Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute, Washington DC
Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) adalah salah satu ulama-aktivis multidimensi yang sangat langka di Indonesia.
Semasa hidupnya, Buya bukan hanya seorang tokoh agama yang disegani, melainkan juga guru besar yang berdedikasi tinggi, cendekiawan brilian, pemikir Muslim pluralis-humanis, pejuang moral yang bersih, sejarawan mumpuni, penulis produktif, pembicara ulung, praktisi dialog lintas-iman, aktivis sosial pemberani, dan lebih dari itu, seorang guru bangsa yang diteladani.
Meski dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan bahkan pernah memimpin salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia ini, Buya jauh dari watak eksklusif dan sektarian. Meski Muslim sejati, Buya bukan tipe fanatikus buta yang gelap mata dan suka mendahulukan kepentingan umat Islam di atas kepentingan rakyat yang lebih luas dalam menyikapi problem sosial, kemasyarakatan, keagamaan, dan keumatan.
Pula, meskipun dilahirkan di daerah terpencil di Sumatera yang notabene bukan pusat kekuasaan, ia bukan termasuk tokoh yang menggebu-gebu yang melulu memperjuangkan daerah kelahirannya sendiri yang tidak jarang sering mengabaikan nasib penderitaan daerah-daerah lain di Indonesia.
Semangat yang menggelora untuk mencerahkan dan memajukan bangsa telah mengalahkan mentalitas, perilaku, dan pemikiran sempit atas nama etnik, agama, atau daerah tertentu. Begitu pula idealisme dan kecintaannya yang begitu tulus terhadap NKRI turut berkontribusi dalam menciptakan pandangan politik-keagamaannya yang bervisi humanis, berwawasan nasionalis, serta kontra terhadap pemikiran dan tindakan individu atau kelompok tertentu, seperti kaum ekstremis, Islamis, separatis, dan koruptor yang mengarah atau berpotensi mencipta kan konflik, kekerasan, disintegrasi, dan kebangkrutan bangsa.
Tak jarang dalam menyampaikan pemikiran atau gagasan keislaman dan kebangsaan yang progresif, berani, dan ceplas- ceplos itu, baik dalam forum diskusi, ceramah, maupun dalam berbagai tulisan, Buya sering mendapat kritik dan celaan dari orang-orang yang tak menyukainya lantaran merasa kepentingannya terusik. Meski begitu, ia tak gentar dan terus bersuara lantang menyerukan kebenaran yang ia yakini.
Buya Syafii yang oleh mendiang Gus Dur dijuluki ”Pendekar dari Chicago” ini selalu berpegang teguh pada sebuah prinsip yang kukuh bahwa berani berjuang harus berani menanggung risiko. Ia membuat sebuah perbandingan: jangankan dirinya sebagai manusia lumrah, nabi dan rasul pun mendapatkan caci maki dalam menjalankan misi profetiknya.
Gagasan humanisme Islam
Salah satu dari sekian banyak gagasan dan pemikiran Buya yang sangat menonjol adalah tentang humanisme Islam.
Bagi Buya, Islam ”agama humanis”. Agama yang memfokuskan, mendahulukan, dan mementingkan masalah kemanusiaan universal. Ia berprinsip, Islam hadir untuk turut berkontribusi menyelesaikan problem keumatan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan global, seperti kemiskinan, kebodohan, intoleransi, dan kekerasan. Gagasan dan pandangannya ini ia uraikan dalam berbagai buku, kolom media, forum diskusi, ceramah, dan sebagainya.
Seperti Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim ternama yang menjadi guru dan mentornya di Universitas Chicago, Buya juga meyakini sepenuh hati visi Islam humanis ini. Salah satu gagasan penting Rahman adalah tentang ”antroposentrisme Islam”. Menurut Rahman, baik Islam maupun Al Quran bersifat atau berwatak ”antroposentris”, yakni agama dan kitab suci yang menjadikan manusia dan kemanusiaan sebagai pusat, bukan ”teosentris” (menjadikan Tuhan sebagai pusat kajian dan gagasan).
