Oleh: Wahyuddin Halim, M.A. M.A. Ph.D.
(Antropolog Agama UIN Alauddin Makassar)
Lisanul hal afsahu min lisanul qaul. Perbuatan lebih fasih daripada perkataan. Demikian sebuah pepatah Arab yang kerap dikutip untuk menunjukkan perlunya keteladanan dalam dakwah dan pengajaran. Bahasa lisan memang perlu, namun bahasa tubuh kerap jauh lebih mujarab mengajak seseorang mengikuti kebaikan yang diserukan.
Kemujaraban perbuatan atas perkataan dalam dakwah mungkin dapat diuji selama bulan Ramadan, saat di mana umat Islam menggiatkan diri dalam ibadah ritual. Di Indonesia khususnya, Ramadan telah menjadi kalender tetap umat Islam untuk menambah pengetahuan keagamaan mereka melalui beragam media dakwah. Selain di masjid, musala dan tempat-tempat yang “disulap” menjadi tempat tarawih selama Ramadan, dakwah juga semakin semarak di media cetak dan elektronik, apalagi di berbagai platform media sosial. Begitu fenomenalnya trend ini, hampir tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk tidak mendengar dakwah agama di bulan Ramadan. Selain itu, dakwah agama sudah menyusup ke ruang-ruang surfing atau chatting mereka yang punya akses ke internet. Singkatnya, dakwah telah menyelinap ke setiap celah eksistensial umat, merasuk ke segenap relung keheningan jiwa mereka selama bulan ini.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membincangkan keragaman sosok mereka yang memberi dakwah (dai atau mubalig). Di masa lalu, kita dapat menemukan mubalig dalam sosok seorang ulama atau kiyai (dalam masyarakat Bugis, sosok ini dikenal sebagai anregurutta, gurutta, atau topanrita). Ada ulama yang muncul dalam sosok ahli syariat (faqih), ahli kalam, mufassir dan ahli hadis. Tidak jarang juga ada yang menguasai semua pengetahuan tradisional Islam itu.
a. Berbagai Sosok Mubalig
Di masa yang lain, mubalig tampil sebagai sufi atau ahli tasawuf. Masyarakat mengenalnya sebagai figur yang tekun dalam ibadah, sederhana dalam kehidupan, ikhlas dalam pengabdian sosialnya, dan tinggi tingkatan spiritualnya. Pada wajah mereka dapat terlihat “ada aura sakral,” meminjam deskripsi Jalaluddin Rakhmat (Rakhmat, 1986). “Orang datang sekadar untuk melihat wajahnya, meneguk sisa air minumnya, atau mengambil berkah dari doanya”. Dengan kualitas pribadi seperti itu, wajarlah jika hubungan mubalig dengan jamaahnya seperti hubungan tokoh rohaniah dengan para pengikutnya yang setia. Atau guru di sekolah dengan murid-muridnya. Mungkin itulah sebabnya, ulama-ulama tradisional dalam masyarakat Sulawesi Selatan disebut gurutta (guru kita).
Ulama menjadi rujukan untuk semua masalah keagamaan umatnya. Umat mengikuti ulama mereka tanpa sikap kritis. Ulama tidak boleh dikritik atau dikecam. Bahkan seperti orang tua kepada anaknya, gurutta bisa menegur dan bahkan “memarahi” seorang pengikutnya yang dipandang telah melanggar suatu ajaran agama, walau secara bijaksana tentunya. Kenyataanya, umat memang patuh pada gurutta. Mereka tidak justru balas mengkritik atau mencerca gurutta. Kata-kata gurutta demikian dipatuhi, dan umatnya senang karena masih ada yang mau menegur dan memarahi mereka.
Lalu datanglah saat ketika pengetahuan agama tidak lagi ekslusif milik para ulama dalam pengertian tradisional. Terjadi deregulasi besar-besaran dalam pengetahuan agama. Lembaga pendidikan keagamaan tradisional tidak lagi menjadi produsen utama otoritas keagamaan. Salah satu pemicunya adalah lahirya pemikir-pemikir modernis di awal abad ke-20. Juga bangkitnya kesadaran keagamaan di kalangan pemikir dalam disiplin ilmu umum akan pentingnya agama dalam setiap dimensi kehidupan. Pemikir-pemikir modernis mengkritik ulama tradisional dengan sengit. Ulama dianggap penyebab kemunduran Islam. Alasanya, para ulama ini telah menutup peluang ijtihad dengan memelihara institusi taklid dan menumbuhkan budaya feodalisme dalam agama, yaitu dalam bentuk penghormatan umat dan permohonan berkat kepada mereka. Terjadilah semacam proses demistifikasi agama, dan dalam hal tertentu juga desakralisasi agama.
