jelas. Pengikut kedua metode itu masing-masing berdalil. Karena berdalil (Alquran dan hadis), keduanya merupakan keyakinan religius. Dengan demikian, merendahkan salah satunya adalah kebodohan.
Zaman kebodohan itu sudah lama ditinggalkan. Yaitu zaman, ketika kedua belah pihak saling mengejek bila terjadi dua Hari Raya. Zaman itu, ketika kaum Muslimin mempertengkarkan antara salat tarwih 8 dan 20 rakaat. Iya, zaman kebodohan itu sudah kita tinggalkan.
Mari kita sikapi perbedaan-perbedaan itu dalam suasana persahabatan. Seperti saat kita mulai berpuasa sebulan yang lalu. Kalangan Hisab sudah mulai berpuasa pada tanggal 2 April dan kalangan Rukyat pada tanggal 3 April. Dua hari berbeda awal puasa itu kita sikapi biasa-biasa saja. Ada yang sudah berpuasa, yang lain masih makan siang. Ada yang sudah berbuka puasa, yang lain baru mengintip bulan sabit.
Ada yang memperkirakan posisi bulan sabit, karena di ketinggian sekitar 4 derajat, hilal bisa diamati besok Ahad magrib. Dengan demikian, kaum Muslimin di Indonesia akan salat dan ber-Hari Raya Idul Fitri pada hari yang sama, Senin 2 Mei 2022. Kalaupun terjadi dua Hari Raya, mari disikapi biasa-biasa saja. Orang yang kaya informasi dan banyak ilmu pengetahuan akan tenang-tenang saja bila melihat dua pandangan keagamaan yang berbeda. Lain halnya orang yang miskin informasi dan sedikit ilmu pengetahuan, akan mudah panik dan ribut bila mendapatkan perbedaan pandangan keagamaan.
Zaman ribut dua Hari Raya yang berbeda sudah lama lewat. Kini saatnya kaum Muslimin Indonesia lebih memokuskan perhatiannya kepada upaya pencapaian kualitas-kualitas tinggi mereka. Kualitas itu bisa diraih dengan memperbanyak kegiatan di bidang pendidikan generasi umat.
Sudah terlalu banyak energi yang terpakai untuk politik. Pembangunan pencapaian di bidang pendidikan umat tempaknya kekurangan energi. Dua tahun lebih pandemi telah ikut merusak pendidikan umat, khususnya generasi mudanya. Hanya sedikit kalangan yang benar-benar memanfaatkan dengan baik masa pandemi untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan mereka.
Sekolah-sekolah swasta Islam seperti pesantren dan madrasah menerima tekanan buruk dari masa pandemi. Sekolah Islam dalam tekanan demikian, sulit diharapkan melahirkan generasi yang cerdas dan berpikiran jernih. Sesungguhnya kita khawatir, sekolah Islam yang kurang bermutu hanya akan melahirkan generasi yang tidak bersikap cerdas dan berpikiran jernih terhadap perbedaan keagamaan di tengah kehidupan mereka. (*/)
Sumber: https://harian.fajar.co.id/2022/04/30/generasi-yang-cerdas/2/