Dalam rangka mewujudkan visi dan gagasan humanisme Islam yang ia percayai, Buya mengajak kaum Muslim mendialogkan doktrin normatif Islam dengan fakta kesejarahan serta memahami perbedaan antara ”Islam ideal” dan ”Islam realitas”. Ini dimaksudkan agar semangat kaum Muslim dalam menjalankan ajaran agamanya lebih realistis dan kontekstual, tak berujung pada sebuah utopia atau terjerumus dalam semangat fanatisme berlebihan.
Ide humanisme Islam Buya juga tecermin dari pandangan/ sikapnya tentang pentingnya membangun hubungan terbuka dan penuh respek antarpemeluk agama, perlawanan pada kelompok garis keras yang hobi melakukan tindakan intoleran- si dan kekerasan, ketidaksetujuan terhadap konsep pendirian negara Islam dan formalisasi syariat Islam, kepercayaan pada konsep shura (musyawarah mufakat), kritik atas praktik sufisme yang berlebihan,
Juga keyakinan bahwa Al Quran bukanlah kitab hukum yang kaku, rigid, dan anti-perubahan, melainkan sebuah pedoman moral atau sumber etik yang dinamis bagi umat Islam agar mereka berada di ”jalur yang benar”, menjadi kaum Muslim yang bermoral, beretika, bermartabat, berintegritas, berwawasan terbuka, toleran terhadap agama dan kepercayaan lain, menghargai minoritas, berjuang demi keadilan, kemakmuran, dan kemanusiaan.
Buya tidak hanya menulis, berceramah, atau berwacana tentang humanisme Islam, tetapi juga mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku dan kehidupan sehari- hari buya yang sangat sederhana, bersahaja, kritis, moderat, toleran, serta tidak kemaruk jabatan dan kekayaan sebetulnya melambangkan prinsip ”Islam humanis” yang ia pegangi.
Etika universal Al Quran
Selain dipengaruhi Fazlur Rahman, pandangan humanisme Islam Buya juga dipengaruhi oleh hasil tafsir dan baca- annya terhadap Al Quran. Buya memercayai sepenuh hati Al Quran adalah ”kitab humanis” yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai subyek sangat penting. Salah satu corak pemikiran yang dikembangkan Buya adalah semangatnya mengimplementasikan etika Al Quran dalam konteks kekinian (dan keindonesiaan).
Buya memang seorang penafsir Al Quran andal. Namun, berbeda dengan para ahli tafsir Al Quran terkemuka Indonesia lain, seperti Hamka (Tafsir al-Azhar), Hasbi Ash-Shiddique (Tafsir an-Nur), M Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah), atau KH Bisri Mustafa (Tafsir al-Ibriz) yang menafsirkan Al Quran juz demi juz atau ayat demi ayat, Buya lebih suka memilih tema-tema atau ayat-ayat tertentu dalam Al Quran yang relevan dengan kondisi sosial masyarakat modern.
Seperti terlihat dalam sejumlah karyanya, Buya dengan lihainya menggabungkan wawasan etika Al Quran dan pengetahuan sejarah keislaman dengan peranti ilmu sosial modern, kemudian menghubungkannya dengan problem keumatan dan kemanusiaan. Karena alasan inilah, antara lain, kenapa tafsir-tafsir tematik Al Quran ala Buya sangat populis dan mendapat respons luas di masyarakat, tidak hanya dari kalangan Muslim atau Muhammadiyah.
Secara khusus, Buya menafsirkan ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan problem sosial-kemanusiaan kontemporer, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan, kejumudan, korupsi, tirani, kemunafikan, pentingnya kejujuran para pemimpin, dampak global kebusukan elite politik, otoritarianisme.
Buya berkeyakinan, prinsip- prinsip etika universal menjadi tema utama yang mendasari Al Quran, dan karena itu spirit Al Quran bisa menjadi pedoman moral perilaku manusia pada abad modern, tak hanya untuk masyarakat Arab abad ke-7 tatkala Al Quran diturunkan. Buya juga berkeyakinan Islam (dan agama mana pun) jika dipahami dan diamalkan secara benar, bisa menjadi fondasi moral bagi terciptanya sebuah masyarakat yang adil, maju, damai, harmonis, dan toleran.