Bersandar pada konon hadis Nabi “Sampaikan dari aku walaupun satu ayat,” setiap orang secara teoritis bisa menjadi mubalig. Bermodalkan sedikit kepercayaan diri dan kemampuan berbicara ditambah hapalan beberapa penggal ayat dan surah dalam Al-Qur’an, juga beberapa penggalan hadis, seseorang kemudian bisa bicara tentang agama menurut keahliannya dalam disiplin ilmu pengetahuan umum tertentu. Fatwa-fatwa instan menggema dari mimbar-mimbar masjid. “Seandainya saya menghapal sejumlah ayat (Al-Quran),” sesal seorang teman penulis yang sudah lama menjadi pengurus masjid dekat rumahnya, “saya juga akan berceramah selama Ramadan ini.” Mengapa? Pancing penulis. “Menjadi ustaz kelihatannya mudah saja,” jawab dia, “sementara ‘honornya’ cenderung semakin bagus saja dari Ramadan pada tahun-tahun kemarin.”
Mubalig modern mungkin tidak lagi mau dipanggil ulama, anregurutta atau gurutta. Mereka mungkin lebih senang disapa dengan panggilan “ustaz” diiringi deretan gelar akademik yang telah diraih: Prof. Dr. Ir. Drs. H. Fulan, S.Ag., M.A. Ada satu kisah menarik yang pernah masih ingat. Seorang professor menggerundel hanya karena si protokol masjid lupa menyebut gelar professor di depan namanya ketika dia dipersilakan berceramah. Masjid seakan telah menjadi lembaga akademik formal, di mana setiap orang kadang harus diidentifikasi dengan gelar akademiknya. Gelar akademik memang bisa menjadi satu-satunya sumber kredibilitas seseorang akademisi yang kurang publikasi. Maka di sini simbolisme dan identitas tampaknya menjadi lebih penting daripada realitas dan kualitas. Itu mungkin sebabnya muncul satu sarkasme tentang pangkat professor, GBHN, guru besar hanya nama.
Tragisnya, deretan gelar dan status akademik seorang mubalig juga telah menjadi salah satu faktor umat tertarik untuk mengikuti ceramahnya, selain faktor popularitas yang bersangkutan. Popularitas mungkin dapat digenjot secara instanoleh media populer yang setiap saat menyorot kehidupan sang mubalig. Maka tidak jarang, dengan media yang sama seorang mubalig bisa terhempaskan begitu saja di mata fans (penggemarnya) karena satu isu tertentu, perselingkuhan misalnya. Seperti artis, mubalig populer atau ustaz kondang selalu berusaha menjadi tetap populer. Tidak aneh, mubalig seperti ini harus selalu tampil mengikuti kecenderungan umatnya yang gandrung pada segala sesuatu yang bersifat populer. Sambil tetap menyerukan hidup sederhana, beberapa mubalig justru kemudian menjadi selebriti, lengkap dengan segala aksesoris selebrity seperti rumah megah, mobil mewah, pakaian keren, jam tengah mahal, kartu kredit, sekretaris pribadi, handphone. Mereka juga mulai menunjukkan hobby, restoran, wisata dan hiburan berkelas lainnya.
Sementara itu, ulama dalam sosok seorang sufi atau faqih lalu terdepak dari panggung dakwah konvensional. Setiap saat mubalig populer bermunculan dengan satu dan lain cara, sementara satu demi satu ulama sufi dan ahli fiqih meninggal dunia tanpa pengganti. Di mana pun, setiap orang dapat mendengar dakwah atau mengakses sumber informasi keagamaan dengan mudah. Akan tetapi, tragisnya, setiap saat headlines berita di media massa justru memuat daftar peristiwa tragedi kemanusiaan yang semakin memilukan karena menipisnya penghayatan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam masyarakat. Sungguh sebuah paradoks memang. Pertanyaan yang menarik kemudian adalah, masihkah dakwah agama efektif dan fungsional sebagai motivasi penting atau pendorong utama bagi masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan? Jawabannya mungkin bisa beragam. Namun pepatah Arab yang dikutip di atas bisa menjadi titik tolak yang menarik untuk membahas soal ini. Asumsi dasarnya, kita memiliki semakin banyak orang pintar, tetapi semakin sedikit orang jujur dan bijaksana.
