Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute, Washington DC
Menarik memperhatikan dinamika hubungan negara dan bangsa Arab dengan Israel maupun Yahudi di Timur Tengah.
Yang saya maksud ”Israel” di sini mengacu pada negara modern Israel yang mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1948. Sementara ”Yahudi” mengacu pada etnis atau suku-bangsa Yahudi (menganut Yudaisme maupun bukan) yang tersebar di seantero Timteng yang sudah eksis ribuan tahun, jauh sebelum pendirian negara modern Israel. Tak seperti yang dibayangkan sebagian warga Indonesia yang memandang buruk relasi Arab-Israel/Yahudi, hubungan mereka di Timteng sesungguhnya sangat dinamis, tak melulu diwarnai kekerasan dan permusuhan, tetapi juga perdamaian dan pertemanan.
Tentu saja konflik Yahudi-Arab di Palestina sejak 1920-an yang didukung dan dikompori Inggris dan Zionis, serta beberapa kali perang antara Israel dan sejumlah negara Arab sejak 1948 sebagai buntut dari partisi atau pembagian Palestina oleh PBB (Resolusi PBB 181)—menjadi ”negara Yahudi” (Israel) dan ”negara Arab” (Palestina)—turut memengaruhi dan memperkeruh hubungan sebagian bangsa Arab dengan Israel maupun Yahudi.
Meskipun demikian, realitasnya, baik di tingkat negara maupun masyarakat, relasi mereka tak selamanya negatif dan destruktif. Bahkan di Israel dan Palestina sendiri, hubungan Arab-Yahudi tak selalu buruk. Relasi positif dan konstruktif antara Arab dan Muslim dengan Israel dan Yahudi juga terjadi. Pada umumnya, masyarakat Arab membedakan mana ”rezim militan Israel” dan mana ”umat Yahudi”. Yahudi juga membedakan mana ”rezim Palestina militan” (Hamas) dan mana masyarakat Arab Timteng yang tidak ada sangkut pautnya dengan faksi politik militan Palestina.
Ini sangat kontras dengan persepsi masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganggap negara Israel sama dengan Yahudi dan Yahudi sama dengan Israel. Mereka juga mengasumsikan Palestina sama dengan Muslim/Arab.
Padahal Israel dan Yahudi atau Palestina dan Muslim/Arab adalah kategori atau entitas yang berbeda. Sebagai sebuah teritori politik, Israel dihuni oleh warga dari berbagai etnis, suku-bangsa, dan agama termasuk Arab, Druze, Berber, Muslim, Kristen, dan sebagainya.
Jadi bukan melulu Yahudi. Sekitar 20 persen penduduk Israel adalah Arab. Palestina pun begitu. Ada beragam etnis, suku-bangsa, dan agama di kawasan ini, bukan hanya Arab dan Muslim. Yahudi pun banyak di sini. Setiap kelompok etnik-agama ini, baik di Israel maupun Palestina, memiliki pandangan, sikap, dan praktik beragam dalam hal kepolitikan maupun keagamaan.
Misalnya, tak semua kelompok Yahudi itu mendukung aneksasi Israel atas Palestina. Begitu pula tidak semua masyarakat Arab itu pro-Hamas. Jadi, sangat variatif dan dinamis.
Hubungan Arab-Israel
Jamak dimaklumi kalau sejumlah negara Muslim/Arab di Timteng seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan belakangan ini menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Menlu Israel Yair Lapid sendiri, seperti dilansir The Times of Israel, secara terang-terangan ingin memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di mana pun, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, Mesir, Jordania, dan Turki sudah lama menjalin hubungan diplomatik maupun dagang dengan Israel. Turki bahkan sudah sejak 1949. Meskipun hingga kini Oman, Qatar, Kuwait, dan Arab Saudi belum menyusul negara-negara tetangga mereka di kawasan Teluk Arab (atau Teluk Persia), hubungan informal dan ”bawah tanah” para pejabat tinggi negara dengan Israel sudah berlangsung lama.