Berbeda dengan kalangan literalis yang menafsirkan ayat- ayat Al Quran secara leterlek sehingga mengesankan kitab ini ”out of date”, tak lagi relevan dengan kemodernan, Buya telah berjasa menjadikan Al Quran sebagai kitab pedoman moral yang kaya makna dan tak lapuk dimakan zaman.
Seperti kelompok Islamis dan konservatif, Buya juga berpendapat salah satu faktor yang membuat umat Islam mundur ialah karena mereka tak mematuhi pesan-pesan etik Al Quran. Namun, berbeda dengan mereka, Buya tak setuju dengan jalan keluar yang serba Islam/Islami yang mereka tawarkan. Misalnya, Buya menolak pandangan dan anggapan sejumlah ulama dan pemikir Muslim bahwa Islam dan Al Quran memberi ”endorsement” pendirian negara Islam melalui konsep al-din wa al-daulah (kesatuan transenden agama dan negara).
Menurut Buya, tak ada satu ayat pun dalam Al Quran yang menyatakan bahwa Islam adalah sebuah ”agama dan negara”. Ia bahkan berpendapat bahwa konsep ini tidak ada dalam literatur Islam klasik.
Menurut Buya, (simak bukunya, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan), konsep atau gagasan Islam sebagai sebuah ide atau entitas agama dan negara ini baru muncul di abad ke-20 sebagai respons politik sejumlah rezim dan pemikir Muslim terhadap konsep negara sekuler Barat. Karena konsep ini tak ada di Al Quran, tak ada kewajiban bagi umat Islam di mana pun, termasuk Indonesia, untuk mendirikan negara Islam. Bagi buya, konsep pendirian negara Indonesia seperti termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 sudah sangat ”Islami”, jadi tak perlu ”diislamkan” lagi.
Menurut Buya, daripada umat Islam sibuk mengurusi gagasan pendirian negara Islam atau formalisasi syariat Islam, lebih baik mereka ”berkaca diri” dan memikirkan kembali bagaimana agar spirit, moral, atau etika Islam dan Al Quran dapat diimplementasikan dalam kompleksitas ranah sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini.
Gagasan ini akan terwujud jika umat Islam serius menggali sumber-sumber ajaran Islam atau etika universal yang terkandung dalam Al-Qur’an, kemudian mengaktualisasikan ajaran-ajaran dan spirit itu sesuai dengan semangat dan kebutuhan zaman, bukan malah terperangkap ke dalam perdebatan-perdebatan legal-formal kesilaman yang menguras energi dan tak ada manfaatnya.
“Rahmatan lil alamin”
Menurut Buya, gagasan-gagasan etika universal di Al-Qur’an tentang toleransi beragama, kebebasan individu, perlindungan terhadap kaum minoritas, spirit perdamaian, antarindividu dan kelompok, keadilan sosial, egalitarianisme dan sebagainya harus diutamakan dan dijadikan basis untuk menyelesaikan masalah bangsa, seperti kekerasan, kemiskinan, korupsi dan intoleransi.
Hanya dalam bingkai pemahaman seperti inila, pesan Islam sebagai “rahmat bagi alam semesta” (rahmatan lil alamin) bisa tercapai. Bagi Buya, kompleksitas persoalan yang dihadapi warga, bangsa, dan negara ini tak bisa diselesaikan dengan simsalabim: menyulap produk-produk politik dan hukum yang ada menjadi produk-produk bermerek Islam.
Gagasan dan wacana keislaman yang dikembangkan Buya telah menandai terjadinya proses pergeseran ranah pembaruan pemikiran Islam di Indonesiadan dari pembaruan yang sifatnya teologis-spekulatif yang menghapus otentisitas keberislaman ke isu-isu publik kemanusiaan yang lebih konkret.
Buya Syafii tentu saja bukan satu-satunya aktor pembaharuan Islam model terakhir ini, tetapi ide-ide dan diskursus keislaman yang digagasnya memberikan kontribusi positif bagi pembaruan pemikiran Islam yang menekankan pada relasi kontekstual antara nilai-nilai luhur Islam dan etika universal Al-Qur’an dengan masalah pelik kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/06/humanisme-islam-buya-syafii-1