Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
PERBEDAAN adalah Sunnatullah. Dengan demikian, siapapun termasuk agama manapun tidak akan pernah mengubah prinsip ini. Di antara faktor penyebab terjadinya konflik keagamaan ialah adanya ketidakrelaan masing-masing kelompok menerima perbedaan. Besarnya semangat untuk melihat orang lain sekeyakinan dirinya dengan melancarkan misi dan dakwah, termasuk dengan kekerasan. Memaksakan kekerasan atas dasar dan tujuan apapun tidak bisa diterima akal sehat dan ajaran agama. Allah Swt menegaskan di dalam Al-Qur’an: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256).
Di dalam NKRI kita perlu meyakinkan kepada segenap orang bahwa perbedaan itu betul-betul kehendak Tuhan (Divine order). Dalam Islam prinsip ini ditegaskan dalam ayat: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99). Perhatikan ayat ini menggunakan kata lau (wa lau sya’ Rabbuka), yang dalam kebiasaan Al-Qur’an jika digunakan kata lau, bukannya in atau idza yang memiliki arti yang sama, yaitu “jika”. Kekhususan penggunaan lau adalah isyarat sebuah pengandaian yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau terwujud. Kata idza mengisyaratkan makna kepastian akan terjadinya sesuatu, sedangkan kata in mengisyaratkan kemungkinan kedua-duanya, bisa terjadi atau bisa tidak terjadi. Ayat ini juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertanya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salah satu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.
Menyampaikan misi dakwah dan petunjuk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apalagi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak prerogatif Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al- Qashash/28:56).
Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt, seperti yang dinyatakan di dalam ayat: Di dalam ayat lain Allah Swt lebih tegas menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat lain Allah Swt memberikan suatu pernyataan indah: “Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain”. (Q.S. Yusuf/12:67).
Sebagai warga NKRI yang baik, sebaiknya kita tidak perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt menciptakan hambanya tidak seragam. Dalam perspektif tasawuf dijelaskan bahwa semuanya itu sesungguhnya sebagai perwujudan nama-nama-Nya (al-asma’ al-husna’) yang bermacam-macam. Setiap nama-nama tersebut menuntut pengejawantahan di dalam realitas alam raya. Allahu a’lam.
Sumber: https://rmol.id/read/2017/08/31/305224/memperkenalkan-teologi-perbedaan