Site icon PanritaID

Jalan Berliku Toleransi Beragama

Oleh: Prof. Masdar Hilmy, S.Ag., M.A., Ph.D.
Guru Besar Ilmu Sosiologi/Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Maksud negara (baca: Kementerian Agama) hadir dalam menata kehidupan beragama menjadi lebih baik, toleran, dan dewasa tak selamanya bergayung-sambut dengan aspirasi (sebagian) warga masyarakat.

Kontroversi, polemik, dan perdebatan publik menyangkut sebuah kebijakan negara dalam kehidupan beragama sering kali terjadi dan menjadi sesuatu yang lumrah belaka. Realitas semacam inilah yang tengah terjadi pasca-peluncuran Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Langgar/Musala.

Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah kearifan bersama dalam menyikapi sebuah dinamika yang berkembang dalam rangka mengurai benang kusut kontroversi itu, bukan malah sikap yang dapat memperkeruh keadaan. Kearifan yang dimaksud dalam konteks ini adalah proporsionalitas sikap dan tindakan kita agar sebuah kebijakan dapat landing secara tepat-sasaran dan membawa kebaikan bersama (maslahat-produktif).

Artinya, yang harus kita kedepankan adalah ratio-legis sebuah regulasi, bukan sisi kembang-kembangnya yang mudah digoreng, dikonversi, dan dikapitalisasi oleh pihak-pihak tertentu menjadi kepentingan jangka pendek.

Kesenjangan epistemik

Oleh karena itu, kemunculan SE itu semestinya dipahami dalam konteks keinginan negara untuk hadir dalam menata kehidupan beragama di ruang publik yang lebih baik, sehat, dan toleran.

Sungguh sebuah kenaifan yang tak terperikan seandainya sebuah kebijakan negara lahir hanya didorong untuk menciptakan keburukan dan kerusakan publik. Artinya, ada dimensi kemaslahatan bersama (public good) di balik sebuah kebijakan negara. Dalam formulasi Menag Yaqut C Qoumas, ”Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis.”

Persoalannya, terdapat sebuah realitas sosiologis yang menghambat keberterimaan kebijakan tersebut secara utuh-menyeluruh di kalangan (sebagian) warga masyarakat sebagai sebuah niat baik negara. Saya menyebutnya sebagai ”kesenjangan epistemik” (epistemic gap) antara maksud dan niat baik sebuah kebijakan di satu sisi dan nalar keberagamaan sebagian masyarakat kita di sisi lain. Kesenjangan inilah yang kemudian dikapitalisasi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan jangka pendek. Sebagai akibatnya, ruang publik kita menjadi sangat gaduh karena berisi kemarahan, cacian, dan hujatan.

Secara lebih konkret, ”kesenjangan epistemik” dimaksud terlihat dari sulitnya nalar sebagian masyarakat mengaitkan antara kemaslahatan publik dan pengaturan pengeras suara di rumah ibadah. Yang justru lebih mengemuka adalah asumsi-asumsi minor tentang keberadaan SE tersebut sebagai bentuk pelemahan syiar agama di ruang publik, ”kurang kerjaan”, atau asumsi-asumsi lainnya. Mereka melupakan fakta mendasar bahwa keberadaan pengeras suara merupakan inovasi teknologi (bid’ah hasanah) yang tidak dijumpai pada zaman awal Islam.

Memang bagi kalangan ”awam”, kesenjangan nalar semacam ini sepenuhnya dapat dipahami. Kehadiran pengeras suara dengan volume tinggi dapat menambah glorifikasi emosional mereka.

Namun, bagi kaum terpelajar, pengungkapan protes terhadap SE itu merupakan sebentuk absurditas yang sulit dicerna akal sehat. Berbagai bentuk protes dan resistensi ini malah menimbulkan spekulasi dan kecurigaan atas hadirnya kepentingan jangka pendek di luar agenda penguatan toleransi beragama.

Jika dibiarkan, kesenjangan epistemik ini akan mengeras dan ujungnya akan menggumpal menjadi—meminjam Foucault—”blok epistemik” (epistemic block), yakni gugusan sosiologis yang berisi sekelompok individu yang disatukan oleh mazhab pemikiran tertentu dan/atau kepentingan jangka pendek tertentu. Penguatan politik identitas di kalangan masyarakat pada dasarnya konsekuensi logis dari pembiaran terhadap kesenjangan epistemik dimaksud.

Berbagai bentuk kesenjangan dan blok epistemik hanya merupakan pintu masuk bagi terciptanya segregasi sosial yang ada di masyarakat. Di tingkatan tertentu, segregasi sosial dapat dimaklumi sebagai mekanisme individu untuk mendapatkan perlindungan sosial (social shelter) yang dapat memberikan kenyamanan psikologis.