Omar Rahman, spesialis kajian Timteng dari Brookings Doha Center, mencatat komunikasi politik, kerja sama bisnis/dagang, atau pertukaran intelijen antara negara-negara Arab—terutama yang tergabung di GCC (Gulf Cooperation Council, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman) di kawasan Teluk Arab yang dikenal makmur, maju, dan kaya minyak—dengan Israel sudah berlangsung lama. Khususnya sejak penandatanganan Perjanjian Oslo (Oslo Accords) antara otoritas Palestina (Organisasi Pembebasan Palestina) dan Israel tahun 1993.
Tercatat, misalnya, sejak 1990-an, Israel membuka kantor-kantor niaga di Qatar, Oman, dan lainnya. Arab Saudi belakangan juga intens membangun komunikasi politik-ekonomi tingkat tinggi dengan Israel serta menjajaki kerja sama di bidang bisnis, keamanan, pertahanan, pertanian, dan teknologi modern (seperti kecerdasan buatan). Negara-kerajaan ini juga gencar membangun kawasan AlUla yang sangat kaya dengan peninggalan arkeologi-kesejarahan purba, termasuk jejak Yahudi yang pernah mendiami Jazirah Arabia di masa lampau, antara lain bertujuan untuk menarik turisme Yahudi-Israel.
Pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab itu membawa sejumlah konsekuensi logis. Misalnya, Israel bisa membuka kantor kedutaan (atau konsulat) di negara-negara itu (begitu pula sebaliknya). Pemegang paspor Israel juga boleh leluasa keluar-masuk wilayah negara-negara Arab ini (begitu juga sebaliknya). Jadi tak perlu kucing-kucingan lagi seperti dulu. Apalagi kini penerbangan langsung dari dan ke Israel sudah dibuka.
Sebelumnya, pemegang paspor Israel (baik yang Yahudi maupun bukan) dilarang masuk ke negara-negara Arab Timteng. Sejumlah negara Arab juga melarang warganya (baik yang Muslim maupun bukan) masuk teritori Israel. Karena itu biasanya kalau ada warga Arab non-Israel yang ingin masuk teritori Israel, misalnya untuk keperluan turisme atau mengunjungi teman dan kerabat, mereka minta petugas imigrasi untuk tidak menstempel paspor mereka. Petugas sudah maklum mengenai ”kongkalikong”kecil-kecilan ini.
Selain itu, hubungan ekonomi dan bisnis Arab-Israel juga semakin “lancar jaya” dan terang-terangan, tak lagi sembunyi-sembunyi seperti dulu. Berbagai kerja sama investasi dan bisnis di berbagai bidang pun diteken. Di antara negara-negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, UEA sepertinya yang paling gencar bekerja sama di berbagai sektor bukan hanya urusan dagang, tetapi juga di bidang kemiliteran dan teknologi canggih.
Sejumlah pengamat menilai ”normalisasi” hubungan Arab-Isarel ini karena didorong oleh sejumlah hal mendasar, seperti untuk menghadapi ancaman: (1) negara ekspansionis Iran yang sering memakai ”kaki tangannya” (seperti Hezbullah, Houti, dan lainnya) untuk mengganggu urusan ”dalam negeri” negara-negara Arab, (2) gerakan politik kelompok militan Islamis transnasional.
Baik Iran maupun kelompok Islamis militan sama-sama dianggap membahayakan stabilitas keamanan internal serta eksistensi kepolitikan dan pemerintahan negara-negara Arab. Alasan lain, faktor perekonomian yang lumayan lesu akibat krisis minyak beberapa tahun terakhir ini, ditambah serbuan pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian global.
Hubungan Arab-Yahudi
Bagaimana dinamika hubungan bangsa Arab, terutama Arab Muslim dan Yahudi? Seperti relasi Arab-Israel yang dinamis, hubungan Arab-Yahudi juga sama. Sangat dinamis. Tidak monolitik.
Tentu saja bagi sejumlah kelompok Islam garis keras—seperti Hizbullah, Ikhwanul Muslimin, Houti, NIIS (ISIS), Jabhah al-Nusra, dan Al Qaeda al-Arabia—Yahudi dianggap umat terkutuk sehingga harus diperangi dan dilenyapkan dari muka bumi. Tetapi tak semua bangsa Arab dan umat Islam Timteng memiliki sentimen, spirit, dan antusiasme seperti faksi militan-konservatif tadi. Banyak yang mengabaikan dan mengkritik pandangan dan propaganda mereka. Di tingkat akar rumput, jalinan masyarakat Arab/Muslim dan Yahudi berjalan normal. Bahkan mereka turut melindungi sinagog (tempat ibadah umat Yahudi).
