Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU/Guru Besar Sosiologi Pendidikan/Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya 2022-2026
Publik mungkin bertanya: mengapa khilafah harus dipermasalahkan di Indonesia? Bukankah pengusung khilafah, minimal hingga masa terkini, tidak mempertontonkan praktik ekstremisme kekerasan (violent extremism)? Mengapa mereka harus diributkan? Mengapa pula khilafah dipersalahkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul kembali hari-hari ini. Latar belakangnya adalah konvoi bermotor di wilayah Jakarta Timur pada Minggu (29/5) lalu dengan membawa atribut khilafah. Pelakunya adalah kelompok Khilafatul Muslimin. Mereka secara mencolok melakukan kampanye menggunakan motor atas ideologi khilafah.
Memang, pengusung ideologi khilafah tidak tunggal. Tapi, rekam jejak Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai pemimpin kelompok Khilafatul Muslimin di atas mendapat catatan tebal dari aparat keamanan. Tercatat oleh Densus 88, sebagai misal, yang bersangkutan pernah ditangkap karena terkait dengan tindak terorisme melalui kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
Rekam jejak yang demikian memperparah profil khilafah di ruang publik. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan dan dilarang di Indonesia oleh pemerintah sejak 19 Juli 2017 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas), kemunculan kelompok Khilafatul Muslimin di atas membelalakkan mata publik bahwa sebagai ideologi, khilafah tidak pernah mati.
Lalu, apa kaitan khilafah dan radikalisme? Dalam diskursus terkini, radikalisme memiliki tiga wajah. Wajah pertama adalah radikalisme konstitusi. Semua negara memiliki konstitusinya masing-masing. Dan Indonesia telah menyepakati UUD 1945 sebagai konstitusi dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Mereka yang mencoba merongrong konstitusi, apalagi hingga berupaya secara sistematis untuk menggantinya, adalah pelaku radikalisme konstitusi. Ukurannya tidak harus melalui praktik ekstremisme kekerasan. Memproduksi dan melakukan diseminasi terhadap gagasan, konsep, dan aksi perongrongan, apalagi penggantian konstitusi, sudah menjadi bagian dari anggitan radikalisme dimaksud.
Di negara mana pun, merongrong konstitusi adalah pelanggaran superberat. Karena itu, semua negara berkepentingan untuk menjamin basis kognitif dan praktik warga negaranya dalam konformitas yang tinggi dengan konstitusi yang dianut. Semua itu dilakukan untuk menjamin kelangsungan negara dan berbagai konsensus konstitutif yang dimilikinya.
Wajah kedua adalah radikalisme takfiri. Radikalisme jenis ini awalnya berangkat dari prinsip klaim kebenaran (truth claim) atas yang kepercayaan diyakini dan melakukan nihilisasi dan sekaligus negasi atas selainnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, radikalisme jenis ini juga menerjemahkan prinsip ideologis tersebut dengan gerakan untuk membenci dan memusuhi semua selainnya.
Konsep negara dan bangsa tidak mendapat tempat dalam anggitan radikalisme takfiri ini. Karena itu, yang ada dalam basis konseptual radikalisme jenis ini adalah argumen keagamaan semata. Tidak ada rekognisi terhadap argumen kewarganegaraan. Konsep kafir adalah bagian dari perbendaharaan ideologis keagamaan. Namun, para pengusung radikalisme takfiri memakainya untuk melabeli dan menghukumi siapa saja yang berbeda kepercayaan dan keyakinan dengannya di sebuah negara-bangsa. Akibatnya, selainnya dianggap kafir dan mereka menggerakkan identifikasi itu untuk urusan yang juga berkaitan dengan kewarganegaraan.
Wajah ketiga radikalisme adalah radikalisme jihadis. Wajah ketiga ini merupakan varian radikalisme paling tinggi. Prinsip dasar yang dikembangkannya tidak sekadar melabeli mereka yang berkeyakinan agama dan ideologi berbeda dengan cap kafir, tapi juga berusaha memerangi mereka dengan aksi ekstremisme kekerasan. Penusukan, perampokan, hingga bom bunuh diri adalah bentuk-bentuk aksi yang biasa dilakukan dalam radikalisme jihadis. Jika berhasil membunuh individu atau kelompok selainnya, mereka yakin akan masuk surga. Jika terbunuh pun dalam aksi itu, mereka juga meyakini akan masuk surga.
Dalam konteks inilah, semua negara tidak sepatutnya melakukan politik pembiaran terhadap setiap potensi dari ketiga wajah radikalisme di atas. Salah satu ruang publik yang vital untuk ini adalah pendidikan. Setiap negara memiliki kepentingan dengan pendidikan dan menjadikannya sebagai instrumen penting untuk memperkuat basis kognitif dan praktik warga negara seperti dimaksud di atas agar bisa menjadi warga negara yang baik (good citizens).
Seorang pakar filsafat dan etika dari Curtin University of Technology, Australia, Stephan Millett (2008:23), sebagai misal, menyatakan: The end (telos) of education is to produce good citizens, where ”good” here is partly determined in light of the constitution of the state. Artinya, tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan warga negara yang baik, di mana kata ”baik” dimaksud ditentukan dan diukur sesuai dengan konstitusi yang dianut masing-masing negara itu.
Maka, sungguh aneh di negeri ini jika ada lembaga pendidikan yang menolak Pancasila dan UUD 1945, tapi tetap dibiarkan beroperasi. Sungguh ironis jika ada sikap warga sekolah yang menolak hormat bendera atau mengikuti upacara bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi kemudian tetap tidak dianggap sebagai persoalan serius sehingga tidak ada tindakan yang tegas untuk melakukan penertiban. Praktik pembiaran sama dengan menjerumuskan warga bangsa sendiri.
Lebih-lebih, membiarkan kelompok yang mengampanyekan upaya untuk mengganti konstitusi dan ideologi negara adalah awal dari kesalahan fatal pemimpin bangsa. Karena itu, mempermasalahkan khilafah adalah bentuk kewaspadaan dini yang harus dilakukan untuk menjamin keberlangsungan bangsa dan negara.
Pemerintah dan publik tak perlu menunggu munculnya aksi ekstremisme kekerasan untuk sekadar menjustifikasi adanya radikalisme. Sebab, menolak konstitusi dan ideologi negara dengan disertai upaya untuk menggantinya, serta mengusung pikiran takfiri yang menolak perbedaan paham kepercayaan dan praktik sosioreligius-kultural, telah menjadi bagian dari varian dan sekaligus ancaman radikalisme.
Pada titik inilah mengapa publik penting untuk menyoal dan mempermasalahkan khilafah. Radikalisme konstitusi bisa saja kemudian bergerak ke arah radikalisme takfiri melalui pengembangan pemikiran monolitik yang tidak mengakui keberadaan selainnya hingga radikalisme jihadis yang berbasis praktik ekstremisme kekerasan. Hanya soal waktu pergeseran pergerakan itu akan mewujud. Apalagi, rekam jejak pemimpin gerakan khilafah, seperti dijelaskan di atas, tidak clean and clear dari ekstremisme radikal.
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/07/06/2022/radikalisme-khilafah/?page=all