Namun, jika overdosis, fenomena segregasi sosial bisa menghalangi terciptanya kerukunan dan toleransi beragama di akar rumput. Lihatlah betapa fenomena segregasi sosial di masyarakat sudah berlangsung pada tingkatan yang ekstrem; mulai dari kompleks perumahan hingga pemakaman!

Dimensi etis dan estetis

Pertanyaan yang mungkin diajukan pihak-pihak yang menentang SE Nomor 5 Tahun 2022 adalah: apa urgensinya negara hadir mengatur pengeras suara rumah ibadah? Bukankah suara yang keluar dari toa masjid/mushala sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat kita (apa pun latar belakang agamanya)? Bukankah masyarakat telah ”berdamai” dengan kebisingan suara toa rumah ibadah? Jika pun ada pihak yang berkeberatan dengan pengeras suara masjid/mushala, mungkin jumlahnya tidak signifikan!

Serangkaian pertanyaan itu, dilihat secara sepintas, tampak benar adanya. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, persoalan pengeras suara sebenarnya jauh lebih kompleks dari yang digambarkan di permukaan. Kompleksitas pengaturan pengeras suara ini mendapatkan legitimasinya, terutama terkait pola relasi mayoritas-minoritas di tengah masyarakat kita yang sangat heterogen. Pihak-pihak yang keberatan terhadap (volume) pengeras suara masjid/mushala yang terlalu keras pada akhirnya lebih memilih opsi ”berdamai” dengan realitas demi sebuah modus vivendi!

Sejauh diatur secara baik dan elegan, kehadiran pengeras suara di masjid/mushala sebenarnya tak perlu dipermasalahkan. Selain itu, kehadiran SE Nomor 5 Tahun 2022 juga bukan dalam kerangka pelarangan penggunaan pengeras suara di masjid/mushala. Lebih tepatnya: panduan atau anjuran yang tak disertai sanksi hukum. Tentu saja perlu dipahami bersama bahwa yang sedang diregulasi adalah dimensi etika (volume) dan estetika (keindahan yang menimbulkan kenyamanan bersama) suara yang dikeluarkan dari toa tersebut, bukan melarang sama sekali penggunaan pengeras suara di rumah ibadah.

Hukum Darwinisme sosial

Oleh karena itu, SE Menag lebih merepresentasikan bentuk ”intervensi lunak” (soft intervention) negara di sebuah negara ”bukan-bukan” (bukan agama dan bukan sekuler) untuk menopang pilar masyarakat demokratis-multikultural yang harmonis dan toleran. Jika negara tak hadir untuk meregulasi dimensi etika dan estetika pengeras suara dari masjid/mushala, dikhawatirkan terjadi hukum Darwinisme sosial di tengah masyarakat kita yang majemuk, terutama di perkotaan padat penduduk.

Dalam derajat kewajaran, pola relasi Darwinisme sosial bisa mengarah pada dinamika sosiologis yang melahirkan ”kompetisi sehat” di kalangan umat beragama, internal maupun eksternal. Namun, dalam tingkatan ekstrem, pola relasi Darwinisme sosial bisa mengarah pada segregasi dan segmentasi sosiologis yang tak sehat, intoleran, bahkan konfliktual. Sebelum semua dampak buruk seperti ini benar-benar terjadi, kehadiran SE dimaksud merupakan upaya preventif untuk membentengi masyarakat dari berbagai potensi konflik sekaligus memperkuat pilar toleransi beragama.

Dalam perspektif pola relasi mayoritas-minoritas, absennya regulasi tersebut dapat mengganggu dan bahkan mendestabilisasi harmoni sosial. Contoh konkretnya adalah pendirian rumah ibadah. Dari dulu persoalan pendirian rumah ibadah di negeri ini lebih banyak menjadi ”duri dalam daging” yang mengganggu harmoni sosial kita.

Kesulitan mendirikan rumah ibadah di komunitas tertentu bagi kalangan minoritas sering kali dibalas dengan aksi serupa di wilayah lain di negeri ini. Akibatnya, pemenuhan atas hak-hak beribadah di kalangan tertentu menjadi terkebiri yang dapat mereduksi gambar ideal toleransi beragama di negeri ini.

Tulisan ini bukanlah sebentuk pembelaan defensif terhadap SE Menag. Pada akhirnya kita harus jujur pada nurani kita masing-masing tentang baik-buruknya pengaturan pengeras suara masjid/mushala dalam perspektif yang jauh lebih luas: toleransi beragama yang ideal. Kecuali kita sedang mengadopsi paradigma twin-toleration-nya Alfred Stephan (2000) dalam kehidupan beragama: antara gereja (agama) dan negara tidak boleh saling mengatur atau mengintervensi?

Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/06/jalan-berliku-toleransi-beragama