Ada beberapa sinagog di luar Israel yang masih eksis hingga kini di Timteng. Misalnya Eliyahu Hanavi Sephardik di Mesir, Slat Alfassiyine di Maroko, Magen Abraham di Lebanon, El Ghriba di Tunisia, Pol-e-Khoubi di Iran, Neve Shalom di Turki, dan sebagainya. Indonesia juga mempunyai sinagog di Surabaya dan Manado. Saya sendiri sempat mengunjungi sinagog di Manado. Sayang sinagog yang di Surabaya sudah dihancurkan dan konon sudah dibangun sebuah hotel di area tersebut.
Perlu diketahui, di Timteng, Yahudi bukan hanya tinggal di Israel. Meskipun di Timteng (termasuk Afrika Utara), sebagian besar populasi Yahudi berada di Israel (sekitar 6,9 juta), mereka tersebar di negara-negara lain, termasuk Iran, Maroko, Tunisia, Mesir, Bahrain, UEA, Yaman, Lebanon, Jordania, Palestina, dan sebagainya. Di Palestina, ada sekitar setengah juta umat Yahudi, berdasarkan data dari Jewish Virtual Library dan World Population Review.
Negara dengan populasi Yahudi terbanyak adalah AS (sekitar 7,3 juta atau 48 persen dari total populasi Yahudi yang kini mencapai 15,2 juta). Yang menarik, menurut data ini, ada sekitar 300 umat Yahudi di Indonesia.
Sebagaimana Arab dan umat Islam, umat Yahudi Timteng juga beraneka ragam dalam mazhab pemikiran, pandangan keyahudian, dan praktik keagamaan. Dari yang ultrakonservatif sampai yang ultraliberal, semua ada. Meskipun mereka tersebar di seantero Timteng, mereka tak berani mengekspresikan secara terang-terangan aktivitas sosial-keagamaan di ruang publik dengan menggunakan simbol dan identitas keyahudian (selain di Israel tentunya).
Tetapi belakangan ini, sebagai dampak normalisasi hubungan diplomatik Arab-Israel, umat Yahudi di negara-negara Teluk Arab membentuk sebuah ormas bernama Association of Gulf Jewish Communities yang diketuai oleh Rabbi Elie Abadie. Tentu saja ini sebuah sinyal positif dan menggembirakan.
Foto yang dirilis oleh Kantor Pers Pemerintah Israel (GPO) memperlihatkan Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa (kanan) berbincang akrab dengan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett di Manama, Selasa (15/2). Ini adalah kunjungan pertama seorang kepala pemerintahan Israel ke Bahrain setelah keduanya menormalisasi hubungan seusai penandatanganan Perjanjian Abraham, Agustus 2020 di Washington DC, Amerika Serikat.
Peluang hubungan RI-Israel
Seperti sejumlah negara Arab Timteng, tidak ada salahnya jika Indonesia juga melakukan hubungan diplomatik dan dagang dengan Israel. Zaman sudah berubah pesat, jadi perlu terobosan pesat juga, apalagi menteri luar negeri Isarel sudah memberi sinyal positif.
Dibandingkan dengan Palestina, membangun relasi bisnis, apalagi diplomatik, dengan Israel akan sangat strategis dan menguntungkan Indonesia. Karena jika dilihat dan diukur dari aspek mana pun—ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, SDM, dan sebagainya—Israel jauh lebih unggul dan lebih maju daripada Palestina.
Penduduk Israel juga sekitar dua kali lipat dari penduduk Palestina yang cuma lima juta jiwa. Produk domestik bruto Palestina cuma sekitar 16,2 miliar dollar AS (bandingkan dengan Israel yang mencapai 394,7 miliar dollar AS). Perguruan tinggi di Israel juga banyak yang berkualitas dan berkelas dunia seperti Tel Aviv University, Hebrew University.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/02/25/arab-israel-dan-yahudi