b. Sosok Ulama Sufi yang Dicari Umat
Secara metafisik, pada diri seorang ulama sufi bersatu pengetahuan (‘ilm) dan pengamalan (‘amal). Pengetahuan mereka adalah sekaligus diri mereka sendiri. Apa yang mereka dakwahkan adalah apa yang telah mereka wujudkan dalam diri sendiri sepanjang usia mereka. Di pihak lain, materi ceramah dari sosok mubalig yang belum berkualifikasi ulama atau anregurutta, atau masih setingkat ustaz, mungkin masih harus dipersiapkan dengan membaca buku, atau meng-google topik di internet. Jika polanya demikian, mungkin ada yang tergoda berkata, mengapa khalayak tidak diminta saja membaca sendiri materi yang sama, apalagi jika hanya disalin dari internet. Bukankah jika khalayak dapat membaca sendiri buku-buku tentang agama, pemahaman mereka akan lebih komprehensif, juga lebih menghemat waktu? Secara demikian, seorang mubalig hanya berperan mentransmisikan pesan dakwah tanpa mesti lebih dahulu mengamalkan atau membuktikan kemanfaatan pesan tersebut bagi diri sendiri.
Sebaliknya, bagi seorang ulama sufi atau anregurutta, “kehadiran” dia di tengah-tengah umatnya sudah merupakan bagian dari pengajaran bagi mereka. Sekalipun dia hanya berbicara tentang “diri” sendiri, itu sudah merupakan bagian dari “pengetahuannya.” Pada ulama demikian terlihat perwujudan satu hadis, “Man ‘amila bima ‘alima, waratsullahu ‘ilma ma lam ya’lam” (H.r. Imam Ahmad) (Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang dia ketahui, Allah akan memberikan pengetahuan yang belum dia ketahu). Ulama memperoleh pengetahuan bukan hanya melalui pembelajaran formal seperti membaca buku, tapi juga melalui pengamalan secara konsisten ajaran agama yang ditelah dipelajarinya. Seperti disebutkan Allah dalam Al-Qur’an (2: 282): “Wattaqullaha wa yu’alimukumullah” (Dan takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian). Ilmu mereka berbuah subur karena diamalkan lebih dahulu. Seperti kata pepatah Arab, “Ilmu yang tak diamalkan, bagaikan pohon tak berbuah” (al-‘ilmu bila ‘amalin ka al-sajari bi la tsamarin). Oleh karena itulah, kisah hidup seorang ulama kerap menjelma menjadi sebuah kitab akhlak yang tak habis-habisnya diulas.
Dalam literatur tasawuf disebutkan bagaimana sosok ulama sufi menempa diri untuk memperoleh pengetahuan yang hakiki dan ilahiah. Jika kalangan filsuf berupaya memahami masalah-masalah ketuhanan dan kemanusiaan secara diskursif-logis atau spekulasi teologis-filosofis, para ulama sufi justru harus menempuh hidup meditatif demi menjalani latihan spiritual yang berat (riyadah). Hanya setelah menjalani latihan seperti itu selama bertahun-tahun mereka dapat berharap mendapatkan pencerahan atau mencapai suasana ketersingkapan (fath, kasyaf) terhadap pengetahuan langsung dari Tuhan (ilmu ladunny).
Oleh karena itu, keluasan pengetahuan dan ketinggian tataran spiritual yang dicapai seorang ulama sufi tidak diperoleh dengan mudah dan dalam jangka pendek. Jika kemampuan berdakwah dapat saja diperoleh hanya melalui penataran kader ulama dan kursus kilat mubalig, keulamaan harus diperoleh melalui upaya sepanjang hayat. Dari titik ini, dapat dipahami bahwa keulamaan itu sejatinya bukan semacam gelar yang dapat dilekatkan begitu saja kepada siapa saja. Kharisma dan aura keulamaan merupakan penyaksian dan pengakuan masyarakat terhadap buah dari dari perjuangan seorang ulama mengamalkan dan mengajarkan agama.
Di masa-masa belakangan ini, penggunaan gelar atau sapaan kiyai (atau anregurutta dan gurutta di Sulawesi Selatan) tampak semakin meluas dalam masyarakat. Salah satu pemicunya adalah kecenderungan “peng-kiai-an” secara populer oleh pihak pengelola televisi dan siaran radio yang memiliki program-program kajian dan dakwah agama. Proses inflasi makna sapaan kiyai atau ulama secara umum bahkan semakin masif sejak masyarakat kita mengenal internet, media sosial, dan menjadi pengguna smartphone yang aktif. Saat ini, bermunculan banyak dai atau mubalig muda yang mendadak kondang karena rekaman video ceramah-ceramah mereka merebak dan viral melalui berbagai platform media sosial digital berbasis internet seperti Youtube, Instagram, Tweeter, Whatsapp, dan sebagainya.
