Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo/Komisioner Komnas Perempuan)
MODERASI BERAGAMA: Pilihlah Sebagai Pemimpin Karena Kapasitas dan Amanah-nya, bukan “semata” karena Agamanya
Masih ingat ayat al-Maidah ayat 51 yang dikutip oleh Gubernur DKI ketika itu yang kemudian menjadikannya dituduh telah menodai ayat itu, dan merembet diaggap menodai al-Qur’an dan berujuang dituduh telah menodai Islam. Ayat ini “secara lahir” melarang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai “auliya'”. Kata auliya’ sendiri adalah bentuk jama’ dari kata waliyyun yang memiliki beragam makna, antara lain pemimpin, kekasih, penolong, pelindung, sahabat dekat, dan pengikut setia.
Sesungguhnya, banyak ayat ayat senada dengan al-maidah ayat 51 ini, yaitu; Ali Imran: 28, an-Nisa: 139, 144, al-Maidah: 57, 71. Semua ayat ayat ini “melarang” (النهي) orang orang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai ” auliya’ “.
Dalam kajian Usul fiqih ayat ayat di atas bersifat dhanniy ad-dilalah yang memiliki kemungkinan banyak makna. Kata لَا تَتَّخِذُوا atau لَا يَتَّخِذِ ا yang berarti “janganlah kalian menjadikan”, kata itu adalah redaksi larangan (النهي) yang memiliki sekitar 14 atau 16 arti, tidak selalu bermakna “li at-tahrim-menunjukkan keharaman”, tetapi juga bermakna “li al-karahah-menunjuk kemakruhan”, li al adab-menunjuk makna tata krama, bahkan ada yang bermakna li al-irsyad- menunjukkan arti agar ditinggalkan untuk berhati-hati. Jadi makna “larangan atau an-nahyu” tidak selalu bermakna bahwa tindakan yang dilarang adalah haram. Dari Aspek ini, kata لَا تَتَّخِذُوا adalah dhanniy karena memiliki beberapa kemungkinan makna-makna itu. Kata auliya’ juga dhanniy ad-dilalah sebab memiliki kemungkinan banyak makna. Apakah yang dilarang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sebagai pelindung, sebagai penolong, sebagai sahabat dekat, sebagai panutan, atau seluruhnya yang dilarang?.
Di sisi lain muncul kemungkinan makna, apakah yang dilarang itu adalah karena menjadikan mereka sebagai pemimpin pemimpin atas dasar agamanya? atau bagaimana kalau menjadikan mereka sebagai pemimpin atas dasar kapasitas dan amanahnya?
Menjawab pertayaan ini, beberpa ulama tafsir menjawab, Imam Fakhrur Razi misalnya (rujukan yang sama ada di kitab Tafsir Munir li an-Nawawi, ), mengatakan;
وَاعْلَمْ أَنَّ كَوْنَ الْمُؤْمِنِ مُوَالِيًا لِلْكَافِرِ يَحْتَمِلُ ثَلَاثَةَ أَوْجُهٍ
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ رَاضِيًا بِكُفْرِهِ وَيَتَوَلَّاهُ لِأَجْلِهِ، وَهَذَا مَمْنُوعٌ مِنْهُ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ مُصَوِّبًا لَهُ فِي ذَلِكَ الدِّينِ، وَتَصْوِيبُ الْكُفْرِ كُفْرٌ وَالرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ، فَيَسْتَحِيلُ أَنْ يَبْقَى مُؤْمِنًا مَعَ كَوْنِهِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ. فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ أَنَّهُ تَعَالَى قَالَ: وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ وَهَذَا لَا يُوجِبُ الْكُفْرَ فَلَا يَكُونُ دَاخِلًا تَحْتَ هَذِهِ الْآيَةِ، لِأَنَّهُ تعالى قال: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا فَلَا بُدَّ وَأَنْ يَكُونَ خِطَابًا فِي شَيْءٍ يبقى المؤمن معه مؤمنا
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ كَالْمُتَوَسِّطِ بَيْنَ الْقِسْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ هُوَ أَنَّ مُوَالَاةَ الْكُفَّارِ بِمَعْنَى الرُّكُونِ إِلَيْهِمْ وَالْمَعُونَةِ، وَالْمُظَاهَرَةِ، وَالنُّصْرَةِ إِمَّا بِسَبَبِ الْقَرَابَةِ، أَوْ بِسَبَبِ الْمَحَبَّةِ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ دِينَهُ بَاطِلٌ فَهَذَا لَا يُوجِبُ الْكُفْرَ إِلَّا أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ، لِأَنَّ الْمُوَالَاةَ بِهَذَا الْمَعْنَى قَدْ تَجُرُّهُ إِلَى اسْتِحْسَانِ طَرِيقَتِهِ وَالرِّضَا بِدِينِهِ، وَذَلِكَ يُخْرِجُهُ عَنِ الْإِسْلَامِ فَلَا جَرَمَ هَدَّدَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ فَقَالَ: وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ.
Kesimpulannya, teks ini ingin mengatakan, ada tiga aspek dan alasan seorang mukmin menjadikan orang kafir sebagai “pemimpin, penolong, pelindung dan lainnya”;
Pertama : ia meridhai kekufurannya dan menjadikannya sebagai “pemimpin” karena agamanya itu. Dalam hal ini, dilarang, sebab ridha dengan kekufuran adalah kekufuran juga.
Kedua : ia menjadikan sebagai sahabat, pemimpin, pelindung, penolong, dan mu’asyarah lainnya atas dasar hubungan kemanusiaan di dunia. Model hubungan seperti ini tidak dilarang, dan bahkan dianjurkan, berdasarkan ayat yang lain (al-Mumtahanah: 8)
Ketiga : model moderasi di antara dua model pertama dan kedua, yaitu bershabat, berkawan, saling melindungi, saling menolong karena ada hubungan kekerabatan, atau hubungan kasih sayang, namun tetap menyakini bahwa agamanya adalah bathil. Hubungan semacam ini dilarang, tetapi tidak menyebabkan kekufuran.
Model ketiga itu dilarang, bukan karena substansi hubungan persahabatan-nya, melainkan karena ia bisa saja berpotensi menyeret kedalam kekufuran. Model cara berfikir seperti ini dalam Usul fiqih disebut dengan metode ” menutup jalan perantara” atau “saddu ad-dari’ah”. Oleh karena itu hukumnya juga tidak tunggal, sebab “jalan perantara” itu juga beberbeda-beda, apakah pasti mengantarkan pada hal yang dilarang, ataukah dugaan kuat, dugaan lemah atau hanya asumsi belaka. Rumit, hehe.
Al-hasil, dari kutipan di atas, kita melihat penafsiran moderat terhadap ayat yang selama ini diyakini sebagai ayat yang memiliki tafsir tunggal. Model tarsir-tafsir moderat seperti ini sangat banyak terlihat dalam kitab-kitab tafsir, bagi muslim yang memang berkeinginan mendalaminya.
Wallahu A’lam .
21 01 22
Sumber: https://web.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10224053362436059