Bagi mubalig level ustaz atau dai “profesional”, aktivitas dakwah keagamaan dipandang selain sebagai tugas keagamaan juga sebagai semacam profesi yang diharapkan memberikan kemantapan finansial. Selain “amplop” sosial, berkat kemajuan di bidang teknologi finansial (fin-tech), dai-dai profesional saat ini juga berharap dapat memperoleh “amplop” digital jika postingan rekaman video-video ceramah mereka (misalnya yang di-uploaded di Youtube dan Instagram) mendapatkan ribuan atau jutaan viewers dan akun media sosial mereka mendapatkan jutaan followers atau subscribers.
Sebaliknya, sosok ulama atau anregurutta tidak pernah menjadikan “amplop” sosial sebagai tujuan atau target dalam berdakwah. Baginya, berdakwah bukanlah sebuah profesi yang meniscayakan imbalan material, apalagi sebagai kerja part-time sekali sebulan selama Ramadan. Baginya, dakwah adalah kewajiban moral-religius yang harus dia tunaikan, entah itu terasa mudah atau susah. Tidak jarang, bentuk dakwah seorang ulama atau anregurutta adalah dengan tidak melakukan apa-apa. Misalnya, di masa-masa kontestasi dan ketegangan politik menjelang pemilu atau pilkada. Kenyataannya, diamnya seorang ulama adalah juga dakwah yang nyata. Dalam kearifan tradisional Taoisme China ini disebut “wu wei”, yaitu berbuat tanpa melakukan apa-apa. Maksudnya, kerapkali seseorang menjadi besar justru karena dia mampu (atau berani) tidak berkata-kata atau berbuat apa-apa.
c. Rindu Suasana Ramadan di Kampung
Pada tahun 2000, saat masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Dalhousie University yang terletak di Halifax, Nova Scotia, Kanada, kota kecil di pesisir Samudera Atlantik, saya memutuskan kembali ke tanah air guna berlibur hingga akhir Ramadan di tahun 2000. Ada tiga tujuan utama saya ketika itu: melakukan penelitian lapangan untuk tesis master saya, menikmati beragam kuliner khas Bugis-Makassar yangsudah lama saya rindukan (coto, konro, ikan bakar, lawa bale, dan banyak lagi), dan berharap mengenyangkan hati dengan santapan rohani yang disajikan di mimbar masjid selama Ramadan. Saya berharap, dengan begitu, pikiran saya yang telah dijejali argumen-argumen akademik yang rasional di bangku kuliah setahun sebelumnya bisa kembali dikekang oleh kesucian hati karena dibasuh oleh amaliah dan ceramah Ramadan di lantai masjid.
Sayangnya, selama liburan Ramadan di tahun 2000 itu, tak sekalipun saya pernah mengikuti salah satu ceramah tarawih dan kuliah subuh di masjid-masjid di Makassar. Soalnya, saya bingung mencari masjid yang masih mencantumkan nama seorang ulama atau anregurutta yang sosoknya saya sudah ulas di atas. Padahal, yang saya cari dan butuhkan adalah sosok dai seperti itu, yang dapat “memarahi” saya karena “kenakalan intelektual” saya selama ini. Yang saya harap adalah mereguk keteladanan hidup dari sosok ulama yang istikamah, rendah hati, yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, yang kata-katanya menyatu dengan perberbuatannya (Massiddi ada na gau, Taro ada taro gau).
Saat saya bersalat jamaah di satu masjid dan membaca papan nama yang memuat daftar penceramah tarawih dan subuh di masjid itu, saya kaget. Saya mengira saya sedang berada di satu kampus. Mengapa? Nama-nama penceramah dalam daftar itu dipenuhi dengan gelar-gelar akademik yang panjang dan, sebagiannya, sulit saya terka kepanjangannya. Seperti diketahui, gelar-gelar dan pangkat akademik formal hanya relevan disebut dan digunakan dalam lingkungan akademik. Itu pun idealanya digunakan selama aktivitas akademik formal saja. Namun, rupanya, gelar-gelar akademik pun sudah menjadi salah satu faktor penting dalam mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap reputasi keilmuan agama dan kesalehan seorang dai.
(Sumber tulisan, artikel opini dengan judul awal, “Gurutta dan Pak Ustad”, di harian Fajar, Jumat 12 Januari